Hidup adalah persembahan dan karunia. Ditujukan kepada hamba-hamba yang penuh kekurangan, disediakan bagi insan yang selalu senang berteman alpa dan berkawan lupa. Itulah fitrah manusia, yang sejatinya menyempurnakan posisi kita sebagai pengemban amanah adalah kelemahan dan kekurangan itu sendiri.
Karena dengan ini, kita sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk menyibak tirai sombong dan angkuh walau hanya sebesar biji sawi. .
Kita tidak bisa mengingkari, ada banyak jeda yang selama ini kita adopsi dalam memulai kebaikan. Ada banyak batasan yang dipaksakan ada untuk menghalangi kebiasaan baik dalam menebar kepeduliaan. Dari ujung pikiran hingga area sikap perlahan mulai terkikis keraguan dan ketakutan. Ragu untuk berbagi, atau takut untuk memberi. Bahkan ragu untuk meletakkan kesejahteraan atau mulai takut mengutamakan kebersamaan.
Itu semua adalah fenomena-fenomena paradigma berpikir yang dari hari ke hari makin meluas menuju kutub ego dan angkuhnya. Jika kita tidak terpikir untuk memulai memperbaiki apa yang telah terlanjur membengkok, maka kita akan terbawa dalam nuansa berpikir negatif yang hanya melulu tentang keraguan dan ketakutan. Jauh dari keyakinan apalagi keoptimisan. Dalam mendikte yakin, hal pertama yang harus kita timpali adalah kesadaran terdalam tentang kebanggaan terhadap diri sendiri. Bangga terhadap karunia dan kemampuan yang telah dititipkan kemudian selalu menghiasnya dengan rasa yakin dan optimis. Bangga di sini bukan berarti sombong, tapi bangga yang menumbuhkan kesadaran untuk bersyukur atau bangga yang melahirkan kesabaran untuk menjaga titik-titik hidup yang harus dilalui.
Kalian tahu, Alexandria merupakan anugerah yang diberikan oleh Allah swt. kepada Mesir, negeri para Nabi. Selain keindahan bibir pantainya yang menawan, kota ini juga merupakan pusat penghasilan yang berpengaruh bagi Mesir dikarenakan jalur ekspor-impot barang dan sumber daya alam yang diperlukan selalu melalui pantai-pantai yang ada di sini.
Hal ini sudah dimulai sejak masa pemerintahan Muhammad Ali Pasha. Alexandria benar-benar menjadi pusat kegiatan dan kelautan yang mendukung roda penghidupan rakyatnya. Alexandria juga menjadi kota kosmopolitan yang ditinggali oleh bangsa-bangsa yang mendiami sekeliling laut Mediterania. Sehingga kota ini identik dengan beragam multikultural dari berbagai lapisan dunia seperti Italia, Yunani, dan Turki.
Bahkan, sebelum Kairo, Alexandria pernah menjadi ibu kota Mesir selama lebih dari 1000 tahun, hingga penaklukan Islam pada tahun 21 H. Maka tidaklah heran, bukan hanya aku, kalian pun pasti akan kagum dan jatuh cinta jika bertemu dengan Alexandria. Siapa pun yang bertatapan dengan Alexandria, dia akan jatuh cinta saat itu juga, tanpa jeda.
Seperti Iskandar Agung (Alexander The Great) yang hanya mampu tercengang ketika pertama kali menampakkan kakinya di sini. Ia lantas berkata, ”Di sini akan kubangun kotaku yang sudah kuimpikan sejak lama.” Maka sejak saat itulah, keindahan itu mulai membius setiap hati yang menemuinya.
Hari ini, perjalananku untuk menemui seseorang di Alexandria harus terhenti, bukan berarti aku sudah menyerah untuk menemui Zaritsa, tapi ada petunjuk baru yang harus aku ikuti sekarang. Petunjuk baru yang mengarahkanku untuk pergi jauh ke tempat bersejarah yang luar biasa, tempat sakral yang keagungannya disebutkan oleh Allah dalam al-Quran. Tempat di mana Allah swt. secara langsung berbicara dengan Nabi Musa as. Bukit Thur Sina atau yang kami sebut Gunung Sinai.
Aku sudah berada di tempat yang ditunjukkan oleh Zakiah kemarin. Dia bilang akan ada adik laki-lakinya yang akan pergi ke Sinai hari ini. Pagi itu masih menunjukkan pukul delapan pagi. Zakiah bilang adiknya akan datang pukul sembilan tepat. Alexandria masih terlihat sepi, hanya terlihat beberapa aktivitas di bilik toko-toko kedai makanan.
