Mudah saja bagi siapapun memiliki ribuan keinginan, tetapi hanya sedikit yang mampu mewujudkannya. Buku berjudul Mentalitet Korea Jalan Ksatria yang baru terbit Maret 2024 ini, mengajak kita untuk merefleksikan kembali nilai-nilai penting dalam mencapai impian. Bagaimana mental dan tekad yang kuat menjadi tonggak utama untuk meraih galah-galah harapan.
Buku dengan sampul merah menyala ini menjelaskan bagaimana seseorang dapat memiliki mentalitet “korea”. “Korea” dalam budaya Jawa sebenarnya mengacu pada masyarakat kelas sosial menengah ke bawah, yang berdaya juang luar biasa untuk dapat keluar dari belenggu kemiskinan. Istilah ini belakangan menjadi populer di kalangan anak muda. Selain idol K-Pop dan drama korea yang terasa familiar bagi mereka, ternyata istilah “korea” pun sudah ada dalam kultur Jawa sejak lama.
Istilah “korea” sendiri menjadi booming akhir-akhir ini sejak pertama kali dilontarkan seorang politisi senior, Bambang Pacul, pada Maret 2023 dalam sidang Komisi III DPR. Ia tak ragu menyebut para anggota dewan sebagai para “korea” yang tidak bisa dilobi sana-sini. Menurut Bambang, mereka adalah ksatria yang mengabdi dan patuh kepada pimpinan partainya masing-masing.
Para “korea” adalah mereka yang memulai semuanya dari nol. Mereka mengerti betul bahwa setiap orang dilahirkan dalam kondisi berbeda-beda, sehingga beberapa orang harus berjuang lebih keras untuk mewujudkan keinginannya. Kesadaran akan kekurangan, pantang menyalahkan keadaan, dan kemauan yang kuat untuk melenting adalah ciri khas mereka.
Melalui buku yang terdiri dari 7 bab ini, kita akan dikenalkan dengan figur Bambang Pacul, seorang pejabat publik yang merintis karir politiknya dari nol. Tekad dan keuletannya membuatnya mampu menduduki jabatan-jabatan penting dan disegani banyak orang. Layaknya seorang korea tulen, ia adalah pemimpin yang pandai menyelipkan guyonan dan nasihat bijaksana dalam setiap ucapannya.
Belajar dari laku hidup Bambang Pacul, pembaca akan diajak untuk memahami betapa ketahan-bantingan seseorang berperan penting dalam mewujudkan keinginan. Dilengkapi berbagai nasihat filosofis Jawa yang masih relevan hingga hari ini, pemahaman kita akan semakin kaya dalam melihat kehidupan. Kehidupan yang “Memayu, Hayuning, Bawana”, yaitu kehidupan yang tidak hanya fokus pada materi, tetapi juga berpusat pada kebaikan dan kesejahteraan bagi lingkungan sekitar.
Para Korea yang Melenting
Bagi para “korea”, mewujudkan keinginan tidaklah sederhana. Dengan keterbatasan uang, minimnya relasi pertemanan, dan ketiadaan akses pendidikan, proses untuk melenting tentu saja tidak mudah. Oleh karenanya, para korea harus melenting terlebih dahulu, melambung tinggi ke tempat dimana ia bisa mewujudkan keinginannya kelak.
Menurut Bambang, mengenali diri adalah langkah pertama yang dilakukan seorang “korea” untuk dapat “melenting” dan mewujudkan keinginan. Apakah ia memiliki minat pada bidang pendidikan, keuangan, atau mungkin kekuasaan. Dari pengenalan itulah, ia dapat menentukan lewat jalur apa ia akan melenting. Bisa lewat pendidikan yang tinggi, membangun bisnis, atau bahkan terjun ke partai politik.
Untuk dapat melenting lebih cepat, seorang korea harus menemukan “galah”-nya. Galah atau tongkat dapat diibaratkan seperti seorang mentor atau sosok yang akan membuat proses melenting jauh lebih cepat. Dalam proses pencarian galah ini, ada pula prinsip dan filosofi Jawa yang seorang “korea” pegang, yaitu “Asah, Asih, Asuh”. Ketiganya harus dilakukan berurutan dan terus menerus.
Yang pertama, asah, adalah mencari sebanyak mungkin informasi ataupun hobi dari galah yang dituju. Memperkaya diri dengan pengetahuan dan minat yang sama akan membuat sang galah merasa memiliki teman yang sepadan. Lalu yang kedua, asih, adalah siap mendengarkan semua kisah dan ocehan galahnya dengan penuh perhatian. Setelah galah yang dituju sudah merasa nyaman untuk berbagi pengalaman, barulah asuh dapat dilakukan. Yaitu saat korea dengan galahnya bersedia saling membimbing dan mendukung impian satu sama lain.
Setelah “korea” mendapatkan galahnya, ia harus ajeg dan tegak lurus. Dalam bidang atau komunitas apapun yang ia geluti, ia harus patuh pada atasan, tidak pula menekuk-nekuk aturan. Pada tahapan awal, seorang “korea” tentu belum punya apa-apa. Hanya kerendahan hati dan 3S (senyum, sapa, salam) yang menjadi senjata pamungkas para “korea” di babak ini.
Walaupun terdengar agak klise, tapi begitulah adanya. Dalam prosesnya, para “korea” akan menerima banyak hinaan dan cacian. Ia tentu tak boleh emosional apalagi tinggi hati. Saat masih di bawah, “korea” harus terus sabar bertahan sambil memperkaya pengetahuan dan pengalaman. Para “korea” percaya, perlahan demi perlahan, mereka akan berada di titik kehidupan yang mereka impikan.
Menata Kehidupan Setelah Melenting
Jika “korea” sudah berada di atas dan memiliki wirya (jabatan), harta (kekayaan), wasis (kepandaian), ia sudah dapat dibilang “korea” tulen. Dalam mengendalikan semua yang dimilikinya itu, korea tulen akan menjadikan Wasis (ilmu pengetahuan) sebagai tumpuannya dalam mengambil setiap keputusan. Ia sadar bahwa ilmu adalah pondasi yang sangat penting.
Sebab perannya yang penting dan ilmunya yang banyak, ia mungkin juga sudah memiliki banyak anak buah. Dengan sendirinya, ia harus menjadi pemimpin yang adil. Dalam budaya Jawa, seorang pemimpin setidaknya harus memiliki tiga hal penting yang ada dalam dirinya, yaitu ngayomi (memberi rasa aman), ngayemi (memberi rasa nyaman), dan ngayani (menguatkan).
Para “korea” pernah berada di bawah dan pernah merasa susah, sehingga ia seharusnya tau cara memperlakukan anak buah dengan baik. Tidak hanya membentak dan menyuruh-nyuruh tanpa dasar, “korea” akan memberikan keamanan, kenyamanan, dan kekuatan terhadap anak buahnya. Orang-orang dengan mentalitet “korea” sudah melalui banyak asam garam kehidupan, mulai dari kemiskinan yang ekstrem hingga penghinaan yang menyakitkan. Semua itu menjadi pelajaran dan pengalaman yang akan memelentingkannya.
Identitas Buku
Judul Buku | Mentalitet Korea Jalan Ksatria |
Penulis | Puthut EA |
---|---|
Dimensi | 14 x 21 cm |
Cetakan | Pertama, Maret 2024 |
Halaman | 129 |
Cover | Soft Cover |
Penerbit | Buku Mojok |
ISBN | 978-623-8463-03-9 |
Ulasan Pembaca 1