Nama politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Bambang Wuryanto, alias Bambang Pacul, sontak terkenal setelah mempopulerkan istilah korea-korea yang ditujukan bagi anggota DPR yang ingin melejit karir politiknya. Kejadiannya berawal saat Rapat Kerja Komisi III DPR RI dengan saat itu Menkopolhukam Mahfud MD dan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana. Ketika itu Mahfud meminta DPR untuk mengesahkan RUU Pembatasan Uang Kartal dan RUU Perampasan Aset.
Atas permintaan itu, Bambang Pacul menyarankan Mahfud membahas hal tersebut dengan semua ketua partai. Sebab, ‘korea- korea’ di Senayan pasti mengikuti perintah ketua umumnya, demikian pernyataan Bambang Pacul.
Walau pernyataan tersebut sekilas tampak guyon atau bercanda, yang disampaikan Bambang Pacul merupakan realitas buram di Senayan, tempat para wakil rakyat bercokol. Hal tersebut memunculkan pertanyaan, sebenarnya mereka mewakili konstituen, pemilihnya, atau ketua umum partainya.
Terdapat empat tipe hubungan antara wakil dan yang diwakili. Mengacu pada teori Gilbert Abcarian, yakni Trustee (Wali Amanat), Delegate (Utusan), Politico (Politikus), dan Partisan (Partisan), maka yang paling dapat menggambarkan hubungan antara wakil rakyat di DPR dan pemilihnya adalah tipe partisan. Wakil bertindak sesuai dengan kebijakan dan arahan dari partai politik, seketika setelah dilantik. Model ini menekankan loyalitas pada partai, lebih memprioritaskan agenda partai dibanding pemilihnya.
Hampir semua parpol mempunyai ketua umum yang sangat berpengaruh dan dominan, dan menjadi penentu utama dalam arah kebijakan partai. Terutama partai-partai yang lahir di era reformasi, di mana pendiri, atau keluarganya, juga merangkap sebagai ketua umum. Bahkan ada yang menyebut mereka adalah “pemilik” partai karena tidak pernah diganti, serta menempatkan keluarga dan kerabatnya dalam posisi penting.
Sedemikian berkuasanya ketua umum parpol menjadikan banyak politikus Senayan takut kepada ketumnya. Hal yang paling ditakuti adalah di-recall atau dilakukan pergantian atar waktu (PAW), karena dianggap tidak sejalan dengan garis kebijakan partai atau ketua umumnya. Kedaulatan rakyat telah bertransformasi menjadi kedaulatan ketua parpol. Bahkan dunia politik Indonesia dalam hegemoni ketua umum parpol.
Dalam perhelatan pemilihan presiden sejak reformasi, kita bisa saksikan manuver-manuver ketua partai sangat menjadi perhatian publik, karena nasib bangsa lima tahun ke depan akan sangat dipengaruhi oleh langkah-langkah politik mereka. Bahkan sejak jauh sebelum pilpres itu sendiri, tidak ada satu pun pernyataan atau gesture politik ketua umum parpol yang tidak menjadi bahan berita. Panas-dingin suhu politik, sangat dipengaruhi oleh mereka.
Sebagian publik akhirnya berpikir, apakah negara sebesar Indonesia nasibnya hanya digantungkan dan ditentukan pada segelintir super elite tersebut? Bukankah hal tersebut menutup peluang bagi anak bangsa terbaik dapat untuk menjadi pemimpin nasional? Apakah hanya yang “berdarah biru” para elite dan kerabat partai politik saja yang berhak menjadi pemimpin nasional?
Jika ditanyakan pada golongan super elite tersebut, mungkin jawabannya mudah ditebak: silakan bergabung dengan partai politik terlebih dahulu. Silakan melenting menjadi “korea-korea” agar mendapat rekomendasi atau diusung partai. Tak terkecuali jika ingin diusung menjadi capres.
Andaikan para korea-korea tersebut melenting dan mendapat posisi puncak dalam parpol, tidak serta-merta peluang menjadi calon pemimpin nasional menjadi mudah. Ada penghalang dan tantangan lain yang disebut sebagai Presidential Threshold atau PT, yang diterapkan sejak Pemilu 2004. Dan sejak itu pula politik transaksional, sebagian menyebut politik dagang sapi, sangat mewarnai jagat perpolitikan nasional hingga pemilu terakhir 2024 lalu.
Aktor utama politik dagang sapi tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah para super elite, ketua umum parpol. Atau bahkan ada yang menyebut pemilik parpol, karena sudah sedemikian skeptisnya sebagian masyarakat, apakah mereka memperjuangkan konstituennya. Terlebih adanya kecurigaan masyarakat bahwa para super elite parpol tersebut melakukan simbiosis mutualisme dengan oligarki. Yang tujuannya tentu agar saling menguntungkan, baik keuntungan politik para elite parpol dan keuntungan ekonomi bisnis sang oligarki. Tanpa peduli membawa kemanfaatan atau kemudaratan pada masyarakat.
