Panen Pertama Sephia
Hari ini hari terakhir Sephia, Nara, dan Riu menyebar pamflet. Fakultas terakhir yang mereka sambangi adalah Fakultas Teknik, tempat kuliah Nara. Terkadang Sephia lupa kalau Tata Boga itu bagian dari FT. Itu artinya tempat ini adalah gedung kampus Yoga juga.
Sephia santai saja. Yoga sudah sangat jarang datang ke kampus. Pria itu hanya ke kampus saat bimbingan skripsi. Itu juga kadang bisa dua bulan sekali. Ia tidak akan bertemu pria itu di sini, ia yakin. Lagi pula kalaupun bertemu juga ya… tidak masalah.
“Lo langsung pulang apa ke sekre dulu?” Tanya Nara saat keduanya berjalan ke parkiran Fakultas Teknik.
“Gue mau ke perpus sih, ada janji sama temen,” jawab Sephia setelah membalas pesan dari Angel, teman yang ia maksud. Ja pun memasukkan ponselnya ke dalam tas.
“Bareng gue aja, mumpung gue lewat sana. Mau jemput Aren di FBS,” tawar pemuda itu.
“Boleh deh kalau gak ngerepotin! Nanti gue siramin di Syopi!” Kelakar Sephia.
Nara tergelak mendengar lelucon gadis itu. “Siramin terus biar Cepet tumbuhnya.”
“Lo nanem lagi? Perasaan kemarin lo bilang baru nanem.” Sephia memandangnya heran.
Sementara itu Nara hanya tersenyum tanpa memberi penjelasan. Perasaan kita, Sep, pria itu membatin.
Begitu sampai di parkiran, mereka pun bergegas meninggalkan area Fakultas Teknik dengan motor scoopy milik Nara. Ini jadi yang keempat kalinya gadis itu duduk di atas motor ini. Sebut ia yang terlalu berharap, tapi Nara merasa ini tidak jadi yang terakhir kalinya Sephia duduk di boncengannya.
“Pia?”
Ternyata dugaan Sephia salah. Yoga memang tidak ada di gedung teknik, tapi di perpustakaan. Pemuda itu mengisi salah sau tempat duduk di meja besar yang tersedia di perpustakaan. Laptop dan beberapa tumpuk skripsi milik alumni bertumpuk di hadapannya. Sephia menyunggingkan senyum tipis. Mereka tidak bermusuhan bukan? Tidak ada salahnya menyapa dengan baik.
“Hai, Ga.”
“Negapain di sini?” Tanya Yoga. Ia melihat ke belakang Sephia, ingin tahu apakah Sephia datang dengan orang lain atau tidak.
Sephia pun menjawab, “Mau ketemu temen.” Ia menunjuk Angel yang duduk di ujung meja. “Gue ke sana dulu, ya?”
Yoga mengangguk. Namun, tak lama kemudian ia memanggil Sephia lagi, “Pi!”
“Iya?”
“Kalau lo udah kelar nanti, bisa kita ngomong bentar?”
Sephia mengerjap beberapa kali, menerka-nerka apa yang ingin dibicarakan oleh mantannya ini. Tebersit rasa curiga bahwa Yoga ingin mengajaknya balikan lagi namun ia enyahkan kecurigaan tersebut. Ia tidak boleh terlalu percaya diri. Siapa tahu Yoga kali ini sungguh-sungguh ingin berusaha untuk lebih dewasa dan tidak memaksakan kehendaknya lagi.
“Oke, Ga.”
Sephia hanya menghabiskan setengah jam untuk melakukan kerja kelompok dengan Angel. Temannya tersebut harus pulang lebih dulu karena ada latihan dengan UKM Tari.
“Ga, bawa flashdisk, gak?”
Yoga yang tengah membaca salah satu skripsi yang ia ambil dari rak mengangkat wajahnya. Terlalu tenggelam dalam bacaannya, ia sampai tak menyadari kehadiran gadis itu di sebelahnya.
