Di Warung Kopi “Mbak Yuli”, di pinggiran Ibu Kota Negeri Andainusa, tiga orang sedang duduk di meja kecil. Mbak Yuli, pemilik warung; Pak Budi, sopir angkot pelanggan tetap; dan Arif, mahasiswa filsafat tingkat akhir Universitas Andainusa. Mereka sedang asyik ngobrol sambil menyeruput kopi panas.
Sambil membersihkan meja yang sebetulnya tidak kotor Mbak Yuli memulai percakapan, “Eh, kalian denger belum? Katanya kebakaran hutan di California itu balasan Tuhan, lho! Soalnya pemerintah Amerika suka bantu-bantu Israel, terus Hollywood sering ngejek Tuhan di film-filmnya. Banyak yang bilang begitu di medsos.”
Pak Budi yang mengangguk-angguk sambil nyeruput kopi menjawab, “Iya, aku juga baca. Katanya, sih, itu azab. Tapi, kok, ya azabnya ke rumah orang, selain ke hutan yang isinya juga binatang-binatang, ya? Kenapa enggak langsung ke Gedung Putih gitu?”
“Waduh, Pak Budi, dari mana kita tahu Tuhan yang ngasih azab? Mungkin ini cuma kebetulan aja. Tapi ya, orang-orang memang suka banget cari kambing hitam. Apalagi kalau udah urusan politik sama agama,” kata Arif.
Mbak Yuli mulai ikutan duduk dan langsung nyeletuk, “Tapi, kan, enggak bisa dipungkiri, Hollywood emang suka bikin film yang ngejek agama. Aku aja kadang kesel lihatnya. Tapi ya, enggak sampai bilang itu penyebab kebakaran-lah.”
Sambil nyeret kursi mendekati Mbak Yuli, Pak Budi bilang, “Tapi Mbak, ini kan bukan cuma kebakaran biasa. Luasnya gila! Puluhan ribu hektare! Jadi, wajar aja kalau orang mikir itu ada campur tangan ‘dari atas’. Apalagi medsos sekarang, kan, jadi panggung buat orang naruh teori-teori gituan.”
Menghela napas dengan kuat Arif lalu berkomentar, “Itu kalau di kampus namanya confirmation bias, Pak. Orang cenderung nyari informasi yang sesuai sama kepercayaan mereka. Jadi, kalau mereka udah percaya Amerika itu jahat, ya semua bencana di sana langsung dikait-kaitin sama dosa-dosanya.”
Mbak Yuli tertawa, “Wah, Mas Arif pake istilah susah. Tapi bener, sih, aku juga liat di medsos banyak yang malah seneng lihat California kebakaran. Katanya, ‘biar tau rasa’. Padahal, kan, yang jadi korban banyak rakyat kecil juga, selain para bintang Hollywwod yang rumahnya gede-gede itu.”
Dengan garuk-garuk kepala Pak Budi menyahut, “Iya, enggak fair juga, sih. Tapi, ya, namanya juga medsos. Semua orang bisa ngomong apa aja. Aku aja kemarin baca ada yang bilang kebakarannya itu karena laser dari luar angkasa. Katanya proyek rahasia pemerintah.”
Arif langsung tertawa terbahak-bahak, “Laser dari luar angkasa? Wah, itu mah levelnya udah sci-fi banget, Pak. Tapi, ya, kalau dipikir-pikir, lucu juga. Orang-orang lebih percaya teori konspirasi daripada penjelasan ilmiah. Padahal, kebakaran hutan itu bisa dijelasin sama ilmu pengetahuan. Bisa karena cuaca ekstrem akibat perubahan iklim, kelalaian manusia, atau bahkan sambaran petir. Juga seringnya karena beberapa faktor sekaligus.”
“Tapi kan, kalau dijelasin pake ilmu, enggak seru, Mas. Lebih seru kalau dikait-kaitin sama dosa-dosa negara sombong gitu. Apalagi kalau udah pake nyebut-nyebut hukuman Tuhan, langsung deh jadi viral.” Begitu komentar Mbak Yuli.
Nyeruput kopi lagi, terdengar nikmat banget, Pak Budi bilang “Ngomong-ngomong, kalau beneran Tuhan yang ngirim kebakaran itu, kenapa enggak sekalian aja kasih pelajaran ke Hollywood? Misalnya, semua tempat bikin film yang pernah ngejek Tuhan langsung hangus aja. Kan lebih efektif!”
“Wah, kalau gitu, Hollywood bakal langsung bangkrut, Pak. Tapi ya, Tuhan kan enggak kayak manusia yang emosional. Kalau Tuhan beneran marah, pasti enggak cuma California yang hutannya kebakaran. Mungkin seluruh dunia udah jadi abu.” Begitu Arif bilang.
Mbak Yuli lalu tertawa, “Iya juga ya. Tapi, ya, namanya juga manusia. Suka banget nyari pembenaran buat kebencian mereka. Amerika bantu Israel, terus langsung dikaitin sama kebakaran. Padahal, enggak ada hubungannya sama sekali. Amerika kan membantu Israel sudah puluhan tahun, dosanya juga numpuk di mana-mana, tapi enggak dikasih azab setiap waktu.”
Sambil berdiri, menyeruput kopinya yang tinggal sedikit, Pak Budi bilang, “Ah, sudahlah. Daripada ributin teori konspirasi, mending kita nikmatin kopi Mbak Yuli aja. Ini kopinya enak banget, enggak ada duanya di Andainusa!”
Arif lalu mengangkat gelas, “Setuju, Pak Budi! Ngomongin kebakaran di California enggak bikin kita jadi lebih baik. Mending kita mikirin gimana caranya mencegah hutan di dekat tempat tinggal kita tidak terbakar, daripada malah bersuka cita atas penderitaan orang.”
“Nah, itu baru bener,” celetuk Mbak Yuli. “Jadi, siapa yang mau pesan kopi lagi? Aku ada stok baru, namanya ‘Kopi California’. Tapi jangan khawatir, enggak ada hubungannya sama kebakaran hutan ya! Palingan yang kebakar cuma bibir, kalau minumnya kecepetan.”
Ketiganya tertawa lepas, melanjutkan obrolan ringan mereka sambil menikmati tambahan kopi di warung Mbak Yuli. Di luar, langit Andainusa yang sedang mengalami musim hujan tampak cerah, jauh dari asap kebakaran hutan California.
Bacaan terkait
Ulasan Pembaca 1