Salonga dari Tondo
Pesawat jet yang dikemudikan oleh Edwin sudah mendekati Manila, dia memberitahuku lewat intercom. Aku terbangun, memperbaiki posisi duduk, memasang sabuk pengaman. Selepas dari Hoong Kong menurunkan si kembar dan White, aku memutuskan tidur, beristirahat sejenak. Sekarang sudah hampir pukul tujuh pagi, menatap keluar jendela. Awan putih mengambang di sekitar pesawat, matahari sudah terang.
Lima belas menit kemudian, pesawat jet mendarat mulus di bandara. Aku melangkah turun, sedan hitam telah menungguku di hanggar pesawat. Aku punya kontak di berbagai negara. Lewat telepon singkat, mereka bisa menyiapkan dengan cepat kebutuhan logistik setiba aku di sana. Mengemudikan sedan itu menuju pusat kota Manila.
Hari kerja pertama setelah libur, jalanan padat. Mobilku merayap. Tapi itu tidak masalah, aku bisa mengerjakan beberapa hal selama perjalanan.
Yang pertama, Parwez meneleponku.
“Kapal kontainer itu sudah kembali melepas sauh Bujang. Anak buahnya utuh, juga seluruh barang bawaannya. Terima kasih bantuannya.”
Aku mengangguk. Sudah seharusnya demikian. Perompak, itu tidak akan pernah berani berurusan dengan penguasa shadow economy. Pasukan militer milik pemerintah tetap punya prosedur jika hendak menyerang, ada negosiasi, tahapan-tahapan, tapi kami, sekali jengkel, seluruh desa asal perompak itu bisa dihabisi. Mereka menahan kapal kami maka kami akan menahan seluruh keluarganya. Mereka melukai awak kapal kami, maka kami akan melukai seluruh keluarganya.
“Kau berada di mana sekarang?”
“Manila.” Aku menjawab pendek.
“Kapan kau kembali?”
“Jika semua lancar, malam ini sudah tiba di markas besar. Ada apa?”
“Ada yang ganjil sepagi ini di kantorku, Bujang.” Parwes mengecilkan suaranya, entah dia takut didengar siapa, “Ada banyak orang-orang yang tidak dikenali security kantor. Mereka masuk ke lobi, lantai-lantai tertentu, termasuk ke lantai dengan akses keamanan tingkat tinggi.’
“Mereka bukan tamu kantor?” Aku memastikan. Parwes berkantor di jalan protokol ibukota, gedung tiga puluh lantai, di sana jelas banyak kantor perusahaan Keluarga Tong. Boleh jadi orang-orang itu adalah kolega, klien, konsumen, supplier atau entahlah.
“Awalnya aku pikir begitu, mereka mungkin ada keperluan bisnis, tapi ini ganjil, Bujang. Aku tidak ahli soal ini, aku hanya tahu tentang perusahaan, bukan tukang pukul. Tapi pagi ini, sekretarisku menerima dua orang yang bilang mereka punya jadwal pertemuan denganku. Aku tidak mengenalnya, dan tidak ada nama mereka dalam daftar tamu. Sekretarisku menolak mereka, mengambil inisiatif memeriksa kantor di lantai lain. Polanya sama.”
Aku terdiam. Laporan Parwez serius.
“Kau sudah menelepon Basyir?”
“Sudah. Dia dan beberapa Letnan sedang dalam perjalanan menuju kantor.”
“Sementara kau selesaikan dengan Basyir. Setiba di sana, aku akan membantu memastikan siapa mereka, dan apa tujuan mereka. Jangan bertemu dengan siapapun yang kau tidak kenal Parwez, dan jangan bepergian tanpa pengawalan. Selalu bawa tombol darurat yang kau miliki.”
Parwez terdiam di seberang sana. Meski aku tidak melihanya, aku tahu wajahnya sedang pucat. Parwez tidak pernah suka kekerasan, dan dia dalam posisi paling rentan jika hal itu cerjadi.
“Apakah ini serius sekali, Bujang?” Suara Parwez bergetar,
“Aku tidak tahu. Tapi semua orang harus bersiap-siap. Tauke Besar sudah berkali-kali memberi tahu kemungkinan serangan. Kau akan baik-baik saja sepanjang tidak meninggalkan kantor. Gedung itu dilengkapi sistem pertahanan terbaik, sama seperti markas besar Keluarga Tong…. Aku harus memutus telepon, Parwez, ada celepon lain masuk, dari Basyir”
“Baik. Sekali lagi terima kasih atas bantuannya, Bujang.”
Mobilku berbelok di perempatan depan, setelah melaju lancar satu kilometer, kembali menemui antrean Panjang komuter Manila yang memulai aktivitas.
“Selamat Pagi, ‘Tauke Muda.” Suara khas Basyir langsung terdengar di langit-langit mobilku saat aku menerima teleponnya.
“Berhenti memanggilku begitu, Basyir.”
Basyir tertawa, “Aku membaca berita pagi ini, Bujang. Kasino Grand Lisabon terbakar, lantai 40-nya rusak berat. Lampu seluruh kasino padam, seluruh tamu dievakuasi. Petugas kepolisian setempat bilang hanya kebakaran biasa, ada saluran gas yang meledak. Semua sudah terkendiali. Sayangnya, mereka tidak tahu, kau sepertinya habis menggila di sana, Bujang?”
Aku ikut tertawa. Selalu menyenangkan membahas soal penyerbuan dengan Basyir. Sejak kami remaja, membanding-bandingkan aksi siapa yang paling keren, mengolok-olok, itu sudah kebiasaan setiap tukang pukul.
“Kau sudah menerima telepon Parwez2?” Aku memotong tawa Basyir.
“Sudah. Aku sedang menuju kantor Parwez, ada empat Letnan bersamaku. Macet hari pertama kerja sialan itu membuatku terlambat. Anak itu pasti sudah berkali-kali ke toilet karena gugup. Semoga orang-orang itu hanya salah alamat datang ke kantor Parwez. Kita tidak perlu membuka front peperangan baru di masa-masa seperti ini.”
Aku mengangguk. Semoga mereka bukan orang suruhan dari Keluarga Lin. Dalam dunia yang tersambung cepat, meskipun Makau ribuan kilometer jauhnya, cukup hitungan jam jika Keluarga Lin memutuskan menyerang, mengirim orang-orang bayaran. Mereka sedang sakit hati. Sepagi ini, keluarga mereka sedang berkabung. Kantor Parwez adalah sasaran yang setara dengan Grand Lisabon, mereka punya alasan lengkap untuk melakukannya. Lazim sekali dalam tradisi balas dendam, kesumat harus diselesaikan sebelum Tuan Lin dikebumikan.
“Bagaimana eksekusi malam itu?” Aku teringat sesuatu.
“Dilakukan dengan cepat, Bujang. Sesuai keinginanmu. Mereka bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi. Lima menit, dan kami telah kembali ke markas besar.”
Aku mengembuskan napas perlahan.
“Hei, kau baik-baik saja, Bujang?” Basyir bertanya, intonasi suaranya terdengar heran.
“Aku baik-baik saja.”
“Ayolah! Jangan-jangan kau mulai melunak soal ini, Kawan. Ada apa denganmu? Kau tidak terdengar nyaman setiap kali membahas eksekusi.”
Aku menyumpahi Basyir dalam hati. Siapa pula yang akan nyaman? Eksekusi itu berarti menghabisi seluruh penghuni rumah, termasuk anak-anak, wanita, siapa saja yang ada di sana. Sejauh apapun Tauke Besar membawa bisnis ini lebih terang, bersih, sisi satunya tidak pernah bisa ditinggalkan. Sisi itu seperti bayangan hitam pekat yang selalu ikut. Tidak bisa dipisahkan.
“Kau harus berhati-hati soal kantor Parwez, Basyir. Jangan terlalu mencolok.” Aku mengingatkan, “Ada belasan Perusahaan kita yang terdaftar di bursa efek dunia berkantor di gedung itu. Bahkan kabar kebakaran biasa seperti Grand Lisabon tadi malam, bisa membuat rontok harga saham perusahaan kita di New York atau London, apalagi jika ada yang mengaitkannya dengan aktivitas ilegal. Lebih serius lagi dampaknya.”
“Jangan cemas, Bujang. Walaupun aku tidak tahu-menahu soal saham yang kau sebut itu, hanya kau dan Parwez yang sekolah di keluarga kita.” Basyir tertawa lagi, “Aku akan bertindak hati-hati.’
Sambungan telepon kuputus setelah bercakap dengan Basyir satu-dua kalimat. Mobil yang kukendari telah memasuki kawasan super padat kota Manila. Belasan rumah susun berdiri di sana, menggantikan sebagian perkampungan kumuh. Ruko-ruko berbaris, kedai makanan dengan kepul asap dari kuali, toko penjual gadget dan pulsa. Tapi sisanya sama, jalanan sempit, aroma busuk parit, sampah menggunung, preman yang mengatur parkiran, anak-anak jalanan yang berpakaian lusuh, gelandangan, peminta-minta, loket peminjaman uang dengan bunga selangit. Tempat ini tidak pernah berubah sejak dulu. Masih menjadi poverty industry, bisnis kemiskinan bagi kelompok tertentu.
Inilah Tondo, kota Manila.
Aku akan menemui Salonga di sini.