Kebebalan atau kedunguan dalam pemaknaan filosofis yang cukup tua dikemukakan oleh Socrates dengan penjelasan yang padat: hilangnya kesadaran diri dalam relasi sosial dan ketidakmampuan untuk mengintrospeksi diri terhadapnya. Kebebalan bukan semata-mata tidak tahu, tapi ketika seseorang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu! Hal ini bisa dimaknai sebagai sikap merasa yakin mengetahui persoalan, tapi dia tidak paham persoalan tersebut. Sikap yang berangkat dari kegagalan berpikir dan ketidaktahuan tentang posisi intersubjektif dalam ruang sosial, atau dalam kehidupan republik dapat berarti kegagalan mempertautkan suatu argumen dalam orientasi nalar publik (public reason), sehingga pandangan yang dikemukakan dapat diterima dalam dialog antarwarga.
Kebebalan dalam bersikap dan berargumen ini secara vulgar tengah kita saksikan di hadapan kita terkait dengan kasus kiriman potongan kepala babi kepada jurnalis Bocor Alus Tempo Chicha (Francisca) dan respons Kepala Komunikasi Kantor Kepresidenan Hasan Nasbi terhadapnya. Sikap bebal ini ditunjukkan Hasan Nasbi dengan komentar pendek ketika ditanya tentang pengiriman kepala babi di kantor Tempo, ”Dimasak saja!”
Berlebihankah menilai sikap dan pandangan Hasan Nasbi bebal dalam kasus kiriman kepala babi ke kantor Tempo? Bukankah sikap yang dikemukakan oleh para jurnalis Tempo Chicha dan kawan-kawan juga merespons dengan gaya bercandaan kenapa tidak dimasak sekalian? Sesuatu yang paralel dengan komentar Hasan Nasbi dengan gaya bercanda, ”masak saja”.
Di sinilah kita menemukan kebebalan dari sikap Hasan Nasbi seperti uraian filosofis tentang kebebalan atau kedunguan yang diutarakan Socrates tadi: saat seseorang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Sikap Hasan Nasbi ketika berkomentar tersebut adalah dalam posisi sebagai Kepala Komunikasi Kantor Kepresiden Indonesia yang dalam relasi intersubjektif tentu berbeda dengan respons Chicha dan rekan-rekan Bocor Alus Tempo menghadapi pesan intimidatif tersebut.
Sebagai pihak yang mendapat ancaman kiriman kepala babi, sikap kru Bocor Alus Chicha dan kawan-kawan ini menunjukkan mekanisme pertahanan mental sebagai elemen-elemen masyarakat sipil menghadapi teror dan intimidasi terhadap kebebasan berpendapat. Sementara komentar yang sama tidak layak dikemukakan oleh Hasan Nasbi sebagai Kepala Kantor Kepresidenan Indonesia. Dirinya dalam posisinya adalah representasi dari apparatus negara yang bertugas menjamin hak-hak dasar dari warganegara Indonesia. Prinsip bernegara yang diemban sejak Tan Malaka menuliskan risalah politiknya, Naar De Republiek Indonesia, dalam pelariannya di Canton tahun 1925.
Tan Malaka menegaskan bahwa tugas Republik Indonesia, apabila nanti didirikan, adalah menjamin hak-hak dasar, termasuk di antaranya kebebasan berpikir dan berpendapat sebagi warga dalam tatanan Republik. Sesuatu yang dalam Konstitusi UUD 1945 dimaknai sebagai tujuan bernegara, salah satunya melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia.
Pandangan Tan Malaka ini sejalan dengan prinsip keadilan di negara demokrasi menurut John Rawls (1974) dalam Theory of Justice. Bahwa hak-hak dasar dari tiap-tiap orang untuk mendapatkan rasa aman dan jaminan menyuarakan pendapat dan sikap politiknya merupakan prinsip keadilan utama yang tidak boleh tercederai sebelum kita berbicara prinsip keadila negara yang lain terkait keadilan redistributif.
Sikap kebebalan Kepala Kepresiden Indonesia Hasan Nasbi tentang “dimasak saja” (kepala babi itu) memperlihatkan bahwa dirinya tidak tahu kalau dia tidak tahu; komentar yang seharusnya dia sampaikan terkait intimidasi atas jurnalis Tempo adalah menegaskan bahwa negara akan melindungi rasa aman dari korban intimidasi dan mengusut tuntas kasus tersebut. Penegasan untuk apa? Untuk menunjukkan bahwa negara republik tidak kalah atas teror dan tetap menjalankan peran utamanya memberikan keadilan kepada warganya.
Mengapa pandangan yang sepertinya menyepelekan dan menganggap secara bercanda terhadap intimidasi tersebut tidak boleh keluar dari mulut aparat yang bertugas utama mengatur komunikasi istana? Sebab, ketika hal tersebut dilakukan dan tidak segera mendapatkan teguran dan kritik keras dari warganegara, maka yang terjadi segenap tindakan-tindakan teror dan intimidasi yang mengancam kebebasan berpendapat dan arus informasi akan segera dianggap sebagai hal yang normal dan akhirnya membentuk kultur ketakutan (culture of fear).
Ketika hal tersebut dibiarkan, maka kultur ketakutan akan menormalkan sesuatu yang berlangsung seperti pada masa rezime Suharto ketika jurnalis Suara Indonesia (Peter A Rohi) pada 16 November 1983 di kantornya mendapat kiriman kepala manusia ketika meliput kasus terror Petrus. Teror dan intimidasi menjadi budaya ketakutan yang menghantui kehidupan republik sehingga kebenaran tidak dibela dan kebiadaban ditoleransi.
Sejarah telah menunjukkan kerusakan suatu peradaban dan kebiadaban yang secara masif dialami oleh suatu negara ketika tiap-tiap orang, mulai dari aparat negara sampai kalangan masyarakat, mengidap virus kebebalan politik. Hannah Arendt pada tahun 1963 menulis Eichman in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil. Di situ Arendt menunjukkan tumbuhnya kebiadaban saat berkuasanya Fasisme di Jerman bukan karena aparat negara dan masyarakat dipenuhi oleh orang-orang jahat. Sebaliknya, kejahatan tumbuh ketika baik aparat birokrasi, mesin-mesin negara maupun komponen masyarakat tidak mampu menggunakan akal sehatnya dalam kehidupan publik untuk menolak kejahatan bertahta dalam kehidupan kewargaan. Itulah yang disebut sebagai Banality of Evil.
Jika kita cermati lebih dalam, dari sudut pandang keadilan feminis seperti ditegaskan Miranda Fricker (2007) dalam Epistemic Injustice: Power and The Ethic of Knowing, ketidakadilan dalam konteks redistributive unfairness terjadi dalam ranah epistemik pendidikan dan informasi. Dalam kasus kiriman kepala babi kepada jurnalis Tempo Chicha dan respons Hasan Nasbi terhadapnya, ada kesenjangan dalam rekognisi terhadap sumber-sumber interprestasi informasi dialami oleh subjek-subjek yang rentan dalam pengalaman sosial mereka.
Posisi Chicha sebagai jurnalis perempuan di media (Tempo) yang kritis terhadap pemerintah membuat aparatus negara cenderung menyikapi teror dan intimidasi terhadapnya semata-mata sebagai sesuatu yang sepele. Ini terjadi karena, dalam konteks relasi kekuasaan yang eksis aparat negara (Hasan Nasbi) sadar atau tidak sadar menempatkan elemen-elemen masyarakat sipil, termasuk media yang kritis, tidak sebagai entitas kewargaan yang harus dilindungi oleh negara. Subjek rentan seperti perempuan tidak dilindungi dari jaminan rasa aman dalam mengungapkan pendapat dan informasinya.
Sepertinya ini bukan semata-mata problem kasus personal Hasan Nasbi, namun bisa jadi inilah wajah perpolitikan kaum elite kita yang tidak lagi peduli melindungi warganya. Sesuatu yang sebetulnya sudah dirisaukan oleh Tan Malaka pada tahun 1921: jangan sampai suatu saat, ketika Indonesia Merdeka, kaum elite hanya peduli pada kepentingan dan aspirasi elite lainnya. Di situ terbangun tembok tebal yang memisahkan aspirasi, kepentingan, dan keselamatan kaum elite dari rakyatnya sendiri!
Bacaan terkait
Komunikasi Publik yang Bikin Masalah
Apakah Prabowo Menghidupkan Kembali Rezim Soeharto?
Membentuk Demokrasi Indonesia: Kebangkitan Kaum Muda di Tengah #IndonesiaGelap