Setiap tahun para pakar dan praktisi keberlanjutan perusahaan dimintai pandangan oleh GlobeScan, salah satu organisasi penelitian keberlanjutan yang paling dihormati, tentang perusahaan mana yang pantas dinyatakan sebagai pemimpin dalam keberlanjutan. Setiap tahun, entah sudah berapa lama, jawaban kolektif yang diperoleh adalah Patagonia.
Perusahaan yang didirikan oleh petualang alam Yvon Chouinard itu sendiri tak bersedia dinyatakan sebagai perusahaan yang sudah berkelanjutan. Chouinard dan seluruh petinggi perusahaannya lebih senang menggunakan istilah bertanggung jawab. Mereka ingin menunjukkan tanggung jawab untuk menekan dampak negatifnya hingga serendah mungkin, dan melambungkan dampak positifnya setinggi mungkin. Hal itu mereka capai dengan pengelolaan bisnis inti, dengan investasi sosial, dan dengan advokasi.
Advokasi yang mereka lakukan luar biasa terkenal. Di Amerika Serikat, ada Black Friday, hari yang diciptakan untuk mendorong konsumsi dengan diskon luar biasa menggiurkan. Pada Black Friday tahun 2011 Patagonia mengeluarkan iklan Don’t Buy This Jacket di The New York Times. Pesannya adalah untuk tidak membeli jaket Patagonia, atau barang apa pun, yang sesungguhnya tidak diperlukan. Ini adalah awal advokasi mereka untuk meredam konsumsi berlebihan yang menjadi sumber masalah bagi Bumi kita.
Ada banyak advokasi serupa yang terus mereka gulirkan semenjak itu. Namun, agaknya tak ada yang sebesar film dokumenter The Shittropocene yang mereka luncurkan pada 29 April 2024 lalu. Patagonia sudah sangat terkenal dengan film-film dokumenternya, yang sebagian besarnya adalah tentang petualangan dan perlindungan terhadap alam. Semuanya bermutu baik. Tetapi film dokumenter mutakhir ini mengambil tema yang berbeda, selain cara penyampaian pesan yang mungkin akan dinyatakan nyeleneh buat kebanyakan orang.
Temanya adalah konsumsi berlebihan, dengan mengambil contoh dari industri aparel di mana Patagonia berada. Cara penyampaiannya adalah dengan humor dan sindiran kasar. Mereka yang tampil membahas isu ini adalah sejarawan, ilmuwan, dan pekerja Patagonia sendiri. Hasilnya adalah sebuah film yang reflektif sekaligus sangat bisa dinikmati, terutama oleh para penonton dengan selera humor yang agak laen.
Para penonton diberi tahu bahwa selama berabad-abad manusia itu mengonsumsi hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhannya saja. Pangan, sandang, dan papan tak banyak mengalami perubahan dalam konsumsi dan produksi sepanjang sejarah. Namun, manusia modern kemudian mulai mengaitkannya dengan status sosial, sehingga konsumsi yang lebih banyak menjadi pertanda bahwa mereka itu lebih makmur dibandingkan dengan yang mengonsumsi lebih sedikit.
Ketika jumlah konsumsi menjadi penanda status, dimulailah masa baru. Manusia berlomba-lomba untuk mengonsumsi lebih banyak. Sejawaran di film ini menunjukkan di mana dan kapan konsumsi pakaian sebagai penanda status sosial itu dimulai, sekaligus kelindannya dengan dorongan untuk meningkatkan ekonomi negara.
Cerita yang dimulai dengan usulan Menteri Keuangan Prancis kepada Raja Louis XIV itu mendorong para bangsawan untuk berganti-ganti pakaian, diikuti oleh kelompok kaya berikutnya, dan seterusnya hingga masyarakat kebanyakan. Padahal, sebelum itu, orang-orang selalu hanya memiliki dua pasang pakaian: satu untuk pertemuan dengan manusia lain, dan satu lagi untuk pertemuan dengan Tuhan.
