Dari kemarin Grup WA yang saya ikuti dipenuhi oleh soal Bahlil. Orang mempersoalkan mengapa dia bisa menyelesaikan studinya hanya dalam waktu 1,5 tahun. Ini dianggap di luar batas kewajaran.
Orang mulai mengulik semua hal tentang prestasi akademik Bahlil. Bagaimana dia sebenarnya tidak tamat S2 tetapi bisa langsung ke S3. Disertasinya pun dipersoalkan. Mulai dari dugaan bahwa itu dikerjakan oleh orang lain hingga ke plagiarisme karena hampir identik dengan skripsi S1 di sebuah universitas di Jakarta.
Kalau soal S1 langsung lompat ke S3 saya tidak terlalu mempersoalkan. Saya tahu bahwa ada kawan yang hanya berbekal ijasah SMA diterima langsung S3 di perguruan tinggi Ivy League Amerika. Dan dia menyelesaikan studinya dengan cemerlang. Dari sejak awal dia dikenal sebagai seorang intelektual publik dengan kapasitas teoretik yang sangat mumpuni.
Saya mendapat kabar bahwa Senat Akademik Universitas Indonesia, di mana Bahlil menyelesaikan studinya, akan menyelidiki masalah ini. Kalau ditemukan pelanggaran, ada kemungkinan gelar doktoral Bahlil akan dicabut.
Untuk saya, ini hanyalah hal yang prosedural. Kalaupun gelar Bahlil dicabut, itu pasti karena hal prosedural. Dan Bahlil adalah orang memiliki kuasa, yang tidak mudah bagi lembaga, bahkan sebesar UI, untuk menanggalkan gelarnya begitu saja.
Persoalan lebih mendasar menurut saya adalah mengapa para elite Indonesia begitu terobsesi terhadap gelar akademik? Terhadap gelar. Bukan terhadap kehidupan akademik yang menuntut hidup seperti pertapa yang keras dan penuh disiplin itu. Lebih mendalam lagi, mengapa lembaga-lembaga akademik yang dulu amat elegan dan jadi otak masyarakat melayani dan bahkan memfasilitasi obsesi keblinger para elite ini?
Saya tahu ini persoalan yang lumayan rumit untuk dibahas. Para elite, tidak saja elite politik namun juga elite-elite lainnya, telah mengubah dunia akademik menjadi medan pertarungan snobisme di kalangan mereka sendiri. Mereka membuat dunia akademik menjadi dunia aristokrasi feodal. Dunia akademik menjadi soal gelar semata. Semudah mereka membeli gelar Kanjeng Raden Tumenggung, yang dianugerahi oleh sebuah keraton Jawa kepada preman Hercules. Tidak lebih dari itu.
Mengapa kalangan akademik (universitas) tunduk pada keinginan ini? Jawabannya mungkin adalah karena universitas dikontrol oleh para elite ini secara langsung atau tidak langsung. Universitas-universitas negeri sangat tergantung pada pemerintah yang memiliki 1/3 suara pada pemilihan rektor. Demikian juga dalam hal pendanaan. Lembaga pendidikan swasta, biarpun tidak terlalu tergantung pada pemerintah, tetap saja harus tunduk pada pemerintah lewat berbagai aturan. Para elite yang mengontrol pemerintahan.
Selain itu, harus diakui bahwa ada masalah besar di dunia akademik Indonesia. Seorang akademisi mengaku kepada saya bahwa makin lama universitas semakin menjadi pabrik gelar. Mutu akademik merosot secara kualitas walaupun kalau diukur dengan metrik-metrik standar memperlihatkan kemajuan. Menulis di jurnal, misalnya, untuk Indonesia indeksnya lumayan tinggi.
Dunia akademik juga menjadi terbirokratisasi. Orang harus lolos jenjang tertentu untuk bisa naik pangkat. Namun, di sisi yang lain, ada juga ekstrem seperti yang ditunjukkan oleh Kurikulum Merdeka saat ini. Jika Anda menang Indonesian Idol, misalnya, Anda berhak lulus 20 SKS.
