Hidup adalah sebuah perjalanan. Kredo ini dimaknai secara literer oleh Agustinus Wibowo, dan diwujudkannya dalam sebuah perjalanan jauh mengeksplorasi sisi-sisi dunia yang mengesankan. Semua itu dituangkannya dalam buku Garis Batas, yang mengisahkan perjalanannya sebagai pengelana menyusuri daratan Asia Tengah.
“Bagi saya perjalanan bukan lagi gaya hidup. Tapi kehidupan yang sesungguhnya,” demikian kalimat filosofisnya tentang perjalanan keliling dunianya sebagai backpacker. Dalam perjalanan panjangnya yang harfiyah, ia dapat menemukan makna-makna filosofis dari apa yang ditemukannya di sudut-sudut dunia yang lain.
Menurut Ambar Briastuti, moderator milis Indobackpacker yang membuat kata pengantar untuk buku ini, Agustinus adalah satu dari sedikit pengelana yang berpandangan mendalam tentang traveling keliling dunia. Dalam tulisan-tulisannya, pria yang akrab dipanggil Gus Weng ini menyebut perjalanan dengan ransel adalah pembelajaran kehidupan yang penuh ujian mental dan membangkitkan kontemplasi batin.
Backpacking bukan sekedar penelusuran fisik mengunjungi tempat-tempat di luar negeri, lalu mengatakan “i have been there” dan “i have done it”. Agustinus menyodorkan bukti nyata bahwa travel writing bukanlah kegiatan narsistis yang hanya menyediakan ruang bagi euforia individualistik. Tetapi bisa dikemas dengan cara berbeda yang bermanfaat bagi publik, yaitu pengamatan tentang manusia dan pelajaran menjadi manusia.
Tidak banyak backpacker yang mampu melihat insigt travelling sebagai pengalaman batin yang menguji mental, kepercayaan diri, bahkan menantang harga diri. Lebih sedikit lagi adalah mereka yang berhasil menuangkannya dalam sebuah buku yang informatif, menghibur, menginspirasi, lagi kontemplatif.
Agustinus, masih menurut klaim Ambar Briastuti, memiliki kapasitas multidimensi yang membuatnya menyerap segala aspek dalam perjalanan backpacking-nya. Dalam penyusurannya di daratan segala bangsa, ia tak hanya membekali diri dengan ransel besar penuh bekal, tetapi juga keingintahuan, independensi, dan keberanian menjamah tempat yang tak biasa, berbahaya, dan berpotensi konflik.
Setiap sudut di bumi ini selalu terdiri dari dua sisi: baik-buruk, miskin-kaya, kejam-sabar, jahat-tulus, dan sifat-sifat universal lainnya yang menjadi bagian dari umat manusia di manapun berada. Ada bangsa yang humanis dan beradab, ada bangsa yang kejam dan egois, semuanya demi bertahan hidup di dunia yang penuh persaingan. Tetapi pilihan ada di tangan setiap individu, apakah akan berdiri di sisi gelap atau sisi terang kemanusiaan.
Agustinus adalah pria asal Lumajang, Jawa Timur yang memiliki pengalaman menarik menjelajahi puluhan negara dengan ransel di punggungnya. Sejak meraih gelar sarjana ilmu komputer dari Universitas Tsinghua, Beijing, tahun 2005, ia memulai petualangan perjalanan darat keliling Asia. Ia sempat diterima di salah satu universitas di Amerika Serikat dengan skema beasiswa penuh pada jenjang S2. Namun ia memilih menjadi pengelana yang merayapi Asia hingga Afrika Selatan secara solo.
Dalam penjelajahannya Agustinus sempat bekerja sebagai jurnalis foto di Afghanistan selama tiga tahun, sebelum kemudian kembali menelusuri kota-kota di Asia Selatan dan Asia Tengah.
Bekal utamanya adalah kepiawaian berkomunikasi sebagai seorang poliglot. Ia fasih bicara Inggris dan Mandarin, sefasih bahasa Indonesia. Selain itu pria berwajah oriental ini mempelajari bahasa Rusia, Jepang, Jerman, Prancis di bangku sekolah, dan secara otodidak mempelajari banyak bahasa yang pernah dilaluinya seperti Urdu, Farsi, Tajik, Kirgiz, Kazakh, Uzbek, Mongol, Turki, dan Tok Pisin.
Rekaman perjalannnya selama ini telah ditulis dalam tiga buku, yaitu Selimut Debu: Impian dan Kebanggaan dari Negeri Perang Afghanistan (2010), Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah (2011), dan Titik Nol: Sebuah Makna Perjalanan (2013).
Backpacker Kaya Detail
Seperti yang dilakukan Marcopolo, I-Tsing, Ibnu Batutah, dan para penjelajah lainnya, Agustinus, selain merekam kejadian-kejadian mikro, juga memotret situasi makro tempat-tempat yang ia kunjungi. Ia piawai membuat figurasi setiap sisi kisahnya, mulai lanskap, situasi yang melingkupi, suasana psikologis tokoh-tokohnya, serta konteks kejadiannya.
Bicara Tajikistan misalnya, digambarkan sebagai negara pecahan Uni Soviet yang bersahaja. Geografisnya adalah dataran tinggi yang disangga lembah luas dengan jalan penghubung yang menembus gunung dan bukit. Semua itu buah dari rezim Rusia dahulu yang membelah gunung-gunung salju demi mendekatkan setiap pelosok terpencil dalam imperium mereka.
Namun kini infrastruktur di Tajikistan dikuasai Cina. Di mana-mana tampak pekerja Cina melakukan pekerjaan infrastruktur, mulai mengoperasikan traktor hingga pekerja kasar.”Orang Tajik tak mau bekerja yang berat-berat, tetapi orang Cina mengerjakan apapun,” kata Agustinus mengutip penduduk lokal.
Penggambaran Tajikistan dalam buku ini dengan mudah dapat dipindahkan ke dalam alam pikiran pembaca karena penuh detail, termasuk sejarahnya, tradisinya, latar belakangnya, hingga kondisi jalanan plus bunyi baliho-baliho yang berbaris di tepinya. Misalnya ada foto besar presiden Emomali Rahmo dengan quote “Air demi Kehidupan” dan “Tajikistan Gerbang Emas Jalur Sutra”.
Kata-kata mutiara gaya jargonal seperti ini adalah tradisi warisan rezim komunis yang tak disadari masih dilestarikan hingga sekarang. Padahal bagi