Tahun 2023 survei Gallup menyebutkan karyawan di Amerika Serikat mengalami penurunan keterikatan (enggagement) antarkaryawan di tempat kerja. Ekspektasi mereka terhadap perusahaan serta keterikatan dengan misi perusahaan juga menurun dibanding empat tahun sebelumnya.
Survei lain menyebutkan, 1/3 pekerja AS percaya bahwa konflik di tempat kerja akan meningkat selama 12 bulan ke depan. Persepsi ini mungkin berasal dari ketegangan yang mendasarinya dan masalah yang belum terselesaikan di tempat kerja, yang mengindikasikan potensi pemicu konflik di masa mendatang (SHRM, 2024)
Sedangkan di tingkat dunia, menurut laporan terbaru Gallup State of the Global Workplace, pekerja di seluruh dunia mengalami tingkat stres harian yang sangat tinggi.
Bagaimana dengan di Indonesia? 27% dari 1.190 pekerja yang tergolong generasi Z mengalami burnout, atau kelelahan kerja (DataIndonesia.id, 2023). Responden yang punya gejala burnout berupa depresi dan mudah marah masing-masing sebesar 11% dan 10%. Sebanyak 8% responden menyatakan gejala burnout yang sering dialami berupa sakit kepala. Sementara, 3% responden membenci pekerjaannya.
Jadi, ini fenomena dunia, juga lintas umur. Bukan hanya dialami generasi Z, yang oleh banyak orang suka dijuluki “pekerja manja” atau “generasi strawberry”.
Budak Korporat
“Budak Korporat”. Cukup sering aku mendengar teman-teman pekerja muda mengungkapkan dua kata itu. Istilah yang dipakai untuk mengekspresikan situasi atau suasana bekerja yang sudah seperti “perbudakan” versi zaman now.
Dulu, perbudakan diwakili oleh Romusha (pekerja paksa tanpa dibayar), sekarang seolah kembali terjadi dengan cara yang berbeda. Bekerja, dibayar, dapat tunjangan, tapi hampir tak kenal waktu. Hampir 24 jam adalah waktu kerja, termasuk hari Sabtu dan Minggu. Sistem kerja hybrid atau work from home juga menyumbang faktor munculnya istilah “perbudakan” ini.
Salah satu hal utama yang menyebabkan pekerja mengalami burnout, stres, depresi dan berkonflik adalah karena kurangnya engagement antarpekerja di tempat kerja, baik antar sesama karyawan, antarkaryawan dengan pimpinan, juga antarkaryawan dengan pekerjaan dan perusahaan itu sendiri.
Employee engagement atau keterikatan karyawan diperkenalkan pertama kali oleh William Khan pada tahun 1990. Kahn (1990) mendefinisikan employee engagement sebagai keterikatan karyawan dengan perusahaan itu sendiri. Karyawan/pegawai yang memiliki rasa keterikatan yang tinggi cenderung akan bekerja dengan lebih baik karena adanya perasaan positif dalam diri mereka, dan tidak menganggap pekerjaan sebagai beban.
Menurutku, engagement dapat dibangun dengan menajamkan dan menguatkan visi yang sama kepada semua pihak internal dan ekternal organisasi/perusahaan sejak awal, bahwa misalnya, bekerja bukan hanya tentang mencari uang, tapi juga bagian dari tugas kemanusiaan, tentang bagaimana mengekspresikan diri, sebagai ruang belajar, ladang ibadah, juga untuk membangun persahabatan dan support system.
Perusahaan juga perlu mempertegas hak dan kewajiban semua pihak, membangun team work, menciptakan lingkungan kerja yang positif dan seimbang, memberikan benefit yang mengedepankan pertumbuhan karyawan, dan punya role model kepemimpinan yang baik.
Inilah salah satu tugas utama divisi HRD, meningkatkan engagement antarkaryawan dan pimpinan dengan berbagai program yang mendukung. Agar karyawan enggak merasa sebagai “budak korporat”.
