Membangun Kebersamaan
PENCIPTA HUBUNGAN
Belum lama ini, seorang penulis bernama Neil Paine ingin memastikan siapakah pelatih National Basketball Association terbaik di era modern. Ia merancang algoritma yang menggunakan ukuran performa pemain untuk memperkirakan berapa banyak pertandingan yang seharusnya dimenangkan suatu tim. Ia mencatat jumlah pertandingan untuk setiap pelatih NBA sejak 1979 supaya bisa mengukur “kemenangan yang melebihi ekspektasi”—maksudnya, berapa kali sebuah tim, yang dianggap kurang cakap padahal sudah dilatih, dapat memenangkan pertandingan. Kemudian, ia menuangkan hasilnya Pada grafik.
Sebagian besar grafik Paine mencerminkan dunia yang rapi dan terduga. Mayoritas pelatih mencetak kemenangan dalam jumlah pertandingan yang memang sudah seharusnya mereka menangkan, mengingat kemampuan pemainnya. Kecuali satu pelatih, Gregg Popovich. Pelatih San Antonio Spurs ini melesat sendirian di ujung grafik, seolah menempati planetnya sendiri. Di bawah kepemimpinannya, Spurs menang dalam tidak kurang dari 117 pertandingan lebih banyak dari yang seharusnya. Dua kali lipat lebih banyak dari pencapaian pelatih di bawahnya. Ini sebabnya, Spurs ditempatkan sebagai tim paling sukses dalam dunia olahraga Amerika selama dua dekade terakhir. Mereka memenangkan lima kejuaraan dan memiliki persentase pertandingan yang lebih tinggi ketimbang New England Patriots, St. Louis Cardinals, atau waralaba tersohor lainnya. Nama grafik Paine adalah “Gregg Popovich is Impossible”.
Tidak sulit membayangkan mengapa tim Popovich menang. Pasalnya, bukti-buktinya terang-benderang. Spurs konsisten menampilkan segudang perilaku sederhana yang tidak egois—operan ekstra, pertahanan yang siaga, kegesitan yang tidak kenal lelah—yang menempatkan kepentingan tim di atas kepentingan mereka sendiri. “Tidak egois,” kata LeBron James. “Teman bergerak, memotong, mengoper, Anda mendapat lemparan, Anda menerimanya. Itu semua demi tim, tidak bersifat individual.” Bertanding dengan mereka, kata Marcin Gortat dari Washington Wizards, “seperti mendengarkan Mozart”. Tidak mudah membayangkan bagaimana Popovich melakukannya.
Popovich, enam puluh delapan tahun, seorang otoritarian garis keras, kuno, dan tak kenal ampun. Ia alumni Air Force Academy yang menjunjung kedisiplinan di atas segalanya. Kecenderungannya ini disetarakan dengan bulldog yang muram, dan ia memiliki sifat yang bisa digambarkan sebagai “gunung api” yang mengalirkan lava ke pemain unggulannya. Sebagian ledakannya yang tidak mudah dilupakan itu dikumpulkan di YouTube, dengan judul seperti “Popovich Membentak dan Menghancurkan Thiago Splitter”, “Popovich memerintahkan Danny Green tutup mulut”, dan “Popovich berang pada Tony Parker”. Ringkasnya, ia menyimpan teka-teki: Bagaimana pelatih yang penuh dengan emosi dan tuntutan bisa menciptakan tim paling kompak di seluruh cabang olahraga?
Salah satu jawaban yang lumrah adalah karena Spurs cerdas dalam membentuk dan membangun individu-individu yang tidak egois, pekerja keras, dan berorientasi tim. Ini pemaparan yang menarik karena Spurs jelas mengerahkan upaya untuk menyeleksi individu berkarakter tinggi. (Format penyeleksian di antaranya adalah kotak centang berlabel “Bukan Spur”. Tanda centang pada kotak menandakan seorang pemain tidak akan dipilih, tidak peduli setinggi apa pun bakatnya.)
Namun jika diamati lebih dekat, pemaparan ini bukan penyebabnya. Banyak tim NBA lain yang melakukan hal serupa untuk menemukan, menyeleksi, dan membentuk individu; pekerja keras, berorientasi tim, dan berkarakter tinggi. Lagi pula, cukup banyak pemain Spurs yang tidak sesuai dengan profil Eagle Scout. Ketika Boris Diaw bermain untuk Charlotte, misalnya ia dikritik karena malas, berorientasi pesta, dan kegemukan; Patty Mills dilepas oleh tim Cinanya karena diduga cederanya hanya pura-pura; dan Danny Green dikeluarkan oleh Cleveland, sebagian karena tidak bermain dengan serius untuk pertahanan tim.
Jadi, Spurs tidak hanya menyeleksi pemain yang tidak egois atau memaksa mereka bermain seperti ini. Ada sesuatu yang membuat para anggota—sekalipun pernah egois di tempat lain—berperilaku tidak egois ketika mereka mengenakan jersey Spurs. Pertanyaannya, apakabh sesuatu itu?
