Jumat pekan lalu Mas Jalal membagikan sebuah buku digital. Judulnya menarik, Ihdina al-Shirath al-Mustaqim: The Straight Path. How Surah Al-Fatihah Addresses Modern Ideologies. Ditulis oleh Dr. Nazir Khan MD FRCPC yang diperkenalkan buku itu sebagai seorang dokter medis, ahli saraf klinis, teolog Islam, dan spesialis dalam ilmu Al-Quran. Ia adalah asisten profesor di Universitas McMaster dan kandidat doktor dalam teologi Islam di Universitas Nottingham.
Ia menghafal Al-Quran semasa mudanya, memiliki sertifikasi (ijazah) dalam semua sepuluh bacaan Al-Quran melalui jalur transmisi mayor dan minor, dan juga telah menerima sertifikasi dalam enam kitab Hadits serta berbagai karya teologi Islam. Ia adalah peneliti senior di Yaqeen Institute dan menjabat sebagai Presiden pendiri Yaqeen Institute di Kanada.
Ideologi modern yang dikritik Khan dalam buku ini adalah ateisme, materialisme, deisme, sekularisme, politeisme, naturalisme, relativisme, progresivisme, liberalisme, dan postmodernisme. Kesepuluh isme itu dibongkar kelemahannya oleh Khan, lalu mengajukan alternatif dari tafsir Surat Al-Fatihah. Penjelasannya sedemikian bersemangat, menggebu-gebu, penuh retorika, dan agak cenderung simplifikatif. Agak khas gaya mubalig. Di bagian awal buku, Khan memberikan summary mengenai bagaimana ayat per ayat dari QS Al-Fatihan merespons ideologi-ideologi modern tersebut:
Al-hamdulillah | Respons untuk Ateisme:
Jika Anda mengenali sesuatu sebagai berkat, Anda harus mengenali Sang Pemberi Berkat. |
Ateisme: Ideologi yang menolak kepercayaan akan keberadaan Tuhan | |
Rabbil alamin | Respons untuk Materialisme:
Kita memiliki Tuhan yang memelihara kita sehingga kita dapat memenuhi tujuan moral kita, kita bukan sekadar kumpulan partikel. |
Materialisme:
· “Tidak ada yang ada selain materi.” · “Tidak ada yang penting selain materi (yaitu, harta benda dan kekayaan materialistis).” |
|
Al-Rahman al-Rahim | Respons untuk Deisme:
Sang Pencipta yang paling penyayang tidak akan pernah meninggalkan ciptaan-Nya tanpa bimbingan. |
Deisme: Kepercayaan kepada Tuhan yang menciptakan dunia tetapi tidak terlibat di dalamnya dan tidak memberikan petunjuk atau menjawab doa. | |
Maliki yaum al-din | Respons untuk Sekularisme:
Semua otoritas manusia bersifat ilusi dan cepat berlalu dan pada akhirnya akan lenyap di hadapan Penguasa sejati. |
Sekularisme: The ideology that seeks to remove religion from the public domain and confine it to the private affairs of the individual. | |
Iyyaka na’budu | Respons untuk Politeisme:
We worship God alone rather than the idols of man’s making. |
Polyieisme: Kepercayaan pada, atau penyembahan, lebih dari satu Tuhan | |
Iyaaka nasta’in | Respons untuk Naturalisme:
We use natural means but ultimately place our trust, hope, and reliance in the Creator. |
Naturalisme: Kepercayaan filosofis bahwa segala sesuatu dapat dijelaskan melalui sifat dan kekuatan alam tanpa perlu melibatkan campur tangan Tuhan atau penjelasan supernatural. | |
Ihdinā al-sirāt
.. al-mustaqīm |
Respons untuk Relativisme:
The truth is singular, and the correct path of guidance to God is the one that He has revealed. |
Relativisme: Doktrin yang menyatakan bahwa nilai moral dan klaim kebenaran berbeda antara budaya dan masyarakat, dan tidak ada jawaban yang benar secara mutlak | |
Sirāt alladhīna an ʿamta ʿalayhim | Respons untuk Progresivisme:
