Beruntunglah Karl Marx yang tak sempat mengunduh buah dari sebuah perjuangan. Ia jelas tak akan merasakan apa yang dialami oleh Lenin, Stalin ataupun Mao: penyesuaian antara niat yang mulia dengan realitas yang ada. Dan itu artinya, Marx telah selamat dari menjadi seorang politisi yang lazimnya merasa “besar” karena tuntutan untuk mengelabui.
Menyandingkan dunia politik dengan seni mengelabui pada dasarnya bukanlah suatu hal yang ngayawara. Ibaratkan politik itu adalah sebentuk hasrat seksual yang sudah memuncak, yang pada dasarnya tak pernah peduli pada media yang digunakan untuk melampiaskannya: moral, agama, ideologi, dan lainnya.
Politik dan moral, pada dasarnya, adalah dua dunia yang musykil untuk ditunggalkan. Sebab, para politisi ketika berbicara masalah moral pun adalah tetap dalam kerangka perhitungan politis. Kenapa tetap saja mesti berdasarkan kepentingan ataupun perhitungan politis?
Politik, pada dasarnya, tak mengenal sebuah kekalahan. Ketika pun mengakui sebuah kekalahan, tetap saja pengakuan itu dalam rangka kepentingan politik. Maka, pada titik ini politik pada dasarnya bukanlah sebuah dunia yang dapat diperbincangkan. Karena perbincangan adalah sebentuk penjarakan atas sebuah pengalaman yang hanya nyata ketika dialami.
Pada dunia yang seperti itulah membawa isu soal toleransi, secara sekilas, adalah suatu hal yang tampak konyol. Sifat pragmatis-eksperiental politik rasanya memang tak menyediakan ruang untuk saling toleran atau membiarkan satu sama lain. Bukankah lazim dalam sebuah kontestasi politik terjadi pengkotakan masyarakat yang tentu saja sangat berlawanan dengan semangat toleransi: “agamis-sekular,” “abangan-putihan,” “nasionalis-islamis,” “Timur-Barat,” “Utara-Selatan,” “pribumi-liyan ndrayan”?
Sebagaimana permainan catur, pada sebuah kontestasi politik toleran hanyalah berarti saling memberikan kesempatan yang seturut dengan berbagai peraturan yang ada. Dan toleransi semacam ini sangatlah bertentangan dengan toleransi yang lazim dikaitkan dengan proses kedua dalam mengenal diri sendiri: nandhing sarira, tepa sarira (toleransi), dan mulat sarira.
Bukankah politik, sebagaimana yang sudah dibahas, karena sebentuk kontestasi yang terpaksa menjual perbedaan, adalah sebentuk proses nandhing sarira? Bukankah konyol ketika berkontestasi orang akan saling mencari persamaan dalam perbedaan, yang lazim dikenal sebagai tepa sarira, yang akan membuat sebuah kontestasi tak lagi bermakna. Apakah kemudian, pada aras kehidupan bersama, politik bermakna serendah itu?
Ada sebentuk prinsip etis yang disebuat sebagai etika “jalan perak” di mana orang mesti membahagiakan diri sendiri sebelum membahagiakan orang lainnya. Meskipun kalah utama daripada prinsip etis “jalan emas,” yang lazim ditempuh oleh para agamawan masa lalu, prinsip ini masihlah bersifat etis, karena sisi terjauhnya adalah juga orang lainnya. Dan di sinilah, meski politik adalah sebentuk seni mengelabui, ia masih memiliki ruang untuk menjadi utama ketika sang pemenang bertanggungjawab pada para konstituennya. Bahkan pun bisa jadi politik itu, dengan daya kuasa dan teba kuasa yang melebihi agama, akan lebih utama karena dapat menjangkau lebih banyak orang lainnya.
Bacaan terkait
Kabinet Inklusif Prabowo: Mengakomodasi Faksi-faksi Islam untuk Kohesi Politik
Kebebalan Komunikasi Hasan Nasbi
Membentuk Demokrasi Indonesia: Kebangkitan Kaum Muda di Tengah #IndonesiaGelap