Pada akhir tahun 1993, para pegiat teater UIN Jakarta (dulu IAIN) Ciputat menggelar pementasan drama dengan judul “Kursi”. Naskah drama ditulis oleh almarhum Prie GS, mantan wartawan harian Suara Merdeka, Semarang. Alur ceritannya sederhana, ia berkisah tentang seorang Raja lanjut usia yang gelisah dengan keberlanjutan takhtanya. Raja dan permaisuri mencurigai adiknya yang dianggap tengah mengincar kursinya. Sang adik dianggap sedang berkomplot dengan anak-anak muda dari kalangan intelektual dan para juru warta.
Raja mencurigaai tindakan adiknya bersama teman-temannya. Mereka dianggap sedang membangun gerakan untuk mengambil alih kekuasaan sang Raja. Tidak ingin kalah cepat, Raja memerintahkan semua perangkatnya untuk menumpas gerakan itu hingga akar-akarnya. Untuk memuluskan agendanya, Raja menyediakan fasilitas istimewa dan anggaran besar yang tidak perlu dilaporkan penggunaannya. Pesannya jelas: ”Tumpas! Tidak boleh ada musuh yang tersisa.” Segala cara boleh dilakukan selama ditujukan untuk mencegah ancaman. Bisa dibayangkan, betapa brutal dan kejamnya aksi para antek Raja saat bertindak.
Gairah para mahasiswa di kampus untuk menonton pertunjukan itu dipicu salah satunya oleh tampilan poster provokatif yang dibuat Iwan Misthohizzaman (Iwan Buana FR), salah satu ilustrator terbaik yang saya kenal. Saat itu, dia begitu apik, rapi, dan cermat sekali membuat poster dengan alat seadanya. Gambar yang ditampilkan tampak sadis, impresif, sangat mudah dipahami. Ada kursi berkaki empat, salah satu kakinya patah karena menginjak kepala manusia yang berdarah-darah. Seakan ingin menegaskan bahwa setiap kursi sebagai simbol kekuasaan bisa berdiri kokoh karena ditopang oleh derita rakyat yang berdarah-darah.
Poster itu terpasang di gerbang utama kampus selama sepekan sebelum pementasan. Ribuan mahasiswa yang akan ke kampus pasti menoleh poster itu. Mungkin mereka penasaran dengan isi pertunjukannya. Sebagai sutradara, saya bangga sekali saat itu. Drama dipentaskan di Aula Fatahillah di dalam area kampus UIN Ciputat selama dua hari. Ia cukup menyedot banyak penonton, bahkan banyak yang rela berdiri karena kehabisan tiket. Kalau tidak salah ada 800 karcis terjual, meski harganya hanya 500 rupiah.
Aksi Penggerebekan
Menjelang selesai pentas di hari kedua, tiba-tiba ada pasukan polisi dengan mobil Kijang terbuka mendatangi Aula Fatahillah, tempat pertunjukan digelar. Komandan polisi bertanya-tanya tentang siapa penanggung jawab pertunjukan dan izin hiburan malam (hanya istilah itu yang mereka pahami saat itu). Seorang anggota resimen mahasiwa mendatangi saya di samping panggung dan berbisik, ”Ada polisi di luar, kamu diminta keluar.” Saya spontan menjawab, ”tunggu, lima belas menit lagi selesai.”
Usai pementasan, para penonton kaget saat melihat kehadiran mobil polisi. Ada yang berseragam, ada yang berdiri tegak dengan senjata laras panjang. Melihat keanehan itu, kawan-kawan dari pengurus Senat Mahasiswa, para aktivis intelektual di luar kampus seperti Formaci dan HMI memutuskan untuk bertahan. Mereka menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Saya dan Iwan ditemani beberapa pengurus Senat Mahasiswa, aktivis Formaci dan HMI menghadapi polisi. Saya tidak sempat ikut berdebat, namun kawan-kawan lain begitu bergairah untuk melawan. Mereka merasa bertemu dengan lawan diskusi yang seimbang. Adrenalin mereka naik saat mendebat setiap omongan komandan polisi.
Ketika polisi bertanya soal izin pertunjukan, mereka kompak menjawab, ”Ini pertunjukan di internal kampus. Kami punya kebebasan.” Ketika polisi bertanya soal izin dari Dispenda (Dinas Pendapatan Daerah) karena kami menjual tiket pertunjukan, kami menjawab dengan lugas, ”ini untuk biaya pementasan mahasiswa, tidak untuk komersial.” Pertunjukan drama seperti ini tidak pernah ada untungnya. Ini hanya untuk biaya produksi.
Saat keriuhan semakin memanas, tiba-tiba Wakil Rektor III Drs. Abdul Hamid menengahi. Sambil setengah membentak dengan logat Bugis, dia bilang, ”Kalian ini selalu saja membuat masalah. Pak Polisi, anak-anak ini memang bandel sekali, kasih mereka pelajaran sekali-kali nanti. Sekarang, mari kita masuk ke ruangan dengan saya.”
Di dalam ruangan kecil, saya menyaksikan Wakil Rektor III itu meyakinkan polisi bahwa kegiatan pentas drama itu adalah bagian dari kebebasan berekspresi di kampus. Hal itu sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya sebagai Wakil Rektor.
