Sebagai manusia modern kita memang kurang bertanggung jawab terhadap lingkungan. Selama 4,6 miliar tahun sejak planet ini eksis sampai hari ini, kita sudah mengemisikan kurang lebih 1.700 gigaton karbon. Bahkan setiap tahun kita terus-menerus mengemisikan 35-40 gigaton karbon. Ini fakta ekologis yang kurang mencerminkan keimanan kita.
Padahal, dalam perspektif al-Quran, alam semesta itu disebut sebagai pertanda Tuhan atau ayat Allah. Maka, Allah bilang dalam al-Quran surat Fussilat ayat 53, “Sanurīhim āyātinā fil-āfāqi wa fī anfusihim,” artinya ayat-ayat Allah itu bukan hanya apa yang tertulis dalam al-Quran saja. Bahkan yang tertulis di Quran itu level belakangan.
Sebelumnya ayat-ayat Allah itu “fil-āfāqi wa fī anfusihim,” ada di dalam dirimu dan di alam semesta. Al-Quran itu merupakan generasi akhir. Kita didikte dengan kalimat, “Nih, Tuhan itu ada.” Dahulu, dengan melihat alam saja, seseorang itu tahu bahwa tidak mungkin semua ini ada tanpa Tuhan. Apalagi melihat dalam dirinya dengan segala keunikan manusia, bahkan setiap orang dengan keunikannya, tak mungkin ini tidak diciptakan oleh Tuhan.
Jadi, tidak usah didikte pakai ayat atau “kata”. Sebab, kata itu sifatnya mereduksi sesuatu yang tak terbatas. Apa-apa harus dijelaskan oleh kata. Sesuatu yang lebih bisa menjelaskan sebenarnya imajinasi kita sebagai manusia tentang semesta. Karena itu, ketika terjadi perusakan terhadap alam, berarti harus disadari itu perusakan terhadap tanda-tanda Tuhan, yang itu bukan hanya buruk, tapi juga berbahaya.
Ibarat kita datang ke sebuah museum dan menghancurkan semua yang dikoleksi museum itu. Padahal, kita mendapat informasi tentang suatu zaman, misalnya, dari museum tersebut. Kalau itu dihancurkan, otomatis hilang jejak tentang suatu zaman, sehingga tak bisa dengan baik kita meyakinkan generasi selanjutnya bahwa zaman itu ada.
Di samping itu, Tuhan juga menyebut bahwa segala sesuatu, baik itu manusia, makhluk hidup lainya, atau bahkan benda mati sekalipun, itu bertasbih kepada Tuhan. Artinya, segala ciptaan Tuhan itu tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang rendah. Dia sesuatu yang agung seperti kita.
Karena itu, dalam Islam, ayat al-Quran berbicara bahwa kerusakan yang ada di semesta ini karena kelakuan kita, manusia. Di sana Tuhan ingin mendidik bahwa pola pikir dan pola pandang kita terhadap alam semesta (termasuk juga pola rasa) itu seharusnya berposisi sebagai subjek-subjek, bukan subjek-objek. Ini juga kritik posmodernisme terhadap modernisme.
Posmodernisme itu mengkritik modernisme, karena manusia modern melihat alam semesta sebagai objek untuk memenuhi kebutuhan manusia sebagai subjeknya, sehingga boleh melakukan apa pun yang penting manusia bertahan. Bertahannya alam semesta seolah tak perlu dipikirkan. Kita mengeksploitasi atau memerkosa alam.
Ini juga yang dikritik oleh al-Quran. Saya rasa, juga semua kitab suci, mengatakan polanya seharusnya subjek-subjek; kita memperlakukan alam semesta sebagaimana kita memperlakukan diri kita sendiri. Artinya, alam membutuhkan perawatan dan juga pemberlakuan yang sama; dari sikap, rasa, dan pola pikir kita sebagaimana kita memperlakukan diri kita sendiri. Maka, aneh sekali ketika kita ingin masuk surga, padahal kita sering menebang pohon seenaknya. Sedangkan manusia pertama bernama Adam saja turun, atau diturunkan dari surga ke bumi, gegara hanya memetik satu buah dari pohon. Padahal, Tuhan sudah melarang Adam mendekati pohon.
Jadi, itu simbolisasi yang bisa kita ambil sebagai hikmah atau pelajaran. Nabi Adam itu memetik satu buah saja, ujungnya diturunkan dari surga. Eh, kita mau masuk surga dengan tetap menebang pohon seenaknya. Aneh, kan? Di mana etika lingkungan, kita?
Karena itu, Islam menegaskan betapa pentingnya kita menjaga etika kita kepada lingkungan. Contoh lain, Nabi melarang kita kencing di genangan air atau di air yang mengalir, karena itu akan merusak air. Ini perlu kita sadari dan bisa jadi menjadi kesadaran universal. Kita membuang sampah di Ciliwung, itu bisa jadi akan menyebabkan hancurnya aliran air di Amazon, karena ini satu kesatuan semuanya.
