Tahukah Anda kalau Swedia punya julukan yang sangat mengesankan?
Negara ini kadang dijuluki Landet Lagom (Negeri Lagom) oleh orang Swedia sendiri karena lagom dianggap sebagai cara hidup di sana. Untuk hidup seperti bangsa Swedia, kita perlu menerapkan unsur kultural dari lagom di berbagai aspek kehidupan. Dalam hal pengaturan emosi, lagom mewujud menjadi pengendalian yang tidak berlebihan.
Agar dapat memahami jiwa bangsa Swedia, kita perlu mengenal kata ini secara lebih dekat dan mengkaji seberapa dalam kata tersebut meresap di seluruh segi kehidupan mulai dari budaya, mode, dan kesejahteraan, hingga bisnis hubungan, dan masyarakat secara umum.
KILAS BALIK
Pertama, kita harus terlebih dahulu paham bagaimana lagom lahir, kapan secara kultural ia muncul ke permukaan, dan kapan mulai meresap ke benak orang Swedia.
Pada awal 1600-an, kata lag dengan dua makna yakni “hukum” dan “tim” muncul dalam berbagai tulisan di Swedia. Bentuk jamak untuk hukum pada saat itu adalah lagom. Tak ada seorang pun dapat memastikan kapan lagom merasuk ke dalam alam sadar bangsa Swedia. Akan tetapi, jika ditelusuri ke belakang, akar-akarnya yang tertanam kokoh di masyarakat mulai tumbuh sejak era kaum Viking, antara abad ke-8 dan ke-11.
Kata lagom sendiri juga telah diterima sebagai versi pendek dari frasa “laget om” yang secara harfiah dapat diterjemahkan menjadi “di sekitar tim”.
Lagom dalam kepercayaan populer adalah pola pikir sebagai pemain tim yang mengerjakan apa yang menjadi bagiannya. Banyak orang meyakini pola pikir lagom merupakan warisan kaum Viking yang diturunkan dari generasi ke generasi. Konon berawal dari tradisi gelas komunal yang diisi dengan mead—minuman beralkohol yang terbuat dari madu yang difermentasi—dan diedarkan ke semua orang yang duduk mengelilingi api unggun setelah mereka lelah merampok seharian. Setiap orang diharuskan meminum bagian masing-masing dengan tidak berlebihan agar yang lain bisa mendapatkan bagian yang adil. Bisa dibayangkan, jika ada Viking yang tidak mematuhi aturan perilaku itu, ia akan menghadapi kematian yang tidak lagi membawa-bawa tim.
Sejak saat itulah lagom mulai berganti persona—yang melambangkan moderasi, tidak tebih dan tidak kurang. Pas.
Nilai-nilai Kristen Lutheran yang memiliki latar belakang sejarah di Swedia juga secara bertahap menambah unsur puritan pada lagom sehingga akhirnya menunjukkan juga kesederhanaan, keselarasan, dan menjadi penjaga gawang sosial dengan cara memastikan semua orang diperlakukan secara adil.
Melihat sejarah, perjuangan keadilan dan persamaan hak menjadi benang merah DNA politik Swedia sebagai negara kesejahteraan tempat moderasi, pemerataan kekayaan lewat sistem perpajakan yang adil, dan persamaan hak ditegakkan secara legislatif dan dipromosikan ke seluruh warga.
Jadi, pada akhirnya, yang kita saksikan sebagai pola pikir bangsa Swedia ini merupakan kesadaran yang disengaja. Kesadaran ini terbentuk oleh pemikiran mengenai bagaimana seseorang harus menempatkan diri di dalam masyarakat, di tambah dengan bagaimana orang harus menjalani hidupnya sendiri dengan cara yang tidak memberi pengaruh negatif kepada orang lain atau tidak menyusahkan orang lain.
SOROTAN MASA KINI
jika bertanya kepada orang Swedia mana pun di jalan, kapan terakhir kali negara mereka berperang sepanjang era sejarah modern, mereka mungkin akan menjawab, “Tidak pernah.”
Dengan akar kultural yang menancap kuat dalam persamaan hak dan moderasi, aturan perilaku nasional Swedia terdiri atas konsensus, kenetralan, dan nonkonfrontasi.
Sering kali dikatakan bahwa kenetralan ini merupakan penyebab mengapa Swedia bisa menghasilkan begitu banyak diplomat dan negosiator terbaik, mulai dari pebisnis dan tokoh humanisme Raoul Wallenberg, yang menyelamatkan puluhan ribu orang Yahudi saat bertugas sebagai duta khusus Swedia untuk Budapest pada 1940-an, hingga diplomat Swedia Dag Hammarskjold, yang menjabat Sekretaris Jenderal PBB pada 1950-an dan wafat secara tragis dalam insiden pesawat jatuh saat hendak melakukan negosiasi gencatan senjata.