Film itu kemudian menjelaskan betapa dorongan konsumsi itu tak pernah lagi menjadi surut. Perusahaan-perusahaan aparel membuat produk yang dengan sengaja dibuat tidak awet, sehingga orang akan berganti-ganti pakaian dengan cepat. Industri ini juga membuat musim pakaian atau mode, sehingga orang bukan saja mengganti pakaian ketika sudah rusak, melainkan untuk merasa tidak ketinggalan mode. Ketika belanja daring diperkenalkan, kecepatan konsumsi menjadi semakin cepat.
Tentu, konsumsi aparel ini punya konsekuensi yang sangat besar untuk Bumi. Sampah menggunung, karena kebanyakan negara tak memiliki kemampuan memadai untuk mengelolanya dengan benar. Tetapi, sebelum menjadi sampah sekalipun, produksi pakaian sudah menekan lingkungan dengan sangat kuat. Kebanyakan pakaian tidak dibuat dengan proses produksi dan bahan yang ramah lingkungan. Konsumsi air sangat tinggi di satu sisi, dan pencemaran air gegara proses pewarnaan di sisi yang lain juga luar biasa. Emisi gas rumah kaca dari sektor ini adalah sekitar 10% dari total emisi dunia.
Apakah kemudian film ini hanya berisikan paparan kritik atas industri aparel? Untungnya tidak, walau dalam hal ini Patagonia agak terasa seperti mengiklankan dirinya. Untuk mereka yang bertungkus lumus mengurusi isu-isu keberlanjutan perusahaan, Patagonia memang teladan tertinggi, jadi tak akan ceriwis bilang bahwa Patagonia sedang beriklan. Tetapi, sangat mungkin penonton awam akan berpikir begitu.
Mengambil contoh dari bagaimana Patagonia membangun produknya sendiri, film ini beragumentasi bahwa produk aparel pertama-tama harus dibuat untuk menjadi seawet mungkin. Ini bukan cuma soal produk yang tak mudah rusak, melainkan juga produk yang bisa selalu dianggap tidak ketinggalan mode. Kalau kemudian produk itu mengalami kerusakan, maka si pemiliknya sendiri, atau siapa pun, bisa memperbaikinya, sehingga usia produk makin panjang.
Produk aparel juga seharusnya bisa diberikan kepada orang lain, dijual kembali, atau ditukarkan bila ada yang bersedia menerimanya. Lalu, ketika akhirnya memang produk itu tak bisa lagi dipergunakan, atau tak lagi diinginkan, dia bisa didaur ulang menjadi bahan baku produk baru.
Kalau sekarang mayoritas produk aparel, dan produk apa pun, tidak dibuat dengan prinsip yang demikian, itu bukan berarti dunia tidak sedang menyaksikan perubahan. Patagonia, selama 50 tahun terakhir, bukan saja telah menunjukkan bukti kesungguhan bagi dirinya sendiri. Banyak perusahaan mengikuti jejak Patagonia untuk menjadi lebih ramah lingkungan—dan ramah sosial. Mereka yang progresif bisa mengikuti tapak jalan Chouinard dengan gesit, namun harus disadari pula bahwa ada banyak yang lebih suka memotong jalan dengan klaim-klaim hampa yang membahayakan masa depan manusia, sebagaimana yang juga ditunjukkan di film ini.
“Many scientists and historians think we’re entering into a new epoch. One where things are simply … well, crappier.” Demikian pembuka film ini. Apakah kemudian dengan film ini kita bisa keluar dari kondisi yang demikian? Tentu saja tidak. Hampir 700 ribu orang yang menyaksikan film ini lewat kanal YouTube boleh jadi akan bertambah pengetahuan dan menguatkan sikap untuk mengekang dorongan konsumsi produk-produk tak berarti tanpa henti. Tetapi agar film ini bisa mencapai tujuannya, ia perlu ditonton oleh lebih banyak orang lagi, dan segala upaya lain—bukan hanya advokasi—juga perlu disinergikan untuk tujuan itu.
Ulasan Pembaca 1