Film-film yang saya saksikan di layar perak sejak pertengahan April lalu sungguh menarik. Bukan saja menyenangkan untuk disaksikan, tetapi juga seluruhnya mendapatkan nilai yang baik dari para kritikus. Banyak film yang sekadar memuaskan selera penonton awam, namun dihajar habis oleh para kritikus. Demikian juga banyak film dipuji kritikus, namun gagal mendapatkan apresiasi dari para penontonnya. Maka, ketika secara berturut-turut saya mendapati film yang mendapatkan apresiasi dari keduanya, rasanya perlu dicatat secara khusus.
The Fall Guy
The Fall Guy (82% menurut kritikus, 87% menurut penonton awam di situs Rotten Tomatoes) dibintangi oleh Ryan Gosling dan Emily Blunt. Tentu saja keduanya—dan para pemain pendukungnya—tampil sempurna. Saya tak ingat kapan mereka terkait dengan film yang buruk. Tetapi, buat saya, bintang sesungguhnya adalah David Leitch. Dia adalah sutradara di balik John Wick, Atomic Blonde, Deadpool 2, dan Bullet Train. Seluruhnya film-film laga bagus yang memanjakan mata dengan kualitas gambar dan adegan-adegan memukau.
Rahasianya adalah Leitch tadinya seorang stuntman dari film-film hebat—termasuk 5 kali untuk Brad Pitt. Dan, The Fall Guy adalah film tentang stuntman. Bisa dibayangkan bagaimana Leitch menumpahkan seluruh cintanya kepada profesi lamanya itu ke dalam film ini. Saya bisa menyaksikan bagaimana dia mengelevasi profesi ini dari pinggiran, bahkan seperti tak pernah diingat—apalagi diapresiasi—menjadi sentral. Laga luar biasa, di tapal batas tak masuk akal bahkan, dan cerita yang tak biasa, agaknya bakal membuat film ini jadi penanda penting perkembangan sinema hingga beberapa dekade mendatang.
Civil War
Film berikutnya, Civil War, mendapatkan nilai yang mirip dari para kritikus (81%), namun jauh lebih rendah dari penonton awam (71%). Tetap saja film ini masuk kategori Fresh, bukan Rotten. Dan, menurut saya, film ini sepantasnya mendapatkan nilai yang lebih tinggi dari para penontonnya. Alasan mengapa penonton memberi nilai tak semoncer The Fall Guy sangat mungkin terkait dengan tema yang menyesakkan dada: distopia perang sipil di Amerika Serikat. Sementara, para penonton yang memberi nilai paling banyak datang dari negeri itu.
Adakah yang bisa diperbaiki dari film ini? Tentu saja ada. Namun semuanya urusan sepele. Kalau mau melihatnya sebagai film perang belaka, film ini memberikan realisme perang dengan segala kengeriannya. Soal akting tak bisa dicela. Kirsten Dunst, Wagner Moura, Cailee Spaeny, dan Stephen McKinley Harrison sebagai jurnalis yang bepergian bersama untuk meliput perang saudara semuanya bisa diberi empat jempol. Bahkan, akting Jesse Plemons yang cuma tampil sepenggal waktu sebagai paramiliter rasis pasti akan terus dibicarakan saking menakutkannya. Tetapi, buat saya, pesan film inilah yang terpenting. Kita perlu merawat kebhinnekaan dan toleransi. Bila tidak, kengerian perang saudara bakal kita alami.
Apa yang bakal terjadi kalau kita salah menculik anak? Ah, menculik anak—atau siapa pun—tentu sudah salah. Apalagi kalau yang diculik adalah vampir dalam wujud anak-anak. Begitulah cerita mengerikan yang mengawali banjir darah di film Abigail. Mungkin tak banyak yang mengenali bintang-bintang di sini yang bermain sangat apik sebagai penculik. Melissa Barrera, Dan Stevens, Will Catlett, Kathryn Newton, Kevin Durand, dan Angus Cloud adalah bintang-bintang dewasa yang menjadi penculik lantaran pengaturan sang otak kriminal, Giancarlo Esposito. Mereka semua, kecuali satu orang, bakal tewas mengerikan.