“Bawa kok.”
“Gue boleh pinjem? Flashdisk gue dibawa Yemma, mau ngirim video ke e-mail tapi wifi perpus lemot banget,” jelas Sephia. Air mukanya menunjukkan kecemasan. Sudah sangat jelas bahwa ia tidak enak merepotkan sang mantan.
Yoga menarik tasnya dari belakang. Ia merogoh kantong depan dan mengeluarkan diska lepas yang dulu sering menggantung di dompet Sephia. Nama Yoga yang dituliskan dengan fipe-x masih terbaca di permukaannya. “Pake aja nih! Gue lagi gak butuh kok.” Diserahkannya benda kecil tersebut kepada Sephia.
“Makasih ya.” Sephia menerima diska lepas tersebut dengan wajah bersyukur. Gadis itu pun kembali ke tempat temannya.
“Jadi ngomong, Ga?”
Yoga berhenti mengetik. Ia menoleh dan mendapati Sephia menempati kursi kosong di sebelahnya. “Eh, lo udah kelar?”
Gadis itu mengangguk pelan.
“Tunggu bentar, gue ngetik ini dikit lagi.” Yoga menunjuk laptopnya. “Abis itu kita cabut ke The Dreamies. Ngobrolnya di sana aja, mau gak?”
“Boleh. Ya udah lo kerjain aja dulu. Gue mau lihat-lihat buku,” kata Sephia.
Bahagia meletup-letup di dada Yoga. Asa demi asa kembali terjalin, merajut masa yang masih berada dalam kata mungkin. Setelah mengetik beberapa kalimat, ia memutar tubuh untuk melihat ke belakang. Matanya dengan cepat menemukan punggung Sephia. Yoga pun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengabadikan momen ini. Selanjutnya ia membagikan foto yang ia ambil ke Twitter dengan caption “hehe” saja, tanpa menautkan username Sephia maupun menulis pesan tambahan.
Ia rasa itu sudah cukup untuk mengekspresikan rasa senangnya. Ucapan Donny beberapa waktu yang lalu kembali terdengar. Tuhan itu Maha membolak-balikkan hati manusia. Kalau hari ini Sephia masih meragukannya, siapa tahu tak lama lagi ia bisa meyakinkan gadis itu kembali dengan menunjukkan kesungguhannya.
Suara getar ponsel Sephia di atas meja mengalihkan perhatan Yoga tak lama setelah ia menulis unggahan tersebut di Twitter. Keningnya berkerut. Sebuah pemberitahuan berwarna jingga muncul di layar kunci ponsel Sephia.
Nanadalemmm mengambil 15 tetes airmu.
Yoga tidak perlu bertanya apa lagi memutar otak untuk tahu siapa makhluk pemilik akun Syopi nanadalemmm. tersebut. Dari awalan Na saja ia sudah bisa menebak bahwa itu Nara. Terlebih lagi ia pernah melihat username Nara itu seliweran di base kampus.
Seketika hatinya dimendungi keresahan. Walau sudah jarang menghubungi Sephia, bukan berarti Yoga berhenti mengawasi gadis itu. Yoga selalu memantaunya lewat Twitter. Melihat bagaimana hari-hari Sephia yang kerap kali dibagikan oleh gadis itu sendiri.
Dan Nara…. Anak Tata Boga itu sering menjadi bagian dari hari-hari Sephia. Entah itu bertemu secara langsung atau hanya sekadar saling mention di Twitter. Yoga bahkan pernah mendapati anak jtu mengunggah foto Sephia satu kali beberapa minggu yang lalu. Yoga tidak pernah merasa sekhawatir ini sebelumnya dan ia sadar ia terlalu congkak, berpikir bahwa tidak akan ada pria yang mencoba mendekati Sephia karena gadis itu sudah terlalu dikenal sebagai kekasihnya. Sebelum ini Yoga selalu menggampangkan hubungan mereka, merasa Sephia sudah terlanjur terikat padanya sehingga gadis itu tidak akan pernah sungguh-sungguh pergi meninggalkannya. Yoga mengutuk diri dalam hati, dia benar-benar kekasih brengsek. Lihatlah apa yang terjadi padanya sekarang? Dihantam penyesalan karena akhirnya gadis yang tulus menyayanginya telah menyerah.
