Protes #IndonesiaGelap (“Indonesia Gelap”) telah muncul sebagai sebuah gerakan politik, yang dipimpin terutama oleh para mahasiswa dan aktivis masyarakat sipil yang menentang keputusan-keputusan kebijakan terbaru Presiden Prabowo Subianto. Para demonstran, yang mengenakan pakaian hitam untuk melambangkan ketidakpuasan mereka, telah berulang kali turun ke jalan di berbagai kota di seluruh nusantara.
Inti dari protes-protes tersebut adalah penentangan yang kuat terhadap pemotongan anggaran yang diusulkan oleh Prabowo, yang berjumlah sekitar US$19 miliar. Pemerintah berniat untuk merealokasikan dana ini untuk inisiatif kebijakan baru, namun para pengunjuk rasa berpendapat bahwa pemotongan ini secara tidak proporsional berdampak pada sektor-sektor penting seperti pendidikan dan kesehatan. Kekecewaan publik semakin meningkat karena kurangnya transparansi dalam prioritas keuangan pemerintah, terutama setelah terungkapnya fakta bahwa dana yang direalokasi sebagian besar ditujukan untuk membiayai Danantara, sebuah sovereign wealth fund yang baru.
Para pengunjuk rasa juga sangat menentang kehadiran militer yang semakin besar dalam peran-peran pemerintahan sipil. Ketegangan di Jakarta meningkat karena fraksi-fraksi pemerintah di DPR akan mengesahkan sebuah RUU yang memperpanjang usia pensiun dan mengizinkan para perwira militer untuk menjabat di lebih banyak kementerian daripada yang sebelumnya diizinkan di bawah Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) tahun 2004, di antara beberapa perubahan lainnya.
RUU ini dijadwalkan untuk disahkan dalam sidang paripurna di DPR hari ini (20 Maret). Protes baru-baru ini menggarisbawahi kecemasan yang luas atas meningkatnya biaya hidup dan tata kelola pemerintahan yang buruk, di tengah-tengah menyusutnya kebebasan demokratis dan ketidakstabilan ekonomi. Protes #DarkIndonesia “bagian dua” dimulai hari ini dan direncanakan akan berlanjut hingga akhir pekan.
Dalam beberapa bulan terakhir, tagar #kaburajadulu (“Kabur Saja Dulu”) telah mendapatkan daya tarik, yang mencerminkan pesimisme yang berkembang tentang masa depan Indonesia, terutama di kalangan anak muda perkotaan. Isu-isu seperti nepotisme, korupsi, dan salah urus pemerintah telah memicu sentimen ini. Awal tahun ini, gerakan ini meluas ke jalan-jalan di seluruh negeri. Di Jakarta, para demonstran berkumpul di dekat Istana Negara sementara protes meletus di Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Medan, dan hampir di setiap kota besar di Jawa. Gerakan ini meluas hingga ke luar negeri, dengan para anggota diaspora Indonesia melakukan demonstrasi di Australia dan Jerman.
Diorganisir oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM-SI), aksi-aksi protes ini didorong oleh ketidakpuasan yang belum terselesaikan terhadap pemerintahan Joko Widodo dan juga kemarahan terhadap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Para demonstran telah mengajukan 13 tuntutan yang mencakup berbagai isu, termasuk pendidikan, keterlibatan militer dalam politik, langkah-langkah penghematan, undang-undang penyitaan aset, dan reformasi kepolisian.
Bagaimana tanggapan pemerintahan Prabowo? Yang lebih penting lagi, sejauh mana demonstrasi-demonstrasi ini akan berdampak pada legitimasi pemerintah baru dan dapatkah mereka memicu perubahan?
Pemerintah dengan tegas menolak anggapan bahwa Indonesia berada dalam krisis dan tanggapannya adalah gabungan dari jaminan, pembiaran, dan keterlibatan selektif. Dalam hal pendanaan pendidikan, para pejabat berusaha meyakinkan publik, dengan menegaskan bahwa pemotongan anggaran tidak akan memengaruhi gaji guru atau program-program pendidikan yang penting.
Para pejabat pemerintah tetap bersikap disiplin dalam memberikan tanggapan kepada publik. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi adalah juru bicara yang ditunjuk untuk secara langsung berbicara kepada para demonstran. Ia telah bertemu dengan para demonstran dan mendesak masyarakat untuk memberikan kesempatan yang adil kepada pemerintahan Prabowo untuk memerintah.
Prabowo telah berusaha untuk melawan pesimisme ini dengan pesan optimisme, mempertanyakan mengapa kaum muda menganggap Indonesia sedang mengalami kemunduran ketika perkiraan ekonomi memprediksi pertumbuhan yang tinggi. Namun, tantangan bagi pemerintah tampaknya semakin meningkat karena keputusan-keputusan kebijakannya yang cepat dan kadang tidak jelas telah menyebabkan ketidakpastian atau kekhawatiran.