Sama seperti kita. Kalau alam itu kita biarkan sesuai dengan sunnatullah, sesuai dengan hukumnya, semua akan baik-baik saja. Saya sering merenungkan ini ketika di toilet; air yang menetes dari bak mandi itu membentuk skema tersendiri yang menarik. Tidak ada sumbatan, tapi ada satu gerakan yang indah. Tapi, ketika air di genangan itu saya obok-obok, skemanya jadi tidak karuan. Atau ketika genangan air itu saya kasih beberapa benda padat, akhirnya ia tersumbat.
Kelakuan-kelakuan manusia modern ini, dan yang aneh-aneh itu, jelas menimbulkan krisis ekologi. Bahkan modernisme yang disebut sebagai ‘Aufklarung’, diklaim sebagai Era Pencerahan sejak abad ke-16-19 (selama 3 abad), menyebabkan kerusakan yang dahsyat melebihi ketika dunia dipegang oleh zaman kegelapan. Dalam tuduhan mereka, zaman kegelapan itu dipegang oleh baik Islam, Katolik, ataupun Paganisme, dari Sebelum Masehi. Padahal, kerusakannya tidak berarti.
Singkatnya, justru manusia modern yang mengklaim dirinya tercerahkan itu, cuma 3 abad, tapi membuat kerusakan yang melebihi berpuluh-puluh abad dipegang oleh manusia yang dianggap tidak tercerahkan.
Sementara itu, di Bhutan, negeri kecil di Asia Selatan, terkenal di dunia dengan pembuangan gas emisi terendah, bisa dibilang penduduknya paling beragama. Mereka mayoritas Buddhis, memperlakukan alam hanya sesuai dengan kebutuhannya. Nah, kita menggunakan alam sesuai dengan kemauan kita, itu yang menjadi masalah.
Bahkan indeks yang dipakai di Buthan sana bukan indeks ekonomi, tapi indeks kebahagiaan untuk mengukur kemanusiaannya itu ke mana. Ini luar biasa! Karena kebahagiaan artinya meneguhkan kemanusiaan kita kembali ke dalam diri. Kalau di kita, sebagai manusia modern, kebahagiaan itu adalah tentang bagaimana kita berkompetisi dengan di luar diri kita; yakni ketika kita menang dan menaklukkan segala sesuatu di luar diri kita, entah manusia lain ataupun alam semesta.
Sementara yang mereka lakukan di Buthan itu tentang menaklukkan ego di dalam diri dan kembali ke dalam diri. Persis sebagaimana yang dikatakan Nabi Muhammad, “Tugasmu adalah lebih baik dari dirimu sendiri kemarin, bukan dari orang lain.”
Dalam Islam salah satu ayat yang sering disebut-sebut adalah Iqra’. Iqra’ itu pemahamannya bukan hanya membaca al-Quran, tapi juga baca buku lainnya dan alam semesta. Di mana kepekaan kita terhadap alam semesta bisa ditunjukkan, apalagi dengan situasi ekologis saat ini?
Memang bukan sekadar iqra’. Ada lanjutannya, “Iqra’ bismi rabbikal-lażī khalaq.” Bacalah atas dasar Tuhanmu. Jadi, pembacaan yang bukan hanya bersifat intelektual, tapi juga spiritual. Jadi, di sanalah mungkin catatan bagi manusia modern, artinya mereka gagah secara intelektualitas, tapi lemah secara spiritualitas.
Kita enggak mau bicara agama; spiritualitas bukan hanya dalam pengertian moral religius, tapi moral etika. Di sanalah fungsi agama atau nilai-nilai spiritualitas yang mungkin sumbernya bukan agama. Yaitu, kita bukan hanya mau unggul secara intelektual, tapi juga unggul secara moral, yang basisnya bisa spiritualitas agama ataupun spiritualitas non-agama, yang itu dari diri kita sendiri.
Kalau non agama, sebagai manusia. Buktinya posmodernisme tak membawa-bawa agama saat mengkritik modernisme karena keugal-ugalannya.
Bukan hanya modernisme, tapi agama juga begitu. Sekarang kesadaran ekologi di umat beragama juga enggak baik. Seolah-olah di kita itu hanya soal kesalehan ritual, bukan kesalehan sosial, yang di dalamnya bukan hanya kesalehan kepada sesama manusia tapi juga kesalehan kepada sesama makhluk Tuhan, baik itu binatang, tumbuhan, bahkan benda-benda mati. Itu yang juga lemah. Perlu aktualisasi, menjadi kesalehan ekologis.
Karena itu, sekarang umat beragama mendorong memasukkan hifzul bi’ah (menjaga alam semesta dan ekologi) sebagai salah satu dari maqashid syariah, dasar-dasar tujuan agama. Karena kalau ini dibiarkan, alam tambah rusak dan agama harus paling bertanggung jawab, karena ia adalah jalan pintas untuk mengendalikan manusia.