Dunia akademik adalah dunia berpikir. Dunia di mana penghuninya berusaha mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak ia mengerti dan berusaha menemukan jawabannya. Selain itu, akademia itu melatih orang berpikir. Bukan bekerja. Sekalipun dunia saat ini adalah dunia “mechanic reason” (meminjam Benjamjn), tetap saja intinya adalah reasoning alias berpikir. Akademia adalah tempat mengolah pemikiran, mengadu gagasan, dan membangun pemahaman yang lebih baik.
Di belahan dunia lain, program S3 itu dilakukan untuk mendidik dua profesi: dosen dan peneliti. Di Amerika, sebagian besar mahasiswa S3 tidak membayar. Mereka dibiayai universitas atau pihak luar. Pada hakikatnya program S3 adalah sebuah program apprenticeship atau magang. Ada dosen yang melamar grant untuk sebuah proyek penelitian. Grant ini cukup besar untuk membeayai beberapa mahasiswa Ph.D. Dia merekrut mahasiswa Ph.D yang akan menjadi asisten penelitinya dan bersama-sama menulis di jurnal atau menulis buku.
Program magang ini perlu waktu yang lumayan lama dan baik dosen maupun mahasiswa saling belajar. Kadang memang ada konflik antara keduanya. Itu biasa sebagai manusia.
Memang, ada perbedaan konsep yang sangat besar antara dunia akademik Indonesia dengan di negara-negara luar, khususnya di Barat di mana tradisi ini dikembangkan. Namun, dalam pengamatan saya, saling sengkarut dunia akademik Indonesia ini lebih banyak melanda mereka yang belajar ilmu-ilmu sosial dan agama. Banyak orang berpikir bahwa dua ilmu ini paling mudah mendapat gelar. Orang hanya perlu menulis. Penelitian pun hasilnya tidak pasti. Kadang menyimpulkan hal tidak jelas dengan indikator yang juga tidak jelas.
Seperti disertasi Bahlil yang “menemukan” bahwa hilirisasi tidak mendatangkan manfaat untuk penduduk lokal. Kita tidak tahu apakah ketidakuntungan ini ada pada level persepsi atau ada indikator lain?
Kalau saja Bahlil menulis disertasi tentang daun simbukan (daun kentut) bisa menumbuhkan rambut, tentu bisa diuji. Dia perlu beberapa lusin orang botak yang kepalanya diolesi daun simbukan. Dia juga perlu beberapa orang botak sebagai kontrol pertumbuhan rambutnya tanpa daun simbukan. Hasilnya bisa diukur. Kandungan kimia daun simbukan bisa dianalisis dan mengapa daun ini bisa menumbuhkan rambut, itu harus dijelaskan. Tidak hanya sekadar mengukur orang botak dengan kontrolnya itu. Itu pekerjaan anak SMK, bukan seorang mahasiswa doktoral.
Persoalannya di sini bukan hanya pada Bahlil saja. Bahli bahwa hanya pelengkap. Saya kira, yang bertanggung jawab adalah promotor dan ko-promotornya. Juga dewan penguji yang meloloskannya. Jika ada unsur plagiarisme, saya kira semua mereka yang terlibat dalam pemberian gelar doktor ini harus bertanggung jawab. Mereka semua mempertaruhkan kredensial akademik mereka saat meloloskan dan memberikan predikat doktor kepada Bahlil.
Bahlil akan tetap kaya dan berkuasa tanpa gelar doktor. Tapi dunia akademik hancur lebur karena praktik-praktik tidak bertanggung jawab memberikan gelar doktor kepada yang tidak berhak dan tidak memiliki kualifikasi menerimanya. (sumber: https://www.facebook.com/share/p/VwfxtoGASjGRkdw5/)
Bacaan terkait
Skenario Terbaik Indonesia dari Presiden Prabowo
Setelah Heboh Ulil, Bahlil, dan Tahlil: Mungkinkah Pertambangan Hijau?