It’s okay, Ga. Mereka masth temenan. Selama janur kuning belum melengkung, trabas! Sampat tuh janur mulat melengkung, catok qa!
“Mau ngobrolin apa?” Sephia memulai.
Keduanya kini duduk di kafe The Dreamies. Di depannya sudah ada segelas mango smoothies, sementara Yoga memesan strawberry smoot hies. Sephia hampir tersenyum. Obsesi pemuda ini terhadap minuman stroberi patut diacungi jempol. Ke mana pun mereka pergi, Yoga akan selalu mencari minuman dengan rasa buah berwarna merah tersebut. Berbanding terbalik dengan Nara yang sangat anti dengan stroberi. Sebuah fakta yang baru-baru ini ia pelajari dari pemuda itu.
Eh? Kok jadi mikirin Nara sih! Rutuk Sephia dalam hati.
“Mama beberapa kali nanyain lo… dan kita. Nyokap lo juga beberapa hari lalu sempat ngechat gue,” ungkap Yoga. Matanya terpaku pada Sephia, mengamati ekspresi mantan kekasihnya itu.
Benar. Orang tua mereka. Sampai saat ini Sephia belum mengabari ibunya. Kalau ayahnya sih tidak terlalu mencampuri hubungan Sephia. Asal Sephia bahagia, itu sudah cukup untuk sang ayah, Ibunya yang menjadi masalah. Setiap kali ibunya mulai membahas soal Yoga, Sephia selalu berusaha mengalihkan topik atau menghindar dengan alasan sibuk dan harus memutus sambungan telepon.
Ada alasan mengapa ibunda Sephia begitu menyukai Yoga. Pertama, Yoga adalah pria yang baik di matanya. Beliau sudah menaruh kepercayaan yang besar di tangan Yoga sehingga berani memberikan izin pada Sephia untuk merantau dan menempuh pendidikan di kampus yang sama dengan pria itu. Di tahun-tahun awal mereka berkencan, Sephia pun seperti ibunya. Namun setelah badai mulai menerpa hubungan mereka, Sephia menyimpan bebannya sendirian. Tidak pernah Sephia ceritakan soal tabiat buruk Yoga kepada keluarganya. Ia takut membuat ibunya kecewa dan mengkhawatirkannya. Bahkan saat putus pun Sephia hanya mengatakan bahwa mereka sedang bosan, tidak ada masalah apa pun.
Lalu alasan yang kedua, yang membuat Mama Sephia begitu berharap Sephia dan Yoga bisa terus bersama adalah karena beliau dan ibunda Yoga adalah teman saat SMA. Kedua wanita paruh baya itu sungguh berharap mereka bisa menjadi keluarga di kemudian hari. Ditambah lagi kedua keluarga sudah dekat sebelum Sephia dan Yoga berpacaran. Mereka sudah mengenal satu sama lain dengan cukup baik. Ibunda Sephia dan ibunda Yoga bahkan sudah pernah mendiskusikan soal konsep pernikahan anak-anak mereka.
Memikirkannya saja sudah membuat pundak Sephia terasa berat. “Mungkin udah saatnya kita ngomong sama mereka.” Sephia menghela napas kemudian mengembuskannya pelan. Walau sudah tak seperih dulu, ternyata nyeri itu masih ada. “That we’re done.”
“… for good,” tarmbahnya.
Sinar di mata bulat Yoga meredup. Ucapan Sephia mematahkan segala harap yang mulai mengudara. “Udah gak bisa dicoba lagi, Pi? Sekalipun gue udah bener-bener berusaha?”’