Sejujurnya tak perlu menyadarkan bahwa alam rusak, kita harus menjaganya, tidak. Tuhan memang menyuruh begitu, titik. Karena itu, umat beragama, khususnya tokoh agamanya, harus terdepan dalam menyebarkan nilai-nilai ekologi ini. Dan itu sebenarnya sudah diajarkanoleh tokoh-tokoh agama sebelumnya.
Misalnya, seorang sufi, dia kembali dari perjalanan yang sangat jauh, ratusan hingga ribuan kilometer, naik unta, karena di dalam tasnya itu nyangkut seekor semut dan terbawa.
Sehingga dia berkata, “Kalau saya lepaskan di sini, semut ini akan terpisah dari habitat dan keluarganya.” Maka, dia balik untuk mengembalikan semut itu ke habitatnya. Seekor semut, lho. Dan perjalanan dia itu jauhnya ratusan bahkan ribuan kilometer, kalau naik unta berhari-hari.
Sekarang silakan ukur atau bandingkan dengan kita. Kadang kita naik mobil, tiba-tiba setelah beberapa kilometer, kita baru ngeh ada nyamuk di dalam mobil kita. Apa yang kita lakukan? Seenaknya di tol kita buka kaca mobil, kemudian kita keluarin nyamuknya. Nyamuk itu tentu bingung, “Ini saya di mana?.”
Padahal, kalau kita mau kembali atau balik, tentu gampang sekali. Tapi, kesadaran ekologis kita enggak setinggi orang-orang sufi di zaman dulu. Sepertinya effort-nya jauh lebih besar dari mereka. Ini salah satu analogi bahwa umat beragama juga punya masalah yang serius terkait ekologi.
Selain itu, kita punya kesadaran ekologi yang diteladankan oleh orang-orang sebelum kita, misalnya, juga termasuk kesadaran toleransi. Contohnya Sunan Kudus. Dulu, ketika berkurban, kurbannya kerbau, bukan sapi. Mengapa? Karena Sunan Kudus tidak mau menyakiti hati orang-orang Hindu dan menjaga agar ekologi tak terganggu alias baik-baik saja.
Kalau kita hanya fokus pada penyembelihan satu jenis binatang yang dalam proses penyembelihannya tak punya kesadaran ekologi, itu juga akan bahaya. Artinya, proses penyembelihan hewan kurban tak boleh serampangan, contohnya yang berujung menyiksa. Jadi, harus ada kesadaran ekologis dalam proses penyembelihannya. Juga jangan sampai menghancurkan tanah seenaknya; sampah bekas darah ditanam di situ. Hal-hal semacam ini harus direvolusi.
Ini menyangkut cermin keimanan yang harus diaktualisasikan melalui tindakan yang nyata. Sebab, di level dogmanya sudah jelas, artinya di level keimanan atau kesadarannya sekarang juga relatif sudah ada edukasi. Tinggal di level implementasi atau aktualisasinya.
Karena, di level dogma itu uniknya begini, “Inna al-mubazzirina kanu ikhwana al-syayathin.” Orang yang menyia-nyiakan limbah, mubazir, dia itu saudaranya setan. Tapi, negara dengan limbah makanan tertinggi di dunia, salah satunya adalah Indonesia, negara dengan mayoritas Muslim! Kesadarannya juga sekarang sudah oke, melalui upaya untuk punya kesadaran ekologis. Tinggal bagaimana implementasinya.
Di sanalah kemudian yang relatif rumit, bagaimana kita membangun kebiasaan baru, melalui keteladanan-keteladanan, karena ini soal kebiasaan.
Dalam Islam itu ada yang disebut riyadhah (latihan). Sesuatu yang luar biasa akan menjadi biasa saja kalau dibiasakan. Dalam konteks itu, kita masih terseok-seok. Kadang terseok-seoknya juga di level kesadaran. Contohnya, ada yang bilang begini, “Ah, kalau cuma saya yang enggak pakai plastik, dunia enggak akan berubah.” Padahal, dunia itu berubah dari kita. Ketika kita berubah, kita akan menjadi inspirasi bagi yang lain, bagi kampung kita, nanti bagi kota, bagi provinsi, negara, dan dunia.
Kalaupun tidak menjadi inspirasi, seperti kisah seekor burung yang meneteskan air ke kobaran apinya Nabi Ibrahim, kemudian kata binatang lain, “Buat apa, api Ibrahim itu enggak akan mati dengan tetesan.” Tapi kata si burung, “Utamanya memang bukan untuk memadamkan apinya, tapi sebagai komitmen moral bahwa saya tidak berpihak kepada orang yang membakar Ibrahim, tapi saya berpihak kepada moralitas yang dibawa oleh Ibrahim.”
Jadi, pada akhirnya itu dimulai dari diri sendiri sebagai komitmen moral, karena kita tidak mau nanti ketemu Tuhan sebagai orang yang membawa limbah-limbah ekologi yang turut menghancurkan dunia ini.
Ulasan Pembaca 2