Terlepas dari kenetralan, dibutuhkan “satu kampung’ untuk membangun suatu bangsa, sementara sikap terhadap satu sama lain dan ruang yang sama-sama didiami jelas membantu membentuk kualitas hidup bersama.
Setiap tahun, organisasi nirlaba yang bermarkas di Amerika Serikat, Social Progress Imperative, menyusun petingkat negara-negara di dunia berdasarkan cara menangani kebutuhan masyarakat dan Swedia secara konsisten berada di 10 besar negara dengan indeks kualitas hidup tertinggi.
Pengukuran pertama adalah bagaimana masing-masing Negara menangani kebutuhan dasar seperti pelayanan kesehatan, sanitasi, dan tempat tinggal. Yang kedua adalah seberapa kokoh fondasi kesejahteraan, yang mencakup pendidikan, akses ke teknologi dan harapan hidup. Dan ketiga, adalah apa saja peluang yang ada di dalam masyarakat negara tersebut untuk hak-hak pribadi, kebebasan memilih, dan toleransi.
Pada 2016, Swedia duduk di peringkat ke-6 dunia dengan skor tinggi, yakni jauh di atas 90 dari 100 untuk urusan penanganan kebutuhan dasar manusia, akses ke pengetahuan dan informasi, serta kualitas lingkungan hidup.
Pola pikir kesetaraan dan kepercayaan terhadap tindakan berbagi juga menjadi penyebab Swedia secara rutin menjadi salah satu negara paling egaliter gender di dunia. Menurut 2016 Global Gender Gap Report, yang mengukur kesetaraan gender di bidang pendidikan, politik, ekonomi, dan kesehatan Swedia berada di posisi ke-4 dunia, hanya di bawah Islandia Finlandia, dan Norwegia. Kualitas menonjol dari lagom kesetaraan, keadilan, dan optimalitas—membantu mendorong Swedia ke arah standar hidup tinggi yang menjadi ciri khas negara ini.
Jika lagom merupakan fondasi dari gaya hidup bangsa Swedia, maka ada sesuatu yang harus dilihat di belakang kekuatan kata itu dan bagaimana kita dapat mengambil keuntungan dari penerapan elemen ideologinya ke dalam kehidupan kita.
Betapapun demikian, lagom bukanlah kata yang diterima dengan baik oleh semua orang.
Bahkan oleh orang Swedia sekalipun.
PENGENDALIAN ALA SWEDIA
Karena lagom diukur berbeda oleh semua orang, kata ini inti memiliki beberapa kualitas yang dirasa oleh sebagian orang menghalangi gaya hidup pribadi mereka, dan bukan mendukung atau memperkaya hidup seperti & yang seharusnya dilakukan oleh kata itu.
Netralitas, pengendalian, dan konformitas yang berakat dari moderasi kerap dipandang sebagai beban yang terlalu berat dan cenderung sulit untuk ditanggung. Lagom dianggap dapat mengekang kreativitas dan ambisi. Dan menghindari keekstreman membuat kita terus berada dalam gelembung kebahagiaan berisi kepuasan diri dan mediokritas sehingga tidak pernah menantang kita untuk mencoba hal baru, gagal, dan berkembang.
Pada level dasar, kita melihat lagom sebagai lawan dar} berlebihan. Jadi, isyarat atau emosi apa pun yang tampak tidak pada tempatnya di dalam lingkup kelompok kerap kali dikecam secara diam-diam.
Inilah yang saya sebut sebagai “The Silence of the Swedes (Kebungkaman bangsa Swedia)” dan seperti dikatakan pepatah lama, lebih baik diam daripada berbicara buruk, lebih baik mengecam dalam hati daripada menjadi korban dari tindakan yang sama yang juga dikecam oleh orang Lain.
Banyak wisatawan mengagumi keindahan fisik negara Swedia—mulai dari pedesaannya yang hijau dengan pondok-pondok merah mungil seperti dalam permainan monopoli, hingga ibukotanya, Stockholm, yang secara mencengangkan terbentang melintasi empat belas pulau. Namun, banyak juga yang terkejut aturan sosial dalam hal interaksi dengan orang tak dikenal di tempat umum seperti bus, kereta bawah tanah, dan di jalan. Ada kebungkaman yang kerap disalahartikan sebagai sikap tak acuh atau dingin, dan yang mungkin menyinggung hati jika kita menjadi pihak yang menerima perlakuan itu.
Namun, benang yang membentuk kain kesunyian yang menyelimuti ini adalah lagom.
Alih-alih bersikap dingin, apatis, atau anti-sosial, lagom perupaya memastikan bahwa Anda peduli akan tetangga. Jadi di saat Anda sebagai orang asing mendambakan sentuhah interaksi, dan penerimaan lokal, saya sebagai orang Swedia menghargai Anda dari ruang mental moderasi tertentu dan ingin memastikan Anda memiliki privasi dan tidak terganggu oleh kehadiran saya.