Siapa yang menjadi vampir anak-anak bernama Abigail nan brutal itu? Alisha Weir. Weir sejak kecil sudah menyanyi dan menari di panggung-panggung musikal. Pada Natal 2022 lalu namanya melejit lantaran membintangi Matilda the Musical yang dibuat dan ditayangkan oleh Netflix. Matilda adalah bocah super-pintar, berani, dan jail yang diperankan Weir dengan sempurna. Tetapi, saya sama sekali tak menyangka akan menyaksikan Weir sebagai vampir anak-anak yang bisa menipu siapa pun dengan ketakutan yang seakan nyata, namun sesaat kemudian malah menjadi makhluk luar biasa kejam. Perpindahannya ke kesadaran ‘balas budi’ juga luar biasa keren untuk disaksikan. Seluruh kengerian di dalam rumah besar dan kuno ini bakal menakutkan siapa pun, apalagi yang mengidap klaustrofobia. Tak mengherankan bila para kritikus menghasilkan konsensus 84%, sementara penonton awam memberi ponten 85% untuk film ini.
Sebagai penikmat film sejak kanak-kanak, saya masih ingat bagaimana perasaan saya terhadap serial televisi Planet of the Apes yang dahulu sempat tayang di TVRI. Mungkin juga saya menyaksikan beberapa di antara 5 film bioskopnya yang dibuat di antara 1968-1974 lewat acara televisi atau pemutar video. Ketika tahun 2001 ada reboot-nya, saya juga menonton. Lalu, datang trilogi ciamik yang dibuat oleh Matt Reeves antara 2011-2017, yang entah masing-masing sudah berapa kali saya tonton.
Tahun 2024 ini sutradara Wes Ball menghadirkan Kingdom of the Planet of the Apes, yang secara urutan waktu terjadi 300 tahun setelah penghujung trilogi Reeves. Kingdom juga telah dinyatakan sebagai yang pertama dari trilogi baru. Para kritikus langsung terkesan. Secara agregat, kritikus memberi nilai 86%, sementara penonton awam belum bisa diagregasikan nilainya karena jumlahnya belum memadai. Di Amerika Serikat, film ini main pada pekan kedua Mei, sementara kita di Indonesia bisa menyaksikannya sedikit lebih awal.
Sebagai film yang dibuat dengan CGI, film ini sungguh bisa dinikmati. Gambarnya luar biasa bagus, dan jahitan digitalnya sangat rapi. Bagaimana dengan aktingnya? Di balik teknik mocap, Owen Teague dan rekan-rekannya yang menjadi anggota Suku Elang sangat cemerlang. Peter Macon sungguh berhasil menjadi orangutan bijak. Dan, yang tak kalah penting, Kevin Durand—setelah tak lagi menculik vampir—tampil meyakinkan dan mengerikan sebagai pimpinan kerajaan yang ingin menguasai teknologi manusia. Freya Allan dan aktor kawakan William Macy, yang berperan sebagai manusia, juga tampil sangat mengesankan dalam aktingnya di antara para kera. Dengan awal trilogi seperti ini, rasanya tak sabar menyaksikan film kedua—dengan trajektori yang sudah tergambar dari film ini—dan ketiganya.
Film-film besar lain segera main di layar-layar bioskop di sini. Yang terdekat di antaranya adalah Monkey Man, Furiosa, dan The Ministry of Ungentlemanly Warfare. Ketiganya sudah dibanjiri pujian dari para kritikus maupun penonton awam. Semoga betul-betul bisa kita saksikan. Setelahnya, di bulan Juni hingga Agustus nanti, film-film menarik Musim Panas juga sudah menanti.
Ulasan Pembaca 1