Hampir seperempat abad setelah Gladiator pertama kali dirilis, Ridley Scott kembali menghidupkan kisah epik Kekaisaran Roma melalui Gladiator II. Film ini membawa beban berat, mengingat status legendaris film pendahulunya yang mendapatkan 12 nominasi dan memenangkan 5 Oscar, termasuk Film Terbaik dan Aktor Terbaik untuk Russell Crowe.
Sekuel ini mengusung tantangan besar untuk tidak hanya menghidupkan kembali kejayaan narasi Gladiator, tetapi juga menghadirkan sesuatu yang relevan dan segar bagi penonton. Apakah upaya Scott ini berhasil? Menurut saya, jawabannya tergantung pada apa yang dicari oleh masing-masing penonton, apakah aksi spektakuler ataukah kedalaman cerita dan emosi.
Alur Cerita yang ‘Baru’
Cerita Gladiator II berlangsung 16 tahun setelah kematian Maximus Decimus Meridius (Crowe). Kali ini, fokus cerita beralih ke Lucius Verus (Paul Mescal), anak dari Lucilla (Connie Nielsen) yang kini telah dewasa. Lucius tinggal di Numidia, Afrika Utara, menjalani kehidupan damai bersama istrinya, dan menggunakan nama panggilan Hanno untuk menyembunyikan identitasnya.
Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Desa tempat Lucius tinggal diserang oleh pasukan Romawi yang dipimpin Jenderal Marcus Acacius (Pedro Pascal), seorang pemimpin yang ambisius dan manipulatif. Serangan brutal itu merenggut nyawa istrinya dan menjadikan Lucius serta penduduk lainnya budak, dan di antara yang dianggap berketerampilan berkelahi dan berperang dijadikan gladiator.
Di Koloseum, Lucius memang menghadapi kenyataan pahit sebagai tawanan yang dipaksa bertarung demi hiburan massa. Namun, di balik darah dan debu arena, ia merancang rencana balas dendam untuk menghancurkan orang-orang yang telah menghancurkan hidupnya. Hal itu dimungkinkan karena pemilik para gladiator itu adalah Macrinus (Denzel Washington), yang juga memiliki agenda untuk menumbangkan ko-kaisar zalim, Geta (Joseph Quinn) dan Caracalla (Fred Hechinger). “You will be my instrument!” demikian yang dinyatakan Macrinus kepada Lucius. Namun, dalam prosesnya, Lucius harus menghadapi dilema moral yang mendalam: apakah balas dendam pribadi lebih penting daripada upayanya memulihkan kejayaan Roma?
Tentu saja ini adalah cerita yang baru. Namun mengingat pada Gladiator Maximus adalah jenderal yang disingkirkan dan kemudian menjadi gladiator hingga bisa membunuh Kaisar Commodus dalam pertarungan puncak sebagai balas dendam atas kematian keluarganya, maka cerita penyelamatan Lucius kecil dengan memisahkannya dari sang ibu, lalu dia kembali ke Roma untuk membalas dendam sebetulnya adalah kisah yang paralel. Dengan kemiripan ini, alur cerita tak bisa dibilang benar-benar baru, namun permainan nasib dan balas dendam memang adalah cerita yang sangat bisa dibuat menarik di banyak film.
Tontonan yang Mengesankan, Namun …
Scott, sekali lagi, menunjukkan keahlian luar biasanya dalam menciptakan adegan pertempuran yang memukau. Adegan pembukaan yang berupa pertempuran laut menjadi pengantar yang menghentak dan membangun suasana epik sejak awal. Koreografi pertarungan di Koloseum begitu intens, dengan setiap pukulan, tendangan, dan tebasan pedang terasa nyata. Film ini menggunakan teknologi sinematik mutakhir untuk menciptakan pengalaman mendalam, menggabungkan efek visual dengan set yang nyata, termasuk rekonstruksi megah Koloseum, dan lanskap Romawi lainnya.
Musik dari Hans Zimmer kembali menjadi elemen penting yang memperkuat emosi dalam setiap adegan. Dengan melodi yang megah dan konsisten dengan film pertama, musiknya tidak hanya melengkapi visual tetapi juga menguatkan unsur emotif di berbagai adegan, terutama dalam momen-momen refleksi Lucius, atau ketika kali pertama Lucilla tersadar akan identitas gladiator yang sedang bertarung.
Mescal tampil mengesankan sebagai Lucius. Ia berhasil menggambarkan perjalanan emosional yang kompleks dari seorang pria yang kehilangan segalanya, harus memilih motivasi pertarungannya, hingga menjadi simbol perjuangan. Pascal sebagai Acacius juga memerankan tokoh ‘antagonis’ yang karismatik dengan lapisan dan pergantian emosional, yang membuatnya menjadi lawan akting Mescal yang sepadan.
Nielsen yang kembali memerankan Lucilla juga tampil meyakinkan sebagai ibu yang menderita lantaran terpisah dari anaknya lalu bahagia karena perjumpaan kembali. Namun, buat saya, akting Washington sebagai Macrinus, pelatih gladiator yang keras namun bijaksana di bagian depan, lalu berubah peran menjelang akhir film adalah tontonan paling mengesankan. Pantaslah kalau dia jadi langganan nominasi Oscar dan sudah menyabet 2 di antaranya.
Meski secara visual dan laga Gladiator II tidak diragukan lagi mengagumkan, kritik utama datang dari narasi yang dianggap kurang segar. Begitu yang saya baca di berbagai kolom kritik film. Beberapa kritikus film terkemuka, seperti yang menorehkan catatannya di Business Insider dan The Standard, menyebutkan bahwa film ini terlalu bergantung pada formula film pertama, seperti perjalanan protagonis yang mencari balas dendam melalui jalan gladiator. Meski tema balas dendam klasik tetap relevan, pendekatan yang hampir identik membuat beberapa momen terasa repetitif.
Selain itu, pengembangan karakter Lucius dianggap terlalu dangkal. Meskipun transformasinya dari seorang warga desa menjadi gladiator yang tangguh terlihat secara visual, perjalanan emosionalnya kurang digali. Penonton hanya diberi sedikit gambaran tentang keputusasaan dan motivasinya di luar kehilangan keluarganya. Bahkan interaksi antara Lucius dan karakter seperti Lucilla, Acacius, dan Macrinus juga terasa terbatas—padahal sangat mungkin dibuat lebih kuat lagi dengan dialog yang lebih panjang dan mendalam.
Dalam ulasan GQ Magazine, film ini juga mendapat kritik karena mencoba mengangkat isu-isu seperti relasi yang ambigu di antara karakter-karakter yang ada, namun gagal mengeksplorasi isu tersebut secara mendalam. Hal ini menyebabkan elemen-elemen tersebut terasa seperti tambahan yang tidak terintegrasi dengan baik ke dalam narasi utama. Tidak mengherankan, walaupun mengakui keunggulan banyak aspek teknis dan akting di film ini, The New York Times memilih judul yang mengingatkan pada apa yang para penonton saksikan di situ: Friends, Romans, and Sharks. Sementara BBC malah bilang bahwa ini adalah film teman makan brondong jagung terbaik tahun ini.
Jika dibandingkan dengan film-film klasik berlatar belakang sejarah Roma lainnya, seperti Ben-Hur (1959), Spartacus (1960), atau The Fall of the Roman Empire (1964)—tontonan saya sejak kecil—Gladiator II tampak berusaha keras untuk mengikuti jejak pendahulunya dalam menggambarkan skala epik dan drama manusia yang mendalam. Namun, dibandingkan Ben-Hur yang menonjolkan perjalanan spiritual dan emosional protagonisnya, atau Spartacus yang menggali perjuangan sosial dan politik kaum budak, Gladiator II lebih condong pada aksi dan visual. Dari sisi kedalaman narasi, Gladiator II kalah dari The Fall of the Roman Empire, yang memberikan eksplorasi kompleks tentang kejatuhan moral dan politik Roma. Namun, dalam hal visualisasi, Gladiator II jelas berada di posisi puncak, berkat teknologi modern dan gaya sinematik Ridley Scott yang sangat mengutamakan detail.
“Jadi, Perlu Ditonton Nggak, Nih?”
Ketika tulisan ini dibuat, skor agregat yang dihimpun Rotten Tomatoes dari 153 kritikus adalah 75%. Kesimpulan yang diberikannya adalah “Echoing its predecessor while upping the bloodsport and camp, Gladiator II is an action extravaganza that derives much of its strength and honor from Denzel Washington’s scene-stealing performance.” Dan saya sepenuhnya setuju atas nilai maupun kesimpulan itu. Gladiator II adalah karya yang menghibur, terutama bagi para penggemar aksi epik dengan visual yang memukau. Meskipun narasinya tidak mencapai kedalaman emosional atau filosofis seperti film-film sejarah Romawi klasik lainnya, ia tetap berhasil memberikan pengalaman sinematik yang mendebarkan.
Scott dan seluruh timnya jelas memahami bagaimana membangun dunia yang megah dan menghadirkan ketegangan di arena. Para bintang rasanya juga telah berakting secara optimal dalam batasan skenario yang diberikan. Namun, bagi penonton yang mencari narasi yang lebih mendalam atau inovasi dalam penceritaan, Gladiator II mungkin terasa kurang memuaskan. Meski begitu, film ini tetap merupakan penghormatan yang layak bagi warisan Gladiator—yang skor Totten Tomatoes-nya adalah 80% dari 259 kritikus—sekaligus upaya yang berani untuk menghadirkan epik Roma kepada generasi baru maupun yang mencari nostalgia dari film pertamanya.
Buat mereka yang menyukai aksi spektakuler dan atmosfer megah, Gladiator II adalah tontonan yang wajib. Namun, jika mereka yang mencari narasi dengan bobot emosional dan refleksi mendalam tentang moralitas atau politik, film ini mungkin akan dipandang sebagai hiburan belaka daripada mahakarya. Sementara, mereka yang ingin belajar sejarah Roma yang sesungguhnya, film ini bukanlah jawaban atas keingintahuan itu. Jadi, janganlah mengeluhkan akurasi historis setelah menontonnya.