Inilah mengapa bangsa Swedia umumnya bukan penggemar obrolan ringan dengan orang tak dikenal atau hobi mengungkapkan hal yang sudah jelas. Hal ini sering menjadi sumber kejutan budaya (culture shock) bagi banyak pendatang baru dan wisatawan. Percakapan dengan teman atau orang asing bisa diwarnai periode hening yang panjang. Sikap hati-hati ini kerap menjadi kebiasaan yang dianggap nyaman bagi orang Swedia, sementara mungkin merupakan siksaan yang membuat canggung orang asing lawan bicaranya.
Orang mungkin mengeluhkan sulitnya menjalin hubungan dengan seorang Swedia. Dalam budaya yang tidak terbiasa dengan gerakan atau isyarat tangan komunikasi nonverbal, duduk tanpa berinteraksi dengan seorang Swedia kerap bisa terasa seperti tengah terlibat permainan kartu bertaruhan tinggi, saat pemain-pemainnya harus memasang wajah tanpa ekspresi. Ciri-ciri ini lebih nyata terlihat di wilayah tertentu dari Swedia, seperti di bagian utara.
Sebuah pepatah populer Swedia menyatakan lebih baik diam dan dianggap tidak tahu daripada membuka mulut dan terbukti tidak tahu. Karena lagom memastikan Anda hanya berbagi informasi yang diperlukan untuk situasi yang dihadapi saat itu, obrolan ringan kerap disalahartikan sebagai terlalu banyak berbagi. Pujian yang tidak pada tempatnya jarang dilontarkan karena orang Swedia ingin tindakan berbicara sendiri hingga pada gilirannya mendatangkan pujian. Kritik muncul saat seseorang bertindak dan berkata terlalu banyak, dan itu dapat dihindari dengan tidak bertindak dan berkata apa-apa.
Dan dengan begitu keheningan pun berlanjut.
RKENALKAN JANTE-SEPUPU LAGOM YANG CEMBURU
Karena lagom saya tidak harus sama dengan lagom Anda, hal yang dimaksud untuk menjadi keseimbangan yang dapat menuntun ke arah tingkat kepuasan masing-masing justru dapat melahirkan kebencian.
Ini karena lagom tidak dapat diterapkan ke semua orang dengan cara yang sama.
Jadi, ada sisi gelap lagom dalam kelompok yang tak hanya memaksakan penyesuaian diri, namun juga tak mampu membawa lagom individu ke dalam kelompok. Kita tidak boleh terlalu banyak atau terlalu sedikit, dan kita tidak diizinkan berpikir bahwa kita lebih baik daripada orang lain di dalam kelompok tersebut.
Dalam novel A Fugitive Crosses His Tracks yang terbit pada 1933 karya penulis Belgia-Norwegia, Aksel Sandemose, ada sebuah kota khayalan bernama Jante, tempat 10 aturan Perilaku dijalankan oleh penduduknya. Mentalitas kelompok, yang dikenal sebagai Jantelagen (hukum Jante) dikelola oleh aturan-aturan seperti Anda tidak boleh berpikir bahwa Anda Spesial” dan “Anda tidak boleh meyakinkan diri sendiri bahwa Anda lebih baik daripada kami”.
Pada intinya, hukum Jante tidak hanya mengecam sukses dan pencapaian individual, namun juga menghalangi individualitas dan lebih menekankan kesatuan bersama, mem, bungkam ambisi, dan menyingkirkan segala bentuk dorongan pribadi untuk mendapatkan lebih banyak.
Dan dengan demikian kecemburuan mendalam bernama den svenska avundsjukan (kecemburuan Swedia) pun mulai muncul ke permukaan dan diarahkan ke orang-orang yang kita anggap sukses, menurut definisi sukses ala lagom kita sendiri,
Jika lagom merupakan saudara yang penuh perhatian, jante adalah sepupu sinis yang berupaya mengembalikan Anda ke tempat Anda. Bagi pendatang, apabila kebetulan menghadapi budaya ini dan berhadapan dengan kebungkaman atau respons datar setelah menceritakan pencapaian pribadi, sering sulit untuk mendeteksi etos mana yang tengah berperan—lagom atau jante.
Lapisan kompleks berupa jante yang melekatkan diri ke lagom, menjadi alasan mengapa banyak orang Swedia mati-matian berupaya melepaskan diri dari stereotip itu. Itulah mengapa orang Swedia yang Anda temui di luar negeri mungkin tampak “berbeda”. Mereka kerap dengan cepat menanggalkan lagom dalam kelompok, relasi, dan situasi di luar negaranya. Bukan sepenuhnya melepaskan lagom individual mereka, namun lagom yang diperlukan di dalam lingkup kelompok. Ini berkaitan dengan kualitas negatif lagom, yang diwakilkan lebih kuat oleh jante.
