Siapa tidak kenal Ismail Haniyeh. Dialah pejuang dan Kepala Biro Politik Hamas yang belum lama ini syahid dalam kiprahnya melawan kezaliman Zionis Israel. Siapa Ismail Haniyeh?
Ismail Haniyeh lahir pada 1963 dari keluarga Arab Palestina. Ayahnya adalah seorang Syekh Sufi (Mursyid Tarekat).
Tidak jauh dari kediamannya terdapat zawiyah, yakni tempat berkumpulnya para pengamal tarekat (thariqah). “… dan saya tumbuh dalam suasana pengamalan Tarekat seperti ini.”
Ayah Haniyeh adalah juga seorang mu’adz-dzin, yang membiasakan Haniyeh kecil berangkat bersamanya–membuka pintu masjid, melaungkan azan–lalu salat subuh di masjid yang sama.
Ayahnya juga membiasakan mengajak Haniyeh untuk mengikuti acara-acara maulid dan ta’ziyah/tahliil, serta majelis-majelis zikir yang biasa diadakan oleh ayahnya itu.
Dalam wawancaranya dengan Aljazeera, Haniyeh mengungkapkan betapa masa kecil dan remajanya dalam lingkungan Tarekat ini telah membentuk karakternya.
Kisah Ismail Haniyeh ini mengingatkan kita pada kenyataan bahwa, tak sedikit pejuang pembebasan dan pemimpin perlawanan Islam dalam sejarah agama ini adalah para pengikut tasawuf dan pengamal Tarekat.
Kaum Sufi oleh sebagian pengkritiknya dituduh sebagai kelompok yang menyendiri, menjauh dari masyarakat, dan mengabaikan kehidupan duniawi. Pada kenyataannya, justru tasawuf mendorong mereka untuk menjadi orang-orang yang paling mementingkan perbaikan kehidupan dunia, dengan berupaya memastikan bahwa setiap orang mendapatkan hak kemanusiaannya.
Dalam sejarah Islam, betapa banyak catatan tentang para sufi yang menjadi pemimpin gerakan perlawanan terhadap penindasan dan penjajahan, baik di negeri kita maupun di berbagai belahan dunia Muslim lain.
Di Indonesia, misalnya kita mengenal Pangeran Diponegoro yang, terlepas apakah dia seorang sufi atau bukan, adalah orang yang dibesarkan dalam keluarga yang mempraktikkan tasawuf. Bahkan keluarganya dikenal sebagai pengikut Tarekat Syath-thariyah.
Diponegoro dikenal sebagai orang yang juga mempelajari dan mencoba mempraktikkan ajaran-ajaran tasawuf, khususnya wahdatul wujud.
Sebagaimana dikutip oleh Peter Carey, Diponegoro disebutkan sebagai pembaca Kitab Topah. Kitab Topah yang dimaksudkan di sini adalah kitab Al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi yang dikarang oleh Syeikh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri al-Hindi (w. 1620 M). Kitab tersebut tiada lain merupakan salah satu kitab yang menjadi perantara masuk dan meluasnya ajaran tasawuf wahdatul wujud di Indonesia.
Sartono Kartodirdjo, seorang sosiolog dan antropolog, termasuk di antara yang menuliskan banyaknya pemberontakan petani di Indonesia yang dipimpin oleh orang-orang yang dianggap sebagai pemimpin Tarekat atau kaum sufi.
Di negara berpenduduk Muslim lainnya, misalnya kita mengenal Omar Mukhtar di Libya yang memimpin pemberontakan melawan penjajahan Eropa; Imam Syamil, seorang sufi di Uni Soviet yang memimpin pemberontakan melawan penindasan Rusia. Juga Badi’uzzaman Sa’id Nursi di Turki, dan Imam Khomeini di Iran, serta banyak lagi di berbagai belahan dunia lainnya.
Dan kesemuanya itu bukanlah suatu kebetulan. Menjadi sufi dan mengamalkan Tarekat bukan saja tidak bertentangan dengan jihad melawan penindasan. Justru sebaliknya.
Ajaran Tasawuf yang mendidik para pengikutnya untuk menghindar dari pengumbaran hawa nafsu duniawi dan mengorientasikannya kepada kebahagiaan spiritual, terbukti telah menyemangati para penempuhnya untuk melakukan jihad dan menyelenggarakan amal-amal saleh untuk mereformasi dunia, demi mampu meraih pertemuan dengan Allah (liqaa’ Allah).
Ya, jalan tasawuf justru dapat menjadi sumber ilham paling kuat bagi pengorbanan diri di jalan-Nya.
Perjalanan menuju Allah–suluuk–yang harus ditempuh kaum sufi harus dimanifestasikan dalam bentuk kembalinya si sufi ke dunia untuk mereformasinya dalam bingkai keruhanian. Inilah yang telah dibuktikan oleh para sufi dan pengamal tarekat itu. Termasuk Ismail Haniyeh.
Bacaan terkait
Filosofi Ilmu Nahwu, Pelajaran Hidup Sufi dari Nahwul Qulub
Al-Hikam: Untaian Mutiara Kebijaksanaan Sufi
Maraqi al-Ubudiyah Syekh Nawawi al-Bantani: Kitab Fikih Berjiwa Tasawuf