We take our moral instruction from the way of the prophets and righteous exemplars of the past. |
Progresivisme: Gagasan bahwa manusia saat ini tercerahkan secara moral dan bahwa orang-orang di masa lalu secara moral lebih rendah dan terbelakang. | |
Ghayri al-maghdūbi ʿalayhim | Respons untuk Liberalisme
Kita tidak mengikuti cara orang-orang yang mengaku mengejar kebenaran tetapi mengabaikan keadilan. |
Liberalsme: Sebuah filsafat politik dan moral yang muncul dari pencerahan Eropa yang menekankan kebebasan individu sebagai nilai sosial tertinggi. | |
Wa-lā al-dāllīn | Respons untuk Postmodernism: Kita juga tidak mengikuti cara orang-orang yang mengaku menegakkan keadilan namun mengabaikan kebenaran |
Postmodernisme: Sebuah gerakan di bidang filsafat dan seni pada akhir abad ke-20 yang menolak kepercayaan pada kebenaran objektif atau narasi agung |
Seluruh isme yang ia sebut sebagai ideologi itu didefinisikan berangkat dari kesadaran materialisme. Kritik dasarnya adalah ketidakpercayaan kepada hal ghaib, dan relativisme moralitas berbasis kesepakatan; hingga berpeluang terjadinya chaos of morality. Lalu, alternatif “Islam” sebagai jalan keluar dijelaskan juga dengan cara agak reduktif: kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, kembali kepada jalan yang lurus (al-shirath al-Mustaqim).
Saya langsung mendalami bagian tafsir “Ihdina al-shirath al-Mustaqim.” Khan, sebagaimana para penerjemah Al-Quran pada umumnya, memahami ayat ini sebagai doa agar dianugerahi “jalan yang lurus”. Sehingga ada konsekuensi antonim mengenai adanya “jalan yang bengkok.” Ini terlihat dari terjemahan Khan atas al-shirath al-Mustaqim dengan the straight path.
Al-shirath al-Mustaqim tampak ditempatkan sebagai idhafat atau na’at man’ut. Padahal dua-duanya berbentuk ism makrifat, dengan tanda alif dan lam di awal kata shirat dan mustaqim. Karena makrifat, jika dibuat potongan diksi dapat menjadi ihidina al-shirath; dan ihidina al-mustaqim. Tunjukilah kami sebuah jalan; Tunjukilah kami (keadaan) seorang yang beristikamah (kata “mustaqim” dalam ayat itu berbentuk isim fa’il/subjek; dengan tambahan sin dan ta menunjuk pada hal kesadaran dan kesengajaan. Mustaqim secara ilmu sharaf sebaiknya diterjemahkan orang-orang yang dengan penuh sadar dan sengaja berlaku—termasuk di dalamnya berpikiran dan berperasaan—lurus).
Sedangkan “al-shirath” dalam penjelasan Al-Raghib Al-Asfahani dalam al-Mufradat fi gharib al-Quran adalah “nilai-nilai kebenaran”. Memang dalam banyak kamus Arab, secara harfiah sering diartikan sebagai “jalan”; namun jalan yang sudah dipenuhi nilai-nilai (benar, baik, dan indah).
Dengan semangat menjelaskan sepuluh isme sebagai “jalan bengkok”; maka bangunan argumen-argumen selanjutnya adalah “menyalahkan” isme-isme, dan membenarkan Islam. Tak dapat dihindari bangunan dialognya menjadi bangunan apologetik. Lalu tergoda membangun kerangka ontologi, epistemologi, psikologi, dan moral society Islam, dalam sebuah bangunan pikiran ideologis.
Dalam banyak pengalaman, pendekatan membenturkan sebuah isme dengan nilai-nilai Islam sering kali menghasilkan bangunan pikiran menjadikan Islam sebagai ideologi baru, yang pada akhirnya akan mengalami “kekeringan”, “pembatasan”, dan “menghilangkan” universalitasnya.
Bacaan terkait
Ber-Islam: Hasil Ber-interaksi, bukan Ber-“transaksi” [Membaca Mun’im Sirry]
Sejarah Dunia yang Disembunyikan
Kritik Hujjatul Islam terhadap Filsafat dalam Maqashid al-Falasifah