”Apa pun kegiatan kemahasiswaan yang terjadi di internal kampus akan menjadi tanggung jawab saya. Selama tidak terkait dengan aksi kriminal, kebebasan itu harus tetap kami jaga. Jika terkait kriminal, silakan tangkap mereka. Sekarang, Bapak-bapak boleh kembali ke markas.”
Ancaman Demokrasi
Peristiwa yang pernah terjadi pada 31 tahun lalu di UIN Ciputat itu masih lekat dalam ingatan. Sependek pengetahuan saya, kebebasan berekspresi di dalam kampus sebagai tiang penting demokrasi tetap terjaga hingga saat ini. Paling tidak, kegiatan kesenaian teater di kampus tetap dibebaskan. Tidak ada pencekalan, pembubaran ataupun pelaporan ke pihak kepolisian selama dilakukan di dalam kampus.
Namun saya kaget menjumpai peristiwa yang dialami Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Airlangga belum lama ini. Aksi mereka yang mengirimkan karangan bunga satir yang ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka viral. Karangan bunga itu menampilkan foto Prabowo dan Gibran bertuliskan “Selamat atas dilantiknya Jenderal Bengis Pelanggar HAM dan Profesor IPK 2,3 sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang lahir dari rahim haram konstitusi.” Pada bagian bawah foto Prabowo, terdapat tulisan ‘Ketua Tim Mawar,’ sedangkan di bagian foto Gibran tertulis ‘Admin Fufufafa.’ Selain itu, terdapat juga tulisan “Dari: Mulyono (B******n Penghancur Demokrasi).’
Akibatnya, pada Jumat, 25 Oktober 2024 pukul 16.13 WIB, BEM FISIP Unair menerima email dari Dekanat yang berisi surat bernomor 11048/TB/UN3.FISIP/KM.04/2024, yang menyatakan pembekuan BEM FISIP Unair. Surat tersebut menyebutkan bahwa pemasangan karangan bunga di area Fisip Unair dilakukan tanpa izin atau koordinasi dengan pihak fakultas. “Penggunaan narasi dalam karangan bunga tidak sesuai dengan etika dan budaya akademik di lingkungan kampus.” Surat ditandatangani oleh Dekan FISIP Unair, Bagong Suyanto, dengan tembusan ke tujuh pejabat kampus, termasuk Rektor Unair.
Belakangan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Satryo Soemantri Brodjonegoro meminta Rektor Universitas Airlangga mencabut pembekuan Badan Eksekutif Mahasiswa FISIP Unair. Pada Senin, 28 Oktober 2024, Bagong Suyanto mencabut kebijakan pembekuan terhadap BEM setelah BEM FISIP Unair menyetujui untuk menggunakan diksi yang lebih santun dalam menyampaikan kritik.
Dari kedua peristiwa yang terjadi di atas, saya berpandangan bahwa ancaman terhadap demokrasi hingga saat ini tetap nyata. Polanya nyaris tidak terbedakan. Jika di kampus UIN Ciputat dulu pernah ada aksi pembungkaman yang dilakukan melalui tangan polisi, lalu apakah aksi pembungkaman terhadap BEM FISIP di kampus Unair, meskipun akhirnya dicabut, itu terjadi karena adannya relasi kuasa? Saya tidak mampu memastikannya.
Saya baru membaca tulisan Bivitri Susanti di Kompas, 31 Oktober 2024, Demokrasi Nirkritik Bukan Demokrasi. Dia menjelaskan bahwa ancaman demokrasi di wilayah formal adalah berupa hambatan berpendapat atas nama relasi kuasa, seperti dekan dan mahasiswa, rektor dan dosen, serta atasan dan bawahan. Kadang dasarnya bukan aturan, tetapi pada interpretasi para pejabat atas apa yang dia pikir diinginkan oleh pejabat atasannya. Kultur feodalisme bekerja dengan adannya keinginan melayani atasan agar mendapat keududukan lebih tinggi.
Saat ini sedang ada percakapan tentang ”demokrasi santun”. Narasi ini serius karena diucapkan dalam pidato pengambilan sumpah Presiden dan Wakil Presiden pada 20 Oktober 2024 yang lalu. Mari kita lihat bagaimana aparatur negara di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo menafsirkan spirit itu dalam perilaku dan praktik mereka di lapangan.
Apa pun embel-embel yang menyertai prinsip demokrasi, esensinya harus ditegakkan. Demokrasi hanyalah alat agar penyelenggara negara memenuhi kewajibannya kepada rakyat yang memberinya mandat. Salah satu wujudnya adalah memerdekakan para mahasiswa dan insan akademik di kampus untuk terus bersikap kritis terhadap perilaku dan kebijakan pengelola negara. Suara kritis dan kritik mereka harus diterima dengan telinga dan hati terbuka. Karena demokrasi tanpa kritik akan mengalami cacat substansi.
Bacaan terkait
Indonesia-nya Prabowo: Mewarisi Demokrasi di Saat Senja
Menyikapi Kegentingan Konstitusi, Dewan Guru Besar UI Bicara
Ulasan Pembaca 1