Dalam dua puluh tahun terakhir, para super elite parpol tersebut mampu menjadikan sistem politik kita seperti keinginannya. Salah satunya adalah mempertahankan PT untuk pilpres. Narasi yang selalu diangkat adalah memperkuat sistem presidensial dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Masyarakat juga tidak tinggal diam, bahkan telah melayangkan gugatan uji materil ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas norma pasal PT sebanyak 36 kali dan semuanya kandas alias ditolak.
Pertimbangan atau argumen dari hakim MK, yang selalu muncul dalam putusan penolakan uji materi, adalah penentuan PT merupakan open legal policy, atau kebijakan hukum terbuka, yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, atau DPR. Dengan bahasa lain, selama norma pasal tersebut tidak melanggar UUD 1945, MK tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak memiliki kewenangan. Sebuah argumen yang bagi sebagian masyarakat dianggap sebagai putusan cari aman atas karir masing-masing hakim.
Citra MK di masyarakat juga semakin buruk dengan skandal sang Paman yang berujung pada pemberhentian sang Paman sebagai ketua MK, karena pelanggaran kode etik. Terlepas dari peristiwa politik yang melatarbelakangi, kepercayaan publik semakin rendah terhadap MK, bahkan ramai dipelesetkan menjadi Mahkamah Keluarga.
Namun, publik dikejutkan dengan putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024, yang menghapus ketentuan Presidential Threshold. Di tengah suka cita para penggiat demokrasi, hal ini juga menyisakan pertanyaan besar, kenapa baru sekarang, setelah sebelumnya telah menolak gugatan JR sebanyak 36 kali. Apa yang membuat MK menjadi siuman dan tersadar dan kembali menjadi penjaga konstitusi, setelah sebelumnya banyak dihujat sebagai pengkhianat konstitusi oleh sebagian masyarakat?
Menurut penulis, ada dua hal yang membuat MK memberikan kejutan tersebut. Pertama, harapan adanya angin segar perubahan politik hukum yang semakin baik, setelah Prabowo menjabat sebagai presiden. Pergantian pejabat-pejabat pemerintahan sedikit banyak juga menghilangkan atau mengurangi pengaruh eksternal terhadap hakim MK dalam membuat Putusan. Mumpung politik saling sandera belum dikenakan kepada mereka oleh pejabat baru kelak. Ruang jeda atau transisi akan kekangan politisasi dan saling sandera dimanfaatkan dengan baik oleh para hakim MK.
Kedua, munculnya kesadaran kolektif atau mayoritas Hakim MK untuk memperbaiki citra yang sudah telanjur buruk di masyarakat. Terutama setelah kontroversi sang Paman yang dianggap sebagian masyarakat sebagai pengkhianatan atas konstitusi yang seharusnya dijaga.
Berbeda dengan pertimbangan Hakim MK terdahulu yang selalu kukuh mempertahankan pendapatnya bahwa norma PT adalah open legal policy, kali ini mayoritas Hakim MK sependapat dengan dalil pemohon: bahwa pemberlakuan PT telah melewati batasan openl legal policy. Persisnya, melanggar moralitas dan rasionalitas, menimbulkan ketidakadilan yang intolerable, bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, melampaui kewenangan pembentuk undang-undang dan merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945.
Jika dicermati, hal ini sangat absurd dan menggelikan, karena diperlukan empat pilpres selama dua puluh tahun untuk menyadari hal tersebut. Tidak ada yang bisa menjelaskan penyebab hal ini selain hegemoni super elite parpol yang sedemikian kuat selama dua dekade. Ini yang menjadikan negeri ini bagaikan dimiliki oleh kartel pemilik parpol.
Bagi masyarakat penggiat demokrasi, penghapusan PT oleh MK merupakan anugerah dan angin segar bagi perkembangan di Indonesia. Siapa pun bisa jadi presiden, karena semua parpol peserta pemilu dapat mencalonkan capresnya, tanpa harus menjadi petugas partai terlebih dahulu. Cara-cara menjegal calon lawan dengan memanfaatkan aturan PT sudah tak bisa dilakukan lagi. Para super elite parpol tidak lagi dapat mendikte masyarakat agar memilih dengan calon-calon yang sudah direkayasa, dan menjadikan tidak banyak pilihan yang sesuai kehendak khalayak.
Kelak akan muncul calon pemimpin-pemimpin nasional yang baru. Regenerasi dan kaderisasi kepemimpinan bangsa dapat terjadi dengan pilihan latar belakang yang beragam, dan memperkaya demokrasi. Tidak hanya dimonopoli oleh inner circle super elite parpol yang orangnya itu lagi itu lagi.
