Dalam sebuah pertemuan acara ulang tahun WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) ke-44, beberapa teman mengucapkan selamat kepada saya atas terpilihnya kader-kader Muhammadiyah untuk menjadi menteri oleh Presiden Prabowo Subianto. Saya mengapresiasi ucapan itu sebagai bentuk perhatian kawan-kawan terhadap eksistensi Muhammadiyah.
Usai pertemuan itu saya terus membatin, ”Betulkah beberapa nama menteri yang ditunjuk oleh Presiden Prabowo itu mewakili Muhammadiyah?” Pertanyaan yang tentu tidak mudah dijawab. Hanya Tuhan dan Prabowo sendiri yang tahu pasti jawabannya. Jujur saya berharap semoga penunjukan beberapa nama yang dipersepsi sebagai wakil dari Muhammadiyah itu keliru. Mengapa demikian, saya akan menuliskan argumennya di bawah.
Presiden tentu memiliki hak prerogratif untuk memilih menteri-menteri yang akan membantu tugasnya. Apakah pilihan itu didasarkan pada pertimbangan perwakilan partai politik, ormas pendukung, zona kewilayahan, ketokohan, atau murni karena berdasarkan azas profesionalitas. Semuanya mutlak menjadi kewenangan presiden terpilih.
Saya berprasangka baik, semoga penunjukan beberapa menteri yang dipersepsi terafiliasi dengan Muhammadiyah itu didasarkan pada kapasitas personal yang bersangkutan. Mereka dipilih bukan hanya karena sebagai kader Muhammadiyah, tetapi lebih dari itu mereka adalah pribadi yang kompeten, berpengalaman, berintegritas, memiliki visi yang sama dan dinilai bisa bekerja sama dengan presiden dalam menjalankan program pemerintah.
Keterhubungan antara mereka dengan Muhammadiyah adalah fakta yang tidak bisa dihilangkan. Mereka adalah kader yang pernah atau sedang menjabat sebagai pengurus Muhammadiyah. Terlepas dari keterikatan itu, apakah mereka adalah orang yang tepat, kompeten, memiliki kepasitas untuk memimpin sebuah kementerian? Mari kita lihat sama-sama.
Menteri adalah pembantu presiden (Pasal 17 UUD 1945). Menjadi seorang menteri tentu berbeda proses rekrutmen, tugas pokok, dan fungsinya dengan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk menjadi anggota dewan (legislatif), seseorang harus berjuang keras agar bisa meraih suara yang cukup melalui pemilihan umum. Anggota DPR bertugas (salah satunya) untuk menyuarakan aspirasi para pemilih di daerah pemilihannya agar bisa dipenuhi oleh pemerintah. Ia akan bekerja untuk konstituennya.
Tugas menteri tentu berbeda. Menteri akan bekerja membantu Presiden untuk melayani dan memenuhi kebutuhan seluruh warga negara Indonesia. Tidak peduli apakah warga itu dulu memilihnya atau tidak. Layanan harus diberikan kepada seluruh warga negara melampaui perbedaan suku, warna kulit, domisili, afiliasi agama dan ormas. Menteri harus bekerja secara adil, tidak boleh mendahulukan kelompok tertentu, hanya karena ada kesamaan afiliasi dalam satu wadah keormasan.
Atas dasar prinsip tersebut, saya berpandangan bahwa sebaiknya presiden mengabaikan fatsun yang mendorongnya untuk memilih menteri-menterinya berdasarkan azas keterwakilan dari ormas. Pola seperti itu bisa memunculkan potensi masalah baru yang kontraproduktif. Pemikiran cetek saya dilatarbelakanngi oleh pertimbangan sebagai berikut.
Pertama, jumlah ormas di Indonesia cukup banyak. Jika semua ormas harus memiliki wakil untuk menjadi menteri, maka keharusan itu bisa menyandera hak prerogratif presiden. Alih-alih leluasa memilih menteri atas dasar kapasitas dan profesionalitas, keleluasaan itu jadi menyempit terbatasi oleh kebiasaan yang sejatinya tidak diamanatkan oleh undang-undang. Bisa dibayangkan, betapa kecewanya ormas yang tidak memiliki wakil di kementerian. Apalagi jika ormas tersebut merasa sudah memberikan dukungan penuh pada saat proses pencalonan.
Kedua, salah satu peran ormas adalah sebagai mitra strategis pemerintah. Dalam praktiknya, ia tidak akan selalu berjalan beriringan dan mengikuti semua langgam presiden. Ada kalanya harus mendukung atau mengkritik dengan keras, jika ada potensi penyalahgunaan kekuasaan. Akankah peran tersebut bisa dijalankan dengan efektif ketika ada perwakilan ormas di dalam pemerintahan? Jangan-jangan justru akan menumpulkan sikap kritis ormas.
Ketiga, rivalitas antarpegiat ormas itu acap kali terjadi. Akar musababnya beragam. Terkadang mereka tidak sedang berlomba dalam kebaikan, tetapi pada perkara sepele yang belum tentu bermanfaat untuk orang banyak. Pola penunjukan menteri dari perwakilan ormas akan semakin menyuburkan kecurigaan, tuduhan negatif yang saling mencurigai satu sama lain. Para pegiat ormas akan sibuk dengan aksi-aksi untuk membela kepentingan kekuasaan pragmatis, daripada membela kebajikan untuk kepentingan umum.
Beban Ganda
Seorang menteri atau pejabat setingkatnya yang dipersepsi sebagai wakil dari sebuah ormas bisa jadi akan memikul beban ganda di pundaknya. Secara internal sungguh tidak mudah menolak permintaan dari teman seperjuangan yang dulu pernah sama-sama aktif yang meminta agar sang menteri melakukan perbuatan ”balas jasa”. Apesnya, permintaan itu dilakukan seolah-olah untuk kepentingan organisasi. Beruntung jika tuntutan itu tidak terasosiasi dengan pelanggaran hukum.
Secara eksternal, seorang menteri yang dianggap mewakili sebuah ormas keagamaan, misalnya, akan selalu dilekatkan dengan standar moral yang tinggi dan selaras dengan ajaran agama yang dianutnya. Jika ekspektasi tersebut tidak dipenuhi, atau dinilai melanggar prinsip amanah, jujur dan adil, maka hukuman yang akan diberikan secara moral oleh masyarakat umum juga akan jauh lebih berat.
Terakhir, munculnya fenomena berlomba (bukan) dalam kebajikan antarormas akan berpengaruh pada semakin ketatnya pengawasan kinerja oleh rival organisasi. Akibatnya, kekeliruan sekecil apa pun bisa diglorifikasi hingga berkembang menjadi sangat besar. Sebaliknya, kebaikan sebesar apa pun, akan tampak kecil, buram, tertutup oleh kontranarasi yang membuatnya pudar tidak bernilai.
Semoga saya dijauhkan dari sikap membebani para menteri yang memiliki kesamaan wadah organisasi dengan meminta-minta proyek, privilese dan segala macam tuntutan yang–na’uzdubiillah–berpotensi melanggar hukum. Dukungan baik kepada rekan sejawat yang menjadi pejabat harus diberikan dalam bentuk saran, turut mengawasi, hingga memberikan kritik agar kebijakan, perilaku, dan tindakan mereka tidak sampai melanggar nilai kepantasan, apalagi undang-undang.
Bacaan terkait
Kabinet Prabowo yang Gemuk dan Akomodatif