Namun jangan salah, begitu kembali ke Swedia, mereka dengan sigap kembali ke aturan perilaku setempat.
MENGEMBALIKAN LAGOM KE INTINYA
Lagom tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi wakil dari kata “rata-rata” atau bahkan ‘netral”.
Namun, seiring dengan perjalanan waktu, kata “rata-rata’ dan netral” itu juga berhasil merasuk perlahan ke dalam jiwa bangsa Swedia, bersama dengan kata “optimal” dan terus mempengaruhi mereka yang merasa lagom dan ideologi moderasinya terlalu membatasi. Ini melahirkan sejumlah konsepsi keliru seperti kebosanan, kemalasan, kebenaran politis yang tak masuk akal dan semenjana.
Namun demikian, semua konsepsi tidak menarik itu akan segera terlihat tak cocok dengan modernisme Swedia, kemajuan sosial, kecakapan teknologinya, dan perjuangan sulit negeri ini menuju egalitarianisme.
Upaya untuk menerapkan lagom di masyarakat luas harus dimulai dari kita sebagai individu, dan lagom harus didukung sepenuhnya dan diterima dalam kehidupan masing-masing individu sebelum seseorang bisa mengharapkan lagom dari orang lain.
Jadi jika kita melangkah mundur dan mengembalikan lagom ke arti sebenarnya, kita akan benar-benar memahami bahwa dalam bentuknya yang paling kuat, lagom bertujuan untuk menunjukkan ideal kontekstual. Lagom berupaya untuk menyelimuti masing-masing diri kita dengan kepuasan individual, namun menjaga agar kita tetap mengikuti dinamika kelompok dan menciptakan keselarasan di sekeliling kita.
Lagom berupaya membawa kita ke ruang kematangan emosional, tempat apa pun pilihan berkaitan dengan berbagai momen dan interaksi, kita memilih bereaksi atau pun tidak, merupakan pilihan terbaik bagi kita dan kelompok.
Sebagai pedoman tak terucap dalam menjalani hidup sebaik mungkin, lagom menghendaki kita berhenti sejenak dan memperhatikan perasaan dan emosi kita.
Saat berhubungan dengan situasi nyata seperti makan dan berbelanja, kebutuhan kita kerap jauh lebih sedikit daripada keinginan. Sementara saat berurusan dengan perasaan dan emosi, lagom menyatakan bahwa kebutuhan kita mungkin jag melebihi keinginan, dan itu sama sekali bukan masalah. Itu merupakan ruang yang kita butuhkan agar dapat lebih deta ke medium yang paling nyaman bagi kita dan keselarasan dalam hidup.
Kita mungkin secara tidak sadar memerlukan pelukan ekstra di saat kita hanya menginginkan sekadar sentuhan. Kita mungkin menginginkan seorang kekasih, tetapi sesungguhnya memerlukan dukungan dan persahabatan di Luar keintiman fisik yang mereka tawarkan. Anda mungkin ingin segera kembali bekerja setelah mengalami periode sulit, namun mungkin justru memerlukan hari libur tambahan untuk memanjakan diri sendiri.
Apa yang menurut perasaan merupakan hal yang kita inginkan mungkin sebenarnya merupakan selubung tipis yang menutupi apa yang sebenarnya kita butuhkan. Jadi sepenuhnya mengurusi kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut mungkin akan sangat memuaskan keinginan kita dan membuat kita semakin dekat ke titik kepuasan. Itulah yang menjadi tujuan inti dari lagom, yaitu untuk memastikan kita memenuhi kebutuhan dengan cara sedemikian rupa sehingga kita merasakan kedamaian dan kepuasan, tak peduli apa yang kita inginkan dalam hidup.
Dalam hal perasaan, lagom mendorong kita untuk menangis sebanyak yang kita perlukan dan tertawa sebanyak yang kita pertukan. Juga untuk lebih mendengarkan dan merangkul kebutuhan emosional lebih daripada keinginan kita. Selain itu, juga untuk menemukan ruang kepuasan sempurna kita diantara ledakan kemarahan dan internalisasi diri. Dan, yang lebih penting lagi, untuk dengan bangga mengakui ruang itu sebagai milik kita tanpa rasa malu.
Karena saat memusatkan diri secara emosional, kita dapat memasuki beragam kelompok dan komunitas dengan keyakinan bahwa kita akan mampu menahan berbagai kekuatan eksternal yang melawan kita.
Kita memasuki ruang kepuasan tempat kita bisa eksis dalam diam dan nyaman di dalam suatu kelompok tanpa merasa perlu mengisi setiap keheningan dengan percakapan.