Penghapusan PT tentu merupakan musibah bagi super elite parpol, karena privilese dalam pilpres yang dimiliki dan dinikmati selama ini menjadi hilang dalam semalam. Yang menjadi pertanyaan, apakah mereka rela kehilangan itu semua. Apakah mereka akan berdiam diri? Menurut saya, tidak. Mereka akan melakukan perlawanan, baik secara diam-diam maupun terbuka, dengan memanfaatkan segenap sumber daya dan infrastruktur politik yang mereka miliki.
Skenario perlawanan terbuka adalah melalui parlemen, DPR di Senayan. Caranya dengan membuat RUU pemilu baru, yang menghidupkan lagi pasal pemberlakuan PT. Logika hukumnya, sesuatu yang sudah dibatalkan oleh MK karena melanggar konstitusi, tidak dapat dihidupkan, atau diundangkan lagi oleh DPR. Jika tetap dilakukan, DPR dianggap telah melanggar konstitusi.
Walaupun DPR berisiko dianggap melanggar konstitusi, apakah dapat mencegah DPR untuk menghidupkan pasal yang telah dibatalkan MK? Tentu tidak.
Pasal mengenai penghinaan presiden dalam Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP Lama yang telah dibatalkan MK dalam Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006, dihidupkan lagi oleh DPR dalam Pasal 218 dan Pasal 219 KUHP BARU (UU 1/2023). Jika sudah demikian, apa susahnya menghidupkan PT kembali.
Yang menarik, usulan menghidupkan pasal penghinaan presiden datang dari pemerintah Presiden Joko Widodo yang disetujui oleh seluruh fraksi DPR di Senayan, kecuali fraksi PKS. Seperti diketahui, PKS memang memilih di luar pemerintahan Jokowi jilid I dan II. Dapat diambil kesimpulan, jika para super elite ketua partai sudah seiya sekata dengan presiden, apa yang terjadi di Senayan hanyalah formalitas atau basa-basi saja, untuk menunjukkan kepatuhan pada hukum tata negara. Dulu, pada zaman Orba, fungsi DPR sering disebut sebagai tukang stempel saja, agar sah. Karena tidak mungkin UU disahkan oleh segelintir supere elit ketua parpol dan presiden.
Menurut saya, lanskap pengaruh dan hegemoni partai besar, atau elite ketua parpol besar, akan dipengaruhi dan ditentukan oleh Presiden berkuasa, Prabowo Subianto. Seperti pada pemerintahan Jokowi jilid I dan II, Istana tetap memegang peranan penting terhadap arah dan kebijakan partai pendukung pemerintah. Peran Istana akan masih dominan. Tidak hanya sebatas menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden, kita juga jumpai bagaimana DPR mengesahkan Perpu yang menghidupkan kembali UU Ciptaker yang telah dibatalkan MK. Demikian juga dalam Revisi UU KPK, sangat terasa bagaimana Senayan sangat mudah dipengaruhi oleh “cawe-cawe” Istana.
Angin segar bagi demokrasi yang berkeadilan sudah diinisiasi oleh MK. Apakah angin ini akan menyuburkan iklim demokrasi di masa yang akan datang, atau berubah menjadi puting beliung yang merusak benih demokrasi yang sudah tertanam. Jawabnya, lagi-lagi Istana-lah yang akan berperan besar–wabilkhusus Presiden Prabowo.
Bacaan terkait
Meneladani Mentalitet Korea Komandan Bambang Pacul
Awal Prabowo yang Problematik: Sebuah Peluang yang Terlewatkan?
Kabinet Inklusif Prabowo: Mengakomodasi Faksi-faksi Islam untuk Kohesi Politik
Saya menghargai keputusan yang diambil oleh hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam kasus ini, karena MK memiliki kewenangan untuk menafsirkan dan memutuskan perkara berdasarkan konstitusi. Namun, keputusan ini tentu menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat. Penting bagi kita untuk memahami alasan di balik keputusan tersebut dan mengevaluasi implikasinya terhadap sistem hukum dan demokrasi kita. Mari kita jaga sikap kritis namun tetap menghormati proses hukum yang berlaku. Semoga keputusan ini dapat menjadi bahan refleksi bagi semua pihak untuk memperkuat integritas dan transparansi dalam sistem peradilan kita.
Suwun pencerahannya cak lengky…
Keren …barakallahu
Semoga bisa lebih baik ke depannya bila punya kesadaran tinggi atas kecarutmarutan tata negara yg sudah dirusak dlm satu dekade ini.
Mantap mas 👍
Semoga ga ada lagi huru-hara si konoha
Babak baru dalam pesta demokrasi Indonesia….
Mantab!
Apik nek nulis serius ngene iki timbangane mbanyol 😁😅
Terima kasih atas ulasan yang sangat mendalam dan mencerahkan.
semoga menjadi lebih baik dan tidak ada sandra sandra politilk ….. perlu dimunculkan dewi dewi politik ….. jadinya sandra dewi atau dewi sandra