Kegelisahan pasar di awal minggu ini merupakan peringatan tegas bahwa margin kesalahan Prabowo mungkin tidak selebar yang ia yakini. Pada tanggal 18 Maret, pasar saham Indonesia anjlok lebih dari 7%–ke level terendah sejak pandemi–dan juru bicara kepresidenan harus meyakinkan publik bahwa rumor Menteri Keuangan Sri Mulyani akan mengundurkan diri di tengah perombakan kabinet yang lebih luas adalah tidak benar, sebuah spekulasi yang dibantah oleh sang menteri.
Dengan latar belakang ini, protes “Indonesia Gelap” membangkitkan kenangan akan dua gerakan penting yang dipimpin oleh mahasiswa dalam sejarah Indonesia pasca reformasi, meskipun gerakan ini baru saja dimulai.
Contoh yang lebih dramatis adalah pemberontakan mahasiswa tahun 1998 yang muncul pada masa krisis ekonomi yang parah dan penindasan politik di bawah pemerintahan otoriter Soeharto. Tidak seperti di bawah Suharto, pemerintahan Prabowo tidak (belum) menggunakan represi untuk menghentikan protes kekerasan yang sesekali meletus.
Kasus aktivisme mahasiswa kedua yang berhasil adalah gerakan “Peringatan Darurat” pada bulan Agustus lalu, yang merupakan respons langsung terhadap dinasti klan Widodo dan pembatalan Mahkamah Konstitusi terhadap putusan Mahkamah Agung tentang penurunan batas usia untuk calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Putusan Mahkamah Agung secara luas dipandang sebagai pembuka jalan bagi putra bungsu Joko Widodo untuk mencalonkan diri sebagai gubernur atau wakil gubernur (yang tidak terjadi). Upaya DPR untuk mengesahkan peraturan baru yang akan mengesampingkan keputusan Mahkamah Konstitusi dan mengembalikan keputusan Mahkamah Agung telah memicu kemarahan publik, memicu demonstrasi yang meluas. Intensitas perbedaan pendapat publik memaksa DPR untuk menunda pengesahan amandemen yang kontroversial tersebut, menggarisbawahi kekuatan keterlibatan masyarakat dalam membentuk keputusan legislatif.
Lintasan protes #GelapIndonesia masih belum menyatu di sekitar tujuan tunggal seperti perubahan rezim. Namun, skala yang semakin besar dan kegigihan gerakan ini menunjukkan bahwa ketidakpuasan publik semakin meningkat. Jika pemerintah gagal mengatasi keluhan-keluhan dan secara meyakinkan mengubah narasi publik dengan keberhasilan kebijakan yang nyata, kerusuhan lebih lanjut dapat menggoyahkan pemerintahan, memaksa perubahan kebijakan atau perombakan menteri.
Pertemuan antara keluhan ekonomi dan sosial yang meluas di awal masa pemerintahan baru ini menunjukkan bahwa tekanan berkelanjutan dari masyarakat sipil dapat menghasilkan perubahan yang berarti. Gerakan sosial yang digerakkan oleh kaum muda ini, yang bahkan melibatkan para siswa sekolah menengah, telah memberikan energi baru bagi perlawanan demokratis. Para aktivis muda saat ini menyadari bahwa meskipun media sosial menyediakan ruang untuk perbedaan pendapat, dampak yang nyata membutuhkan mobilisasi fisik melalui protes dan demonstrasi.
Protes-protes ini merupakan gema dari sejarah politik Indonesia yang penuh gejolak dan kekuatan aktivisme mahasiswa yang tak lekang oleh waktu. Apakah mereka akan menjadi katalisator perubahan atau memudar dalam sejarah masih belum dapat dipastikan, namun yang jelas, kaum muda dan masyarakat sipil Indonesia tetap waspada dan terus membentuk evolusi demokrasi di negara ini.
20 Maret 2025
Naskah asli di sini: https://fulcrum.sg/shaping-indonesias-democracy-youth-alight-amidst-darkindonesia/. Ditulis bersama Made Supriatma
Bacaan terkait
Apakah Prabowo Menghidupkan Kembali Rezim Soeharto?
Setelah Bulan Madu, Ke Mana Presiden Prabowo Membawa Indonesia?
Awal Prabowo yang Problematik: Sebuah Peluang yang Terlewatkan?
Kabinet Inklusif Prabowo: Mengakomodasi Faksi-faksi Islam untuk Kohesi Politik