Saudara Tiri
Aku susah mendefinisikan suasana yang sedang kulihat di kompleks kediaman luas milik Hiro Yamaguchi satu jam kemudian. Hiro dan Ayako, bersama keluarga besarnya telah kembali dari Kuil Meiji. Mereka berada di dalam bersama keluarga inti tempat jasad Sakura dan suaminya disemayamkan sementara, menyisakan aku, Salonga, Akashi, dan kenalan baruku, Thomas, yang berhasil menebak di mana bom itu berada beberapa detik sebelum meledak. Suara tangisan terdengar dari sana, puluhan pengiring pengantin perempuan yang adalah teman-teman sekolah atau kuliah Sakura menangis, juga tante, bibi, pembantu rumah yang dekat dengan Sakura, tak kuasa menahan isak. Kesedihan menggelayut berat di langit-langit.
Aku berdiri di halaman rumah, di antara pohon bonsai dan hamparan kerikil.
Puluhan tukang pukul berkumpul di sana.
Wajah mereka separuh sedih, separuh lagi marah.
Mereka tetap diam seribu bahasa sejak tadi, tapi jika mereka diizinkan bicara, aku tahu, semua tukang pukul ini akan berteriak, “HABISI MASTER DRAGON!” atau “SERBU HONG KONG!!” berangkat saat itu juga ke sana. Mereka adalah tukang pukul yang setia, hidup mati mereka berikan untuk Keluarga Yamaguchi.
Wajah Akashi yang berdiri tak jauh dariku merah padam sejak tadi. Dia menunduk, menatap hamparan koral.
“Ini semua salahku, Tuan Bujang. Ini semua salahku.’ Dia bergumam berkali-kali.
Aku diam.
“Aku tidak pantas lagi berada di keluarga ini.” Akashi meremas jemarinya, berkali-kali menyentuh ikat pinggangnya—menyentuh pedang samurai yang tersembunyi di sana.
“Harakiri bukan solusinya, Akashi.” Salonga menegur dengan intonasi dingin.
“Ini salahku, Tuan Salonga. Aku gagal—”
“Dasar bodoh! Harakiri justru membuatmu tidak bisa membalaskan sakit hati.”
Akashi terdiam, tangannya menjauh sedikit dari ikat pinggangnya, dia mengusap wajahnya.
Lengang lagi.
“Kue itu, tidak ada yang menduganya. Tukang pukul lalai memeriksanya. Aku gagal melaksanakan tugas sebagai kepala—“
Salah satu tukang pukul telah memeriksa kue itu, Akashi,” Thomas menggeleng, memotong, “Tidak ada yang luput. Menurut dugaanku, bom itu memang tidak bisa dideteksi dengan alat yang ada. Bom itu lebih maju dibanding teknologi kontra-bom yang ada di dunia saat ini. Itu bukan salah tukang pukulmu. Bom itu hanya bisa ditemukan jika kuenya dibongkar, dan itu mustahil, tidak seperti membongkar tas, kotak, atau apapun bawaan tamu undangan, kue itu akan berantakan jika dibongkar. Si pembuat bom tahu persis hal itu, dia genius.”
Akashi menunduk, mengepalkan jemarinya, “Aku aka, menikam leher Yurii si pembuat bom. Aku akan melunasi kegagalan ini.”
“Nah, itu lebih baik dibanding harakiri.” Salonga mendengus.
Lengang. Menyisakan suara jangkrik dan suara tangis di kejauhan.
Kami masih beberapa saat menunggu di halaman rumah hingga Hiro Yamaguchi akhirnya keluar. Dia mengenakan kimono berwarna hitam, tanda berkabung. Wajah kepala keluarga usia enam puluh tahun itu terlihat suram dan lelah. Jelas terpancar kesedihan di matanya. Dia keluar bersama Kaeda—yang terlihat berbeda penampilannya.
Saat Hiro melangkah keluar, puluhan tukang pukul sontak membentuk formasi, mengelilingi Hiro Yamaguchi. Mereka siap mendengar perintah apapun. Aku juga berdiri di depan Hiro Yamaguchi. Menunggunya bicara.
“Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi, Bujang-kunHiro bicara kepadaku—setidaknya suaranya masih terdengar mantap, tenang dan meyakinkan dalam situasi menyedihkan ini, “Setiap jam menjadi penting. Kita tidak bisa membiarkan Master Dragon terus mengirim serangan mematikan. Kita harus membalasnya segera.”
“Berangkat sekarang juga ke Moskow, Bujang-kun. Kaeda akan ikut pergi bersamamu.”
Kaeda mengangguk. Dia juga sudah berganti pakaian, bukan lagi pakaian pesta, atau tampilan wanita karier, CEO seluruh grup bisnis Keluarga Yamaguchi. Dia telah mengesakan pakaian hitam ringkas, tampilan ninja modern,
“Temui Bratva, bentuk aliansi tiga keluarga.”
Aku mengangguk. “Aku akan memberikan tawaran yang tidak bisa dia tolak, Hiro-san.”
Hiro menoleh ke Akashi, “Dan Akashi, mulai malam ini gandakan keamanan semua pusat bisnis milik Keluarga Yamaguchi. Tingkatkan patroli, juga rotasi jadwal tugas tukang pukul. Kita harus bersiap dengan kemungkinan terburuk. Tapi jangan biarkan emosi, rasa marah, kebencian kepada lawan membuat penilaian kita menjadi keliru. Tetap fokus pada tugas masing-masing. Marah, tindakan nekat membabi buta hanya membuat lawan kita tertawa. Aku juga akan segera menghubungi Perkumpulan Gunung Fuji, jika mereka berkenan, Keluarga Yamaguchi sekali lagi membutuhkan bantuan mereka.”
Akashi mengangguk.
Aku tahu apa itu Perkumpulan Gunung Fuji. Itu adalah organisasi nonformal ninja dan samurai hebat di Jepang yang masih tersisa. Dulu Guru Bushi adalah ketua perkumpulan tersebut, anggotanya tidak banyak, seiring telah banyak yang meninggal, menyisakan sekitar dua puluhan, dengan usia tua. Tapi jangan keliru, mereka tetap mematikan, dan beberapa memiliki murid yang siap membantu.
“Thomas, terima kasih banyak telah menyelamatkanku malam ini,” Hiro menoleh ke arah Thomas, ”Tapi aku tahu, ini bukan perang milikmu. Aku tidak bisa berharap lebih banyak lagi, kau telah menunjukkan tindakan paling tinggi yang bisa dilakukan anggota keluarga kami. Besok lusa, jika kau membutuhkan sesuatu, Keluarga Yamaguchi akan selalu ada. Sekali lagi, terima kasih banyak.” Lantas membungkuk dalam sekali sebagai simbol respek.
Anak muda di sampingku itu balas membungkuk dalam-dalam kepada Hiro Yamaguchi.
Lengang lagi sebentar, menyisakan suara jangkrik.
Hiro Yamaguchi menatap sekeliling, kemudian balik kanan, dia telah menyampaikan semua pesannya, kembali masuk ke dalam rumah. Pertemuan selesai. Tukang pukul senior segera membubarkan diri, kembali ke pos masing-masing. Kepala keluarga telah membuat keputusan dan memberikan instruksi. Mereka mendengar dan mereka mematuhinya.
“Sampai bertemu lagi, Kawan.” Thomas menjulurkan tangannya, Aku tahu, jika ini hanya cerita bersambung, banyak pembaca yang ingin melihat kita bertarung bersisian…. Tapi Hiro benar, ini bukan perangku—setidaknya belum. Jika Keluarga Tong membutuhkan seorang konsultan keuangan terbaik, jangan sungkan menghubungi nomor telepon di kartu namaku. Aku harus ke London malam ini besok pagi-pagi ada seminar penting yang harus kuhadiri membahas omong kosong tentang Lindahl Equilibrium dan Teoti Bowen.”
Aku balas menjabat tangannya dengan kokoh, “Tentu saja Thomas. Sampai bertemu lagi.”
Anak muda itu melangkah menuju mobilnya yang terpakir tidak jauh dari hamparan koral. Dia gesit membuka pintu, duduk di kursinya, menurunkan jendela kaca, melambaikan tangan. Sekejap, mobil balap itu melesat cepat menuju jalanan pribadi kompleks kediaman Hiro Yamaguchi. Cahaya lampunya hilang di kelokan. Cepat sekali dia mengemudi. “Anak itu, dia cukup hebat untuk seorang konsultan keuangan. Aku pikir, konsultan keuangan semuanya menyebalkan, dengan kacamata besar, wajah kusut seperti angka-angka.” Aku mengangguk.
“Aku tidak tahu, dia lebih hebat saat memukuli orang lain, atau saat memukuli angka-angka di atas kertas.” Salonga mencoba bergurau.
Aku tertawa pelan, melangkah menuju parkiran mobil, “Kita berangkat sekarang, Kaeda.”
“Haik, Bujang-senpai.” Kaeda bergegas menyusulku.