Pagi hari pada tanggal 4 April, suasana di fasilitas latihan San Antonio terasa tegang. Malam sebelumnya, dalam salah satu pertandingan terpenting di musim reguler, Spurs ditundukkan 106-94 oleh musuh bebuyutan mereka, Oklahoma City Thunder. Masalahnya bukan karena kesalahan, tetapi sikap mereka yang membuatnya terjadi. Pertandingan dimulai dengan kondisi yang menjanjikan, Spurs memimpin hingga 20-9. Kemudian, terjadi sederetan kesalahan dan turnover, beberapa di antaranya oleh Marco Belinelli. Padahal kekalahan karena penurunan semangat semacam inilah yang ingin dihindari tim seiring dengan semakin dekatnya turnamen penyisihan. Sekarang, saat latihan dimulai, Suasana terasa penuh ketegangan dan kegelisahan.
Gregg Popovich masuk. Ia mengenakan T-shirt aneh dari Snack Bar Jordan di Ellsworth, Maine. Celana pendeknya tampak kebesaran beberapa ukuran. Rambutnya tipis dan keriting. Ia membawa piring kertas berisi buah dan garpu plastik. Wajahnya menyunggingkan senyum tipis. Ia lebih mirip seorang paman berpenampilan kusut di acara piknik ketimbang seorang pelatih. Kemudian ia meletakkan piringnya dan mulaj berkeliling arena, berbicara dengan para pemain. Ia menyenggol mereka di siku, bahu, tangan. Ia berbincang dalam beberapa bahasa (pemain Spurs berasal dari tujuh negara). Ia tertawa, matanya cerah, penuh arti, dan aktif. Ketika mendekati Belinelli, senyumnya melebar dan miring. Ia mengatakan bebe. rapa kata, dan ketika Belinelli membalasnya, mereka bercanda pura-pura bertanding gulat sejenak. Pemandangan yang aneh, Seorang pelatih enam puluh lima tahun dan berambut putih bergulat dengan pemuda Italia berambut ikal dengan tinggi enam koma lima kaki.
“Saya yakin itu sudah dipikirkan sebelumnya,” kata R. C. Buford, general manager Spurs, yang sudah dua puluh tahun bekerja dengan Popovich. “Ia ingin memastikan bahwa Belinelli baik-baik saja. Begitulah cara Pop menjalin setiap hubungan. Ja memperhatikan apa pun kebutuhan mereka.”
Apabila ingin tersambung dengan seorang pemain, Popovich menghampiri begitu dekat hingga hidung mereka nyaris bersentuhan; nyaris seperti suatu tantangan—suatu uji keakraban. Setelah kehangatan terbangun, ia terus bergerak, menjaga hubungan. Seorang mantan pemain muncul, dan wajah Popovich berseri, wajahnya cerah dengan senyum menyeringai. Mereka berbincang selama lima menit, saling menanyakar kabar tentang kehidupan, anak-anak, dan rekan. “Love you, brother,” kata Popovich saat mereka berpisah.
“Banyak pelatih yang bisa membentak atau bersikap ramah, tetapi yang dilakukan Pop berbeda,” kata asisten pelatih Chip Engelland, “Ia menyampaikan dua hal berulang-kali. Ia mengatakan yang sebenarnya, tanpa basa-basi, dan ia akan mencintaimu sampai mati.”
Hubungan Popovich dengan bintang Spurs era dulu, Tim Duncan, adalah contohnya. Sebelum memilih Duncan dalam draf pertama pemilihan keseluruhan tim tahun 1997, Popovich terbang ke rumah Duncan di St. Croix, Amerika, Virgin Islands, untuk bertemu sang bintang kampus. Mereka. tidak sekadar bertemu, tetapi juga menghabiskan empat hari bersama-sama dengan menyusuri pulau, mengunjungi keluarga dan teman Duncan, berenang bersama di laut, dan membicarakan berbagai hal, kecuali basket. Ini bukan sesuatu yang lazim dilakukan para pelatih dan pemain. Mayoritas pelatih dan pemain berinteraksi dalam percakapan pendek dalam hitungan detik.
Namun, Popovich ingin berhubungan, ingin menyelami dan melihat apakah Duncan tergolong orang yang tangguh, tidak egois, dan cukup rendah hati untuk berada dalam um. Hubungan Duncan dan Popovich berkembang hingga menjadi seperti ayah dan anak. Suatu hubungan dengan rasa kepercayaan yang tinggi dan tanpa omong kosong yang memberikan contoh nyata bagi pemain lainnya. Terutama bila menyangkut kemampuan menyerap ucapan Popovich yang tanpa tedeng aling-aling. Seperti yang diungkapkan banyak pemain Spurs, kalau tim bisa menerima pelatihan Pop, mengapa saya tidak bisa?