Sephia merasakan berat di dadanya. Tidak ingin memberharap, namun ia tidak mau juga mendahului Tuhan. Masa depan tidak ada yang pernah tahu. “Gue gak tahu gimana masa depan nanti, tapi untuk saat ini…”
Gadis itu memberi jeda sejenak sebelum melanjutkan, “… enggak, Ga. Gue rasa balikan bukan apa yang kita butuhkan.”
Karena Sephia berani menjamin, mereka hanya akan berakhir saling melukai. Pun Yoga sudah serius dengan niatnya kali ini, Sephia masih terlalu dipenuhi keraguan. Hubungan mereka tidak akan bertahan jika Sephia terus menduga bahwa lelaki ini akan melakukan hal yang sama lagi. Sephia tidak mau membuat Yoga merasa tidak dihargai. Kalau memang mereka ditakdirkan bersama, Sephia ingin mereka memulai dengan awal yang baik. Dengan niat yang tulus, Tanpa keraguan, tanpa pikiran negatif yang terus membayangi mereka.
“Oke, Pi,” angguk Yoga pasrah. Dia sudah berjanji untuk menerima dan menghargai keputusan Sephia. “Tapi bisa kan kita tetep temenan? Gak putus kontak?”
Berteman? Bukankah itu yang Sephia inginkan? Bisa putus tanpa harus menyimpan dendam. Tapi… apakah tidak ada motif lain di balik permintaan Yoga tersebut? See? Sephia masih belum bisa mempercayai Yoga. Tak peduli seputus-asa apa Yoga saat ini.
“Bisa, Ga. Gue malah gak pengin kita musuhan. Tapi buat komunikasi… mungkin jangan terlalu intens kali, ya? I mean, tujuan kita gak balikan itu kan buat punya waktu masing-masing dan mulai membiasakan diri tanpa presensi satu sama lain.”
Tujuan lo, koreksi Yoga dalam hati. Asam di mulut ia telan. “Ya udah, Pi, kalau emang itu mau lo.”
“Ngomong-ngomong tadi gue bimbingan,” lanjut Yoga mengalihkan topik.
“Terus?” Sephia terlihat penasaran.
“Udah acc bab dua.”
Serius??? Selamat, Ga!” Senyum Sephia melebar mendengar kabar baik tersebut. Ia turut senang Yoga kembali menggarap skripsinya dan sudah menunjukkan kemajuan dalam proses penyusunannya.
“Gue udah bertekad, Pi. Sekarang mau serius.”
“Syukur deh kalau gitu. Semangat ya, Ga! Gue doain lancar dan bisa lulus semester depan.” Sephia mendoakan dengan tulus. Kenapa semester depan? Karena semester ini sudah mau berakhir.
“Hehe… iya, Pi, makasih. Lo orang pertama yang gue kasih tahu soal ini,” ungkap Yoga.
Tidak tahu harus merespons informasi itu dengan reaksi apa selain senyum tipis, Sephia pun mengeluarkan ponselnya. Sebagai pengalihan, ia membuka Syopi Tanam dan mengecek airnya. Ternyata lagi-lagi Nara mencuri.
“Anjim! Air gue dicuri!” Ujarnya. Setelah itu ia pun menuturkan sepak terjangnya dalam bermain Syopi Tanam pada Yoga sebelum akhirnya pamit pulang karena lelah. Yoga sempat menawarinya tumpangan, namun ia tolak dengan halus.
Penasaran dengan kelanjutan ceritanya? Tenang, Kamu bisa mendapatkan bukunya di Jakarta Book Review Store. Untuk pembelian buku b klik di sini.
Jakarta Book Review memiliki banyak koleksi buku bermutu lain yang tentunya dengan harga terjangkau, penuh diskon, penuh promo, dan yang jelas ada hadiah menariknya. Tidak percaya? Buktikan saja.