Michael Kwet adalah seorang peneliti pascadoktoral pada Centre for Social Change di University of Johannesburg sekaligus Visiting Fellow di Information Society Project yang digagas oleh Yale Law School. Tulisan-tulisannya tentang dunia digital dan lingkungan sudah banyak menarik perhatian saya sejak lama. Jadi, ketika akhirnya Michael Kwet menelurkan buku Digital Degrowth: Technology in the Age of Survival pada Agustus 2024 lalu, saya merasa wajib membacanya. Sayangnya, baru di penghujung 2024 buku yang saya pesan tiba, dan di awal 2025 inilah saya bisa menyelesaikan membacanya dan langsung merasa perlu untuk menuliskan kesan mendalam atas buku tersebut.
Kwet menghadirkan analisis mendalam tentang bagaimana teknologi digital, yang sering dianggap sebagai solusi untuk berbagai masalah global, ternyata malah berkontribusi besar terhadap krisis lingkungan, ketimpangan sosial, dan eksploitasi ekonomi. Dia tidak hanya mengkritik sistem kapitalisme global yang mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa batas, tetapi juga menawarkan visi transformatif melalui konsep yang menjadi judul bukunya, digital degrowth, yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan berkelanjutan.
Buku itu dibuka dengan gambaran suram tentang ancaman eksistensial yang dihadapi umat manusia akibat krisis lingkungan dan dominasi teknologi digital. Pemanasan global, hilangnya keanekaragaman hayati, dan kerusakan ekosistem global adalah hasil dari sistem ekonomi kapitalistik yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan batas-batas ekologis planet. Kwet menyoroti bahwa Kapitalisme tidak hanya memperburuk krisis lingkungan, tetapi juga memperkuat ketimpangan global, di mana sebagian besar kekayaan dan sumber daya terkonsentrasi di negara-negara kaya, sementara miliaran orang hidup dalam kemiskinan ekstrem.
Kwet lalu memperkenalkan konsep digital colonialism untuk menggambarkan bagaimana perusahaan teknologi besar, terutama yang berbasis di Amerika Serikat, mendominasi ekonomi digital global melalui kontrol atas infrastruktur digital seperti kabel serat optik, pusat data, dan berbagai platform daring. Ia menunjukkan bahwa dominasi ini sesungguhnya mirip dengan kolonialisme klasik, di mana negara-negara maju mengeksploitasi sumber daya dan tenaga kerja di negara-negara berkembang. Contoh nyata yang diberikan Kwet, seperti kasus Uber di Afrika Selatan, dan projek pusat data Amazon yang sesungguhnya berada di tanah suci masyarakat adat, menggambarkan bagaimana perusahaan teknologi besar memperkuat ketimpangan ekonomi sekaligus merusak lingkungan.
Buku ini lalu melancarkan kritik terhadap para elite intelektual yang sering mengabaikan isu-isu seperti degrowth dan kolonialisme digital. Kwet menegaskan bahwa narasi arus utama sering kali hanya menawarkan reformasi dangkal seperti peraturan antitrust atau pembatasan digital surveillance, tanpa benar-benar menyentuh akar masalah, yaitu ketimpangan kekuasaan yang diciptakan oleh sistem Kapitalisme global. Jelas, menurut Kwet, diperlukan paradigma baru yang mengintegrasikan teori degrowth dengan kritik terhadap penguasaan teknologi digital, sehingga dia merasa perlu menciptakan pendekatan digital degrowth.
Bab-bab selanjutnya buku ini membahas secara rinci dampak negatif teknologi digital terhadap lingkungan dan masyarakat. Kwet menjelaskan bagaimana industri teknologi digital mengonsumsi energi dalam jumlah besar dan mengeksploitasi sumber daya mineral dengan cara yang tidak berkelanjutan. Limbah elektronik menjadi masalah serius, dengan jutaan ton perangkat elektronik yang dibuang setiap tahun, sebagian besar dikirim ke negara-negara miskin untuk diolah dalam kondisi yang tidak manusiawi. Kwet juga menyoroti bagaimana ekonomi digital memperburuk ketimpangan global, dengan perusahaan teknologi besar yang mendominasi infrastruktur digital dan mengeksploitasi tenaga kerja murah—termasuk untuk melatih mesin-mesin Kecerdasan Buatan—di negara-negara berkembang.
Konsep digital degrowth menawarkan solusi untuk mengurangi jejak ekologis teknologi digital sambil memprioritaskan keadilan sosial. Beberapa langkah utama yang ia usulkan meliputi penggunaan perangkat lunak sumber terbuka, desentralisasi infrastruktur digital, pembatasan konsumsi teknologi, dan redistribusi kekayaan digital. Kwet menekankan bahwa transformasi sistem digital global memerlukan perubahan mendasar dalam cara kita memandang teknologi. Teknologi digital tidak seharusnya hanya menjadi alat untuk mempercepat konsumsi dan akumulasi kekayaan, sebagaimana yang sedang kita saksikan sekarang, tetapi seharusnya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara berkelanjutan.
Bab tentang cloud colonialism dimanfaatkan Kwet untuk menggambarkan bagaimana perusahaan teknologi besar seperti Amazon Web Services, Microsoft Azure, dan Google Cloud benar-benar mendominasi pasar cloud computing global, menciptakan ketergantungan digital bagi negara-negara berkembang. Lantaran kondisi tersebut, Kwet menyerukan pembangunan infrastruktur digital lokal yang dimiliki secara kolektif oleh masyarakat atau pemerintah negara-negara berkembang untuk mengurangi ketergantungan pada perusahaan asing dan melindungi data mereka.
Kwet juga membahas hubungan erat antara perusahaan teknologi besar dan military industrial complex. Ia menjelaskan bagaimana perusahaan seperti Microsoft, Amazon, dan Google memainkan peran penting dalam mendukung operasi militer Amerika Serikat, termasuk pengembangan teknologi pengawasan dan sistem senjata canggih. Kwet menekankan, keterlibatan ini tidak hanya memperkuat posisi AS sebagai kekuatan militer global tetapi juga memperluas jejak ekologis militer mereka. Ketika membaca bab ini, saya tidak bisa tidak menghubungkannya dengan keterlibatan perusahaan-perusahaan teknologi itu dalam genosida warga Palestina oleh Israel. Protes keras para para pekerjanya yang menyadari betapa jahatnya perusahaan-perusahaan tersebut tak bisa menghentikan bisnis lukratif dengan militer AS dan Israel.
Bab tentang digital surveillance menguraikan bagaimana teknologi pengawasan digunakan untuk mengawasi, mengontrol, dan menghukum masyarakat, terutama mereka yang terlibat dalam gerakan sosial atau aktivisme. Kwet menunjukkan bahwa teknologi pengawasan sering kali digunakan untuk menargetkan aktivis, pembela lingkungan, dan kelompok rentan, memperburuk ketimpangan sosial dan merusak hak-hak demokratis. Ia menyerukan regulasi internasional yang lebih ketat terhadap pengawasan digital dan mendukung pembangunan teknologi alternatif yang lebih adil dan transparan.
Bab ini membuat saya teringat pada buku dahsyat karangan Profesor Shoshana Zuboff yang terbit pada tahun 2018, The Age of Surveillance Capitalism. Data dan analisis Zuboff sudah menunjukkan betapa Google dan Facebook (yang kini berubah nama menjadi Meta) adalah pengumpul semua data individu, yang dimanfaatkan dan dijual untuk keuntungan perusahaan. Data dan analisis Zuboff jauh lebih dalam, namun seruan Kwet agaknya melampaui apa yang disarankan Zuboff.
Dalam bab terakhir bukunya Kwet mengajukan visi transformatif untuk teknologi digital yang disebut sebagai People’s Tech dan Digital Tech Deal. Konsep ini bertujuan untuk menciptakan teknologi yang adil, berkelanjutan, dan dirancang untuk melayani kebutuhan kolektif, bukan kepentingan segelintir elite atau perusahaan besar. Kwet menyerukan aksi kolektif untuk melawan dominasi perusahaan teknologi besar, mengatasi ketidakadilan digital, dan mendorong transformasi menuju digital degrowth.
Secara keseluruhan, buku ini adalah kontribusi yang signifikan dalam wacana tentang teknologi dan keberlanjutan global—yang sependek pengetahuan saya belum banyak tersedia di pasar. Kwet berhasil menghadirkan kritik yang tajam terhadap sistem Kapitalisme global dan perusahaan teknologi besar, sambil menawarkan solusi inovatif melalui konsep digital degrowth-nya. Oleh karena itu, buku ini sangat relevan bagi para pembaca yang peduli pada keadilan sosial, keberlanjutan, dan masa depan teknologi.
Namun, buku ini jelas juga punya beberapa ruang perbaikan. Misalnya, menurut saya yang kerap ingin melihat angka, beberapa argumen kurang didukung oleh data kuantitatif yang komprehensif. Saya juga merasa bahwa usulan solusi kadang terasa terlalu ideal tanpa membahas tantangan implementasi secara mendalam. Bayangkan, nasihat tentang perlunya pengaturan di tingkat global tentang teknologi digital disampaikan ketika kita semua sedang menyaksikan bahwa tatanan global bahkan tak berdaya mencegah pembantaian di Ukraina dan genosida di Palestina, juga tak cukup bergiginya perjanjian penanganan perubahan iklim. Mungkin juga para pembaca akan merasa narasi buku cenderung polarizing, dengan nada yang sangat kritis terhadap raksasa teknologi digital dan Kapitalisme, yang mungkin membuat sebagian pembaca merasa disudutkan.
Buku ini adalah karya yang berani dan inspiratif, yang dapat memicu diskusi lebih lanjut dan detail, lalu mendorong aksi kolektif untuk perubahan. Kita semua perlu mendengarkan Kwet yang menutup bukunya dengan seruan untuk bertindak segera, mengingat waktu semakin menipis untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Ia menekankan bahwa setiap orang memiliki peran dalam menciptakan perubahan, mulai dari memilih teknologi yang lebih berkelanjutan hingga mendukung gerakan sosial yang melawan dominasi perusahaan teknologi besar.
Karenanya, saya mengundang siapa pun yang ingin berkontribusi menciptakan masyarakat global yang menghormati keadilan sosial dan batas-batas ekologis planet untuk membaca buku ini dan bertindak selaras dengan rekomendasi-rekomendasinya.
Bacaan terkait
Pertarungan Dua Raksasa Kecerdasan Buatan
Menjadi Pemimpin, Menjadi Kekuatan untuk Kebaikan
Ulasan Pembaca 1