Beberapa menit sebelumnya, pemain Spurs berkumpul di ruang video untuk mempelajari pertandingan Oklahoma City. Mereka duduk dengan gelisah, mengira Popovich akan menjabarkan dosa-dosa semalam, untuk menunjukkan mana tindakan mereka yang salah dan mana yang bisa dilakukan lebih baik, Namun ketika Popovich mengeklik video, layar berkedip dengan siaran dokumentasi CNN tentang peringatan kelima belas tahun Voting Rights Acts. Tim menonton sambi membisu seiring berjalannya kisah: pawai Martin Luther King, Jr, Lyndon Johnson, dan Selma. Setelah selesai, Popovich mengajukan pertanyaan. Ia selalu mengajukan pertanyaan, dan pertanyaannya selalu sama. Personal, secara langsung, dan fokus pada skema besar. Bagaimana menurut kalian? Apa yang akan kalian lakukan dalam situasi itu?
Para pemain berpikir, menjawab, mengangguk-angguk. Suasana bergeser, menjadi seperti dalam suatu seminar, suatu percakapan. Mereka berbincang. Mereka tidak terkejut, karena di Spurs hal semacam ini sering terjadi. Popovich akan menciptakan percakapan serupa tentang perang di Suriah, atau perubahan pemerintahan di Argentina, pernikahan homoseks, rasisme institusional, terorisme—tidak masalah, asalkan pesannya sampai. Ada hal-hal yang lebih besar dari basket yang membuat mereka semua terhubung.
“Mudah sekali menjadi tersingkirkan apabila kau seorang atlet profesional,” kata Buford. “Pop memanfaatkan momenmomen seperti ini untuk menyatukan kami. Ia senang karena kami berasal dari tempat yang berbeda-beda. Hal itu mungkin bisa membuat kami terpecah, tetapi ia memastikan semuanya tetap terhubung dan terlibat dalam skala yang lebih besat.”
“Peluklah dan rengkuh mereka,” ungkapan yang sering disampaikan oleh Popovitch kepada asisten pelatihnya. “Kit harus merangkul mereka dan memeluk mereka.”
Banyak di antara hubungan ini yang berlangsung di meja makan, karena Popovich terobsesi dengan makanan dan anggur. Obsesinya ini disalurkan dalam sejumlah cara: Luasnya gudang anggur di rumahnya, kepemilikan kebun anggur Oregon, dan sebagai penonton tetap Food Network di televisi kantor. Bisa dibilang, ia sering menggunakan makanan dan anggur sebagai jembatan untuk membangun hubungan dengan pemain.
“Makanan dan anggur bukan sekadar makanan dan anggur,” kata Buford, “tetapi semacam kendaraan untuk membuat dan menjaga hubungan, dan Pop bersungguh-sungguh dalam mewujudkan hubungan itu.”
Makan bersama yang dilakukan Spurs sama seringnya dengan bermain basket. Pertama, makan bersama satu tim, pertemuan reguler yang dihadiri seluruh pemain. Kedua, makan bersama dalam kelompok yang lebih kecil, ajang berkumpulnya sekelompok pemain. Ketiga, makan bersama pelatih, yang dilakukan setiap malam dalam perjalanan sebelum pertandingan. Popovich merancang semua itu, memilih restoran, kadang dua restoran semalam, untuk bereksplorasi. (Lelucon staf: Bulimia adalah syarat kerja.) Hidangan-hidangan itu bukan untuk dimakan lalu dilupakan, tetapi sebagai bentuk kenangan. Di akhir musim, setiap pelatih mendapatkan sebuah buku kenangkenangan bersampul kulit. Isinya adalah menu dan label anggur dari setiap makan bersama.
“Saat Anda duduk di pesawat, dan secara tiba-tiba majalah mendarat di pangkuan, Anda kemudian memandangi majalah itu, pasti akan ada Pop di sana,” kata Sean Marks, mantan asisten pelatih Spurs yang sekarang menjadi general manager Brooklyn Nets. “Pop selalu melakukan hal yang udak terpikirkan. Ia akan menandai suatu artikel tentang kampung halaman Anda dengan lingkaran, dan ingin tahu apakah itu akurat atau tidak, dan di mana tempat makan kesukaan Anda, jenis anggur apa yang disukai.
Setelah itu, ia akan merekomendasikan tempat makan yang cocok untuk Anda. Ia juga akan melakukan reservasi untuk Anda dan istri atau kekasih Anda. Setelah Anda ke sana, ia ingin tahu semuanya, anggur apa yang Anda minum, makanan apa yang Anda pesan, dan kemudian menyebutkan tempat lain yang bisa dikunjungi. Dari situlah awalnya. Dan itu tidak akan berakhir.”
Sudah makin penasaran dengan kelanjutannya? Tenang, Kamu bisa mendapatkan bukunya di Jakarta Book Review Store. Untuk pembelian buku b klik di sini.
Jakarta Book Review memiliki banyak koleksi buku bermutu lain yang tentunya dengan harga terjangkau, penuh diskon, penuh promo, dan yang jelas ada hadiah menariknya. Tidak percaya? Buktikan saja.