Bayangkan seorang lelaki yang terlempar ke tengah lautan di malam yang pekat. Ombak menggulungnya tanpa ampun, menyeretnya ke dalam pusaran arus yang dingin dan tak bertepi. Napasnya tersengal, tangannya menggapai-gapai, berusaha meraih sesuatu yang tak ada.
Di tengah kepanikan, ia mendengar suara dari kejauhan, mengajarinya cara mengayuh, cara bertahan di permukaan. Tapi tubuhnya terlalu lemah, terlalu lelah. Ia tidak butuh teori tentang cara berenang—ia butuh seseorang yang menyelamatkannya sebelum tenggelam lebih dalam.
Begitulah hidup. Berapa banyak orang yang terjebak dalam badai ujian, dilanda kecewa, dikhianati harapan, atau tenggelam dalam gelapnya dosa? Mereka tak butuh ceramah panjang, tak perlu dikuliahi dengan kata-kata yang menggurui. Tak perlu dihajar dengan dalil tentang kesabaran. Yang mereka perlukan adalah uluran tangan, sentuhan yang tulus, seseorang yang bersedia menyelam ke kedalaman dan menarik mereka ke permukaan.
Lalu Ramadan datang, seperti fajar yang membelah malam.
Bulan suci ini bukan waktunya kita hanya bicara tentang kebaikan tanpa menjadi rahmat bagi sesama. Bukan saatnya menuding dan menghakimi mereka yang masih berjuang melawan diri sendiri. Ramadan adalah bulan penyelamatan, bukan penghakiman. Ibarat seorang yang kehausan, jangan menyuruhnya mencari mata air sendiri—ulurkan cawan, biarkan ia meneguknya hingga ia kembali kuat.
Imam Al-Ghazali pernah berkata, “Jangan menghina seorang pendosa, sebab mungkin ia telah bertaubat sementara engkau masih tenggelam dalam ujub.” Berapa banyak dari kita yang lupa bahwa kita sendiri pun masih berjuang? Bahwa seseorang yang hari ini terjatuh, mungkin esok hari lebih mulia daripada kita?
Rumi mengingatkan, “Di mana ada reruntuhan, di situlah ada harapan untuk menemukan harta karun.” Maka, jangan berpaling dari mereka yang sedang karam dalam ujian. Jangan menatap mereka dengan mata penuh penghakiman, tetapi dengan tangan yang siap mengangkat. Sebab, kita tidak pernah tahu, siapa di antara kita yang benar-benar selamat di akhir perjalanan.
Puasa mengajarkan kita untuk merasakan haus dan lapar, agar kita mengerti arti kelemahan dan harapan. Dalam perjalanan ini, kita semua sedang belajar. Belajar bahwa sebelum mengajari seseorang berenang, kita harus terlebih dahulu memastikan mereka masih hidup. Puasa mengajarkan kita menumbuhkan empati, bukan malah sibuk berasumsi.
Dan mungkin, di saat kita menyelamatkan mereka, kita pun tanpa sadar sedang menyelamatkan diri kita sendiri, dari merasa si paling hebat dan paling suci.
Bacaan Ramadan
Saat Kesalehan Tak Bisa Lagi Dipoles
“Puasa Diet” Ulil dan Hidup Sehat