Toko-toko besar masih rapat tertutup, kebanyakan aktivitas di sini dimulai pada jam sepuluh pagi. Aku melihat gerombolan anak kecil asli Mesir yang bersiap pergi ke sekolah. Mereka berkejar-kejaran penuh tawa, sesaat aku membayangkan masa kanak-kanakku dulu.
Masa yang paling indah, ujarku membatin.
Tiba-tiba salah seorang dari gerombolan anak kecil itu berpaling, meninggalkan gerombolannya berjalan ke arahku.
Sambil tersenyum, anak kecil berkerudung itu melambaikam tangannya padaku, kemudian menepuk tanganku yang segera aku balas dengan tepukan halus.
“Ada yang bisa kubantu, Dik?” tanyaku membungkuk penatap wajah bulatnya.
“Kak, boleh ikut aku sebentar?” pintanya polos sembari menarik-narik kausku. Anak perempuan kecil itu berjalan di depanku. Kerudungnya melambai-lambai tertiup angin pagi. Aku berusaha mengikutinya perlahan. Tepat di depan sebuah sumur tua anak kecil itu berhenti.
“Kak, bisa bantu aku mengambil air dari sumur ini?” ujarnya polos membuka pembicaraan sambil menilik ke dalam sumur. Wajahnya terlihat memohon, sembari mendekap tangan kecilnya. Senyumnya saat itu membuatku bergetar, manis sekali. Aku membalas senyumnya kemudian mengangguk tanpa bertanya untuk apa air itu.
“Terima kasih, Kak. Jika Mala yang mengambil sendiri airnya pasti akan telat lagi ke sekolahnya,” balas anak perempuan itu semringah.
Tanpa banyak bicara, aku segera mengambil ember yang tergeletak di samping sumur. Hanya dengan satu lemparan aku sudah berhasil menaikkan satu ember penuh berisi air.
“Untuk apa air ini, Dik?” tanyaku sambil menarik perlahan ember itu ke atas. Tinggal tiga tarikkan lagi ember itu akan sampai ke permukaan.
“Mala mau shalat Dhuha Kak, air itu akan Mala gunakan untuk berwudhu,” jawabnya lirih sambil bertepuk tangan melihat embernya sudah hampir tiba di permukaan.
Aku yang mendengar jawaban dari anak kecil itu terdiam Aku menghentikan tarikkanku tepat di bibir sumur tua itu. Aku terkagum-kagum dengan sesosok kecil yang ada di hadapanku.
Sekecil ini, anak ini sudah menjaga shalat dhuhanya, batinku dalam hati. Aku diam merenung, menbandingkan diriku dengan anak kecil ini. Menyaksikan diriku sendiri yang masih sering meninggalkan amalan-amalan sunahku.
“Subhanallah, luar biasa, Dik!” jawabku menimpali sembari menurunkan ember itu ke bawah.
Anak kecil bernama Mala itu melepas kerudungnya. Memintaku berpaling dengan isyarat tangan mungilnya. Segera aku berpaling membelakangi. Mala pun perlahan mulai berwudhu.
“Kak aku sudah selesai wudhu. Terima kasih ya, Kak,” ujarnya tersenyum manis.
“Mala, ayo kita makan dulu! Biar Kakak yang traktir,” tawarku pada Mala.
Muka Mala terlipat, kepalanya menggeleng.
“Maaf, Kak. Aku lagi puasa,” jawab Mala.
“Puasa apa Mala? Bukannya hari ini hari Rabu ya?” ucapku lagi tidak percaya.
“Mala puasa Daud Kak. Sudah ya Kak, Mala pamit dulu. Terima kasih telah membantu Mala Assalamu’alaikum,” kata Mala sembari, berjalan meninggalkanku. Aku lagi-lagi terdiam. Hari ini betul-betul ditampar oleh anak kecil yang baru aku temui.
Puasa sunnah Senin-Kamis saja jarang. Apalagi puasa Daud, lirihku berucap penuh penyesalan. Aku ditegur oleh Allah pagi itu. Lunas tanpa ditunda sedikit pun. Hatiku ngilu menghitung hari yang mungkin terlewat sia-sia, sedangkan usia terus bertumbuh mendekati kematian.
Saat itu aku bertekad untuk mulai mengerjakan amalan-amalan sunah yang dulu sempat rutin aku jalankan. Anak kecil bernama Mala itu menjelma menjadi cermin yang memberitahukan betapa lusuhnya aku. Kekalahan telak pada ia yang masih berusia belia. Namun telah paham bagaimana caranya mendekat pada Allah. Aku?_