HRD dan Artificial Intelligence
Mengurus “manusia” memang bukan pekerjaan mudah. Secara ya, banyak kepala, karakter, dan pengalaman hidup di sana. Kabar baiknya, divisi Human Resources Development (HRD) bisa memanfaatkan kehadiran Artificial Inteligence (AI) atau Kecerdasan Buatan untuk membantu pekerjaannya. AI dapat menganalisis data, memprediksi perilaku, menawarkan solusi inovatif untuk meningkatkan engagement dan membangun budaya kerja yang positif.
Bagaimana HRD dapat memanfaatkan AI? Pertama, mengidentifikasi dan mengatasi disengagement di lingkungan kerja dengan cara menganalisis data karyawan, seperti respons terhadap survei, feedback, dan aktivitas di platform internal, untuk mengidentifikasi pola dan tren engagement. Hal ini memungkinkan HR untuk secara proaktif mengidentifikasi masalah dan mengambil langkah tepat untuk meningkatkan engagement.
Perusahaan ternama semacam Google sudah menggunakan AI untuk menganalisis data karyawan dan mengindentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi pada burnout. Hasil analisis itu kemudian digunakan untuk mengembangkan program dan intervensi yang positif.
Kedua, personalisasi pengalaman karyawan. AI dapat dimanfaatkan untuk melihat skill dan minat karyawan sehingga HRD dapat merekomendasikan jalur karir yang seusai untuk karyawannya. Contoh perusahaan yang sudah melakukan ini adalah Netflix. Ia mempersonalisasi rekomendasi film dan acara TV untuk karyawan, sehingga mereka dapat menemukan konten yang sesuai dengan selera karyawannya.
Ketiga, AI dapat mempermudah tugas-tugas administrasi. Misalnya, komunikasi dan kolaborasi antartim menggunakan miro di aplikasi Zoom meeting dan membuat platform chatting antarkaryawan. Amazon, misalnya, menggunakan AI untuk membangun platform chat yang canggih untuk karyawan, yang memungkinkan mereka untuk berkomunikasi dan berkolaborasi dengan lebih efektif.
Keempat, AI bisa meningkatkan kesejahteraan karyawan. HRD dapat menentukan kebutuhan untuk kesejahteraan karyawan, misalya dengan menganalisis data karyawan untuk identifikasi kebutuhan kesehatan, program peningkatan nutrisi, program mindfulness, sampai preferensi mereka hang out ke mana saja.
Memang, sih, AI dapat dimanfaatkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk di dunia kerja bagi HRD. Tapi, selalu aku mengingatkan, bagaimanapun AI hanya alat bantu. Kelemahan-kelemahanya tetap ada. Karena itu, kualitas dan integritas manusia sangat dibutuhkan di sini. Dalam dunia HR khususnya, menghadapi manusia bukan perkara mudah. Manusia itu kompleks! Kadang banyak dramanya, hehe…
Meski menggunakan AI dalam kerja-kerja HR, keterlibatan seorang HRD secara personal, holistik, dan berkesinambungan, sangat penting dilakukan. Melakukan manajemen konflik secara tatap muka atau coaching personal yang melibatkan kedekatan emosional, misalnya, dibutuhkan dalam kondisi tertentu, dan enggak bisa dilakukan oleh AI.
Soal lain adalah, tim HRD penting memperhatikan soal etika dan data pribadi para karyawan saat menggunakannya pada tools AI. Dalam implementasi penggunaan AI pun, karyawan perlu dilibatkan sebagai bentuk penghargaan dan keterbukaan dalam setiap proses terkait di lingkungan perusahaan.
Jadi, balik lagi, manusia harus terus meng-uprade dirinya supaya lebih berkualitas dan bijak dalam berkolaborasi dengan AI.
Bacaan terkait
Homo Deus: The End of Humanity
Menuju Indonesia 2040 yang Bukan Kaleng-kaleng
Bukan Bakat atau Kecerdasan, Yang Bikin Anda Maju Adalah Pola Pikir
Masa Depan Dunia dalam Prediksi Futurolog Ian Pearson
Metaverse: Dunia Serba Virtual, Mampukah Kita Menghadapinya?