Perjalanan haji ke tanah suci, bagi Muslim, merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan sekali seumur hidup bagi yang memiliki kemampuan (istitha’ah) materi, kesehatan fisik, dan keamanan. Bila semua itu ada, maka tidak ada pilihan lain bagi Muslim untuk melaksanakan ibadah haji.
Perjalanan ibadah haji dahulu sangat berbeda dengan sekarang. Dahulu, perjalanan ibadah haji kadang memerlukan waktu lebih dari tujuh bulan saat menggunakan perahu layar yang digunakan para pedagang untuk mengangkut barang dagangannya ke tempat tujuan atau bandar tertentu untuk kemudian dilanjutkan ke wilayah Asia lainnya atau Eropa. Para jemaah calon haji menumpang perahu layar tersebut hingga mereka tiba di Jeddah. Dari Jeddah mereka menuju kota Madinah al-Munawwarah dan kemudian melanjutkannya ke kota Makkah al-Mukarramah.
Seperti diketahui, haji merupakan muktamar terbesar umat Islam sedunia. Karena jutaan Muslim dunia berkumpul untuk melaksanakan ibadah haji. Selain beribadah, mereka juga mendiskusikan banyak hal terkait perkembangan dunia Islam; mulai dari persoalan politik, ekonomi, budaya, peradaban, dan ilmu pengetahuan.
Ketika belum ada peraturan ketat mengenai kehadiran para jemaah haji, banyak jemaah selesai melaksanakan ibadah haji tidak segera kembali ke tanah air, tapi menetap menjadi pelajar (muqimin). Mereka menetap tidak hanya sebulan atau satu tahun, bahkan tahunan. Tidak hanya menjadi pelajar yang belajar kepada para syekh di Haramain, bahkan setelah mereka memiliki pengetahuan dan diangkat atau diakui sebagai seorang Syaikh al-Islam, mereka menjadi guru dan imam Masjid al-Haram.
Banyak di antara mereka yang mengarang kitab yang dijadikan rujukan bagi para pelajar dan pengajar ilmu agama Islam. Salah seorang di antaranya Syekh Junaid al-Batawi, yang merupakan guru bagi ulama Betawi. Ia menetap di Makkah sejak 1834 M dan memiliki murid yang sangat banyak, salah seorang di antara muridnya yang sangat terkenal adalah Syekh Nawawi al-Bantani, pengarang tafsir Marah Labid, yang dijadikan referensi utama para guru dan santri di Nusantara.
Ulama Betawi dan Ashab al-Jawiyyin
Biasanya para jemaah haji yang menetap dan belajar di Haramain berkumpul dalam satu wilayah. Tempat mereka berkumpul dan menetap disebut Ashab al-Jawiyyin, arti tekstualnya “perkumpulan orang Jawa”. Kata al-Jawiyyin di sini bukan merujuk pada suatu etnis tertentu di Indonesia, tapi pada sebuah bangsa di Nusantara. Orang Arab menyebut Muslim Nusantara dengan sebutan Ashab al-Jawiyyin, termasuk sebutan untuk orang Betawi. Tapi, seiring perkembangan munculnya penyebutan nama daerah, maka seorang tokoh pada nama belakangnya disandingkan dengan asal daerahnya; seperti Syekh Junaid al-Batawi, Guru Marzuki al-Batawi, Guru Mansur al-Batawi, dan lain-lain.
Sebelum belajar dengan para syekh besar di Masjid al-Haram, mereka biasanya belajar dulu di Madrasah Shalwatiyah, sebuah lembaga pendidikan formal yang didirikan Muslim India. Selain materi dasar agama Islam, mereka juga diajarkan materi bahasa Inggris dan matematika. Para pengajarnya juga banyak yang berasal dari Indonesia. Karenanya, bahasa pengantarnya menggunakan bahasa Melayu. Bahasa ini sudah menjadi bahasa dunia saat itu, sehingga banyak ulama kita yang menulis karyanya dalam bahasa Melayu.
Kemudian, setelah para pelajar dari Betawi menyelesaikan studinya di Haramain, banyak yang melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar, Kairo, dan sukses menjadi seorang doktor ilmu agama Islam. Lalu mereka kembali ke tanah Betawi dan menjadi ulama besar.
Wallahu’a’lam
Ciputat, 10 Juni 2024