Aku menelan ludah.
Pada pemandangan di depan mataku.
Tempat aku berdiri sekarang ini, mungkin, adalah koridor sebuah apartemen yang didirikan di sebuah bukit.
Di bawah sana, ada taman yang dipenuhi warna hijau yang terhampar. Warna langitnya biru cerah. Di antara warna hijau dan biru itu, pada perbatasannya, terdapat gedung-gedung tinggi dan pendek yang berjajar-jajar, bagaikan kertas lipat yang dilipat dengan begitu rapinya. Pada masing-masing gedung itu, terdapat jendela-jendela yang detail dan berpresisi, menyerupai tenunan. Jendela yang satu memantulkan warna biru, yang lain seperti disemir warna hijau, jendela di bagian lainnya memantulkan cahaya matahari pagi. Ada gedung yang dari kejauhan terlihat seperti menara berwarna merah. Ada juga gedung berwarna perak bulat yang membuatku teringat seekor ikan paus, juga gedung berkilat hitam yang seperti baru saja dipotong dari batu obsidian. Beberapa gedung ini pasti terkenal, dan bahkan aku pernah melihatnya. Mobil-mobil di kejauhan dan seperti mainan itu berjejer-jejer, bergulir dengan rapi.
Dibandingkan dengan imajinasiku—tidak, kalu dipikirkan lagi, aku tidak pernah membayangkan wujud kota ini secara serius—dibandingkan dengan apa yang kulihat di televisi dan film, pemandangan ini lebih indah, pemandangan kota terbesar di Jepang. Dadaku seperti baru saja ditendang.
Ini Tokyo….
Aku berbisik.
Dunia ini terlalu menyilaukan. Sambil menarik napas, aku memicingkan mata seolah sedang
“Eh, eh, ini kau beli di mana?”
“Di Nishi-Azabu, sepulang les.”
“Mereka bilang dapat kursi VIP di konser berikutnya, lho.”
“Eh, hari ini kita bolos klub saja. Nonton, yuk.”
“Kencan buta malam ini, katanya ada oranng kantoran, lho.”
A, apa-apaan percakapan ini? Orang-orang ini apa benar anak SMA Jepang masa kini? Atau, apa mereka sedang membacakan unggahan status selebritas di Facebook?
Separuh bersembunyi di balik pintu, aku memperhitungkan waktu untuk masuk ke ruang kelas sambil memperhatikan keadaan. Pada akhirmya, aku tiba di sekolah ini saat bel istirahat siang berbunyi dengan bantuan GPS di ponsel pintar—itu pun aku masih tersesat di sana-sini.
Namun, sekolah ini… jendela-jendela kaca dan beton yang membingkainya, pintu besinya yang berwarna-warni dengan jendela bundar… semuanya terlihat bergaya, sampai-sampai aku bertanya-tanya apakah ini sebenarnya tempat pameran internasional? Anak cowok bernama Tachibana Taki ini ternyata hidup di dunia seperti ini, padahal usianya sama denganku. Aku mengingat lagi nama cowok yang sudah kupastikan lewat buku catatan siswa, juga wajah sejuknya di pas fotonya. Rasanya sedikit menyebalkan.
“Taki!”
“!!”
Tiba-tiba seseorang memelukku di pundak, dan aku memekik tanpa suara. Begitu aku melihat, ternyata dia seorang cowok berkacamata yang terlihat seperti anggota OSIS (tapi dia tampak segar dan jernih), tersenyum dalam jarak yang begitu dekat sampai rambut kami nyaris bersentuhan, Uwaaah! Siapa pun, tolong! Ini jarak terdekatku dengan anak cowok sepanjang hidupku!
“Tidak kusangka kau datang ke sekolah pada jam istirahat siang! Yuk, makan.” Begitu berkata seperti itu, cowok kacamata itu mulai berjalan di koridor sambil tetap memeluk pundakku. Tunggu, tunggu, tunggu, ini terlalu menempel!
“Sialan, kau mengabaikan pesanku, ya?” ujarnya tanpa terlihat marah. Lantas, aku paham.
“…Tsukasa-kun?”
“Haha, pakai kun? Jadi kau mengaku salah?” Tanpa tahu harus menjawab apa, aku segera meloloskan diri dari pelukan tangannya.
“Tersesat?!” ujar Takagi tanpa berusaha menyembunyikan wajah sebalnya. Dia seorang cowok bertubuh besar yang kelihatannya ramah. “Kau ini, ya, memangnya bagaimana ceritanya sampai kau bisa tersesat dalam perjalanan ke sekolah?”
“Eh, anu….” Aku bergumam. Kami duduk bertiga di sudut atap sekolah. Saat ini memang waktu istirahat siang, tapi karena para siswa berusaha menghindar dari matahari, hanya sedikit dari mereka yang beristirahat di atap.
“Eh, anu, watashi—saya….”
“Saya?” Takagi-kun dan Tsukasa-kun saling pandang dengan heran. Sial. Saat ini, aku adalah Tachibana Taki. Jadi aku tidak boleh merujuk diriku dengan ‘saya’. –
“Ah itu, anu… hamba – watakushi!”
“Hmm?”
Terlalu formal!
“Beta – boku!”
“Haah?”
Terlalu terkesan anak baik!
“Aku – ore?”
Hmmm. Demikianlah mereka mengangguk meski masih terheran-heran. Baiklah, jadi cowok ini merujuk dirinya sendiri dengan ore—aku. Aku mengerti.
“… Aku benar-benar senang. Tokyo ini benar-benar seperti festival, ya. Ramai.”
“… Kok rasanya kau medok, ya?” Takagi-kun bergumam.
“Hah!” Aku medok? Wajahku langsung memerah.
“Taki, bekalmu mana?” tanya Tsukasa-kun.
“Haaah!” Tidak bawa!
Saat melihat diriku yang keringatan deras sambil mengecek tas sekolahku, dua orang itu tertawa sambil berkata, “Apa dia lagi demam?”
“Tsukasa, kau punya makanan apa?”
“Roti lapis telur. Tambahi saja dengan kroket mu itu.”
Roti lapis telur dan kroket itu begitu saja disodorkan oleh kedua orang itu kepadaku. Tiba-tiba saja, hatiku hangat dan aku merasa kagum.
“Terima kasih….”
Dua orang itu tersenyum dalam diam. Tidak kusangka anak cowok itu ternyata begitu baik dan cekatan seperti ini…! Ah, tidak boleh, Mitsuha! Aku tidak boleh menyukai dua orang ini dalam waktu bersamaan! Ah, yah, tidak mungkin, sih. Pokoknya, Tokyo itu hebat banget!
“Terus, mau pergi ke kafe lagi sepulang sekolah hari ini?”
Aku memandangi Takagi-kun yang berkata seperti itu sambil memindahkan nasi ke mulutnya.
“Ah, boleh.” Tsukasa-kun, yang sedang minum dari botol plastik itu, menggerakkan lehernya dengan lancar.
Hah? Apa? Tadi dia bilang mau ke mana?
“Taki bagaimana? Ikut ke kafe juga, kan?”
“Hah?!”
“Ih, kafe!”
“Ka, kafeeeeee?!” Tanpa memedulikan kening dua orang itu yang udah semakin berkerut, aku berteriak karena tidak bisa menahan rasa gembiraku. Sekarang aku bisa menikmati kafe yang bukan halte bus!
Aku melihat dua ekor anjing kecil yang mengenakan pakaian ala idola, duduk di kursi rotan, mengayun-ayunkan ekornya kuat-kuat sampai aku khawatir ekor itu bisa putus. Mereka memandangiku dengan mata yang seperti permen. Jarak antara meja terasa lebar, dan separuh pengunjungnya adalah orang dari luar negeri. Sepertiga dari mereka mengenakan kacamata hitam, 3/5 memakai topi, dan tidak ada seorang pun yang mengenakan setelan jas. Tidak jelas juga apa pekerjaannya.
Apa-apaan tempat ini? Orang-orang dewasa pergi ke kafe pada hari biasa sementara matahari masih tinggi di langit?!
“Formasi kayu di langit-langitnya bagus, ya.”
“Iya, kelihatan detail, ya.”
Di tengah ruangan yang amat sangat bergaya ini, Tsukasa-kun dan Takagi-kun tampak biasa-biasa saja, saling melemparkan pendapat mereka tentang interior kafe ini sambil tersenyum. Kelihatannya cowok-cowok ini sering berkeliling dari kafe ke kafe karena menyukai arsitektur. Apa-apaan hobi ini?! Bukannya hobi cowok SMA itu membaca majalah “Muu”, ya?!
“Taki, sudah mau pesan?”
Ditanya oleh Tsukasa-kun, aku menghentikan pengamatanku pada kafe ini, kemudian memandangi menu yang sampul depannya terbuat dari kulit yang berat.
“..! Dengan harga panekuk ini, aku bisa hidup sebulan, lho!”
“Memangnya kau ini hidup di zaman apa, sih?” Takagi-kun tertawa.
“Hmm…”
Aku bimbang sesaat, kemudian sadar bahwa ini adalah mimpi. Sudahlah, uang ini kan juga uangnya Tachibana Taki. Jadi, aku makan saja apa yang aku sukai.
Ah, mimpi yang indah….
Setelah selesai memakan panekuk yang terlihat begitu tebal seperti benteng yang dikelilingi buah mangga dan bluberi, aku menyesap kopi kayu manis dengan kepuasan mendalam.
Kring, kring.
Ponsel pintar di sakuku berbunyi…. Kulihat se buah pesan dengan emotikon marah yang bertebaran.
“.. Uwah! Aduh, bagaimana ini? Katanya aku telat kerja paruh waktu! Orang yang sepertinya atasanku ini marah-marah!” pekikku.
“Lho, sif-mu memangnya hari ini?” tanya Takagi-kun.
“Kalau begitu cepat pergi saja,” saran Tsukasa-kun.
“Iya! Buru-buru aku berdiri. Ah tapi….
“Kenapa?”
“Anuuu… tempat kerjaku di mana yak?”
“ .. Haaaah?!”
Dua orang itu kelihatannya sudah bukan sebal lagi, melainkan marah. Sebagai pembelaan dirj aku kan sama sekali tidak tahu apa-apa tentang cowok ini!