Menteri Perdagangan Tom Lembong pada tahun 2016 memberikan keynote address di Monash University, Australia. Saya biasanya paling malas menghadiri acara dengan pejabat seperti ini karena, biasanya, cuma seremonial belaka. Mendingan juga saya baca buku dan menulis.
Tapi saya “terpaksa” hadir untuk mewakili Dekan Monash Law School yang berhalangan hadir. Dan sebagai satu-satunya orang Indonesia yang ada di Monash Law School, saya diminta hadir mewakili Dekan, Profesor Bryan Horrigan.
Saya sebelumnya tidak kenal dan tidak tahu-menahu akan sosok menteri yang satu ini. Tampil di kalangan akademisi Monash, beliau sangat percaya diri dan bicara tanpa teks dengan bahasa Inggris yang fasih, argumen yang jelas, dan visi yang jauh ke depan.
Lulusan Harvard University, Amerika Serikat, yang masa kecilnya dihabiskan di Jerman ini bukan cuma pintar tapi juga santun. Gayanya kalem, cool, dan tidak meledak-ledak, padahal ia baru berusia 45 tahun. Suaranya terdengar berat, dan saya menduga kalau beliau bernyanyi Saiful Jamil pun bakal kalah
Yang memesona saya, Pak Tom ternyata cukup tahu diri bahwa sepintar-pintarnya ia, ia hanyalah “pembantu” Presiden Joko Widodo. Karena itu, ia selalu menyitir visi Jokowi dan bagaimana ia berusaha menerjemahkan visi Jokowi tersebut di depan akademisi Monash University. Dan dengan candid sang menteri menggunakan acara Master Chef, bahkan film Star Trek, untuk mengilustrasikan poin-poin pembicaraannya.
Tidak terlihat ia menonjolkan dirinya. Berulangkali yang ia tonjolkan adalah Sang Presiden RI, bukan dirinya sebagai menteri. Ia juga pandai menempatkan diri. Saat tampil di kampus, ia bicara visi, tidak seperti orang yang sedang jualan, padahal ia Menteri Perdagangan. Tentu topik perbincangan akan berbeda kalau ia bicara di depan kalangan pebisnis Australia.
Ketika saya diberi giliran bertanya, ia pun menjawab dengan diplomatis dan filosofis. Tidak terpancing dengan pertanyaan nakal saya yang hendak mem-push dia untuk bicara soal problematika hubungan Australia-Indonesia yang panas-dingin.
Indonesia ternyata punya banyak anak muda yang sangat pintar, santun, dan bersahaja. Pak Tom jelas seorang non-Muslim dan keturunan Tionghoa. Tapi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah memberi peluang bagi setiap anak bangsa untuk berkontribusi bagi negaranya. Mereka punya hak dan kewajiban yang sama, apa pun agama dan etniknya. Inilah Indonesia yang sesuai visi founding fathers kita: Bhinneka Tunggal Ika.Â
Buat yang masih saja keberatan kalau non-Muslim bisa punya posisi penting di tanah air, mereka lupa bahwa di zaman khilafah pun orang non-Muslim juga bisa diberi jabatan penting seperti menteri.
Pada masa Khalifah Muâawiyah telah diangkat sebagai bendahara seorang pendeta Kristen dari Damaskus yaitu pendeta John. Sejarah mencatat bahwa di bawah kekuasaan Sultan Buwayhiyah, menteri luar negeri, menteri pertahanan, serta menteri keuangannya sering kali adalah orang Kristen.
Di bawah kekuasaan Khalifah âAbbasiyah ke-16 al-Muâtadhid, seorang Kristen taat bernama âUmar bin Yusuf diangkat sebagai gubernur Provinsi al-Anbar, Irak. Nashr bin Harun, juga seorang Kristen, bahkan dipercaya menjadi perdana menteri di masa âAdud ad-Daulah (949-982 M), penguasa terbesar Dinasti Buyid di Iran.
Di bidang militer, tentara Muslim lebih dari sekali dipimpin oleh seorang jenderal Kristen. Contohnya, seperti pada masa Khalifah âAbbasiyah ke-15 al-Muâtamid dan Khalifah ke-18 al-Muqtadir, komando dipercayakan kepada perwira militer Kristen.
Kalau di zaman khilafah saja tidak tertutup pintu bagi non-Muslim yang cakap dan andal serta jujur untuk bisa berkiprah, apalagi untuk NKRI Indonesia di abad ke-21 ini.
Imam al-Mawardi sudah menjelaskan dalam kitabnya al-Ahkam al-Sulthaniyah bahwa dalam hal kekuasaan pemerintahan berada di tangan kepala negara. Artinya, kedudukan para menteri hanya sebagai pembantu kepala negara dan sebagai pegawai/pejabat tinggi negara/pemerintah, yang dalam kajian siyasah syarâiyah disebut âwizaratut tanfidzâ dibenarkan adanya anggota kabinet atau menteri dari non-Muslim.
Sebelum ada yang mencaci maki, saya tegaskan pada Anda bahwa Imam Mawardi itu bukan Syiah, bukan PKI, bukan JIL, dan bukan ulama kacangan serta tidak kenal dan tidak dapat bayaran dari Tom Lembong atau Ahok
Catatan: Arsip lama, 19 April 2016.
Sumber naskah:Â Â https://nadirhosen.net/kehidupan/negara/72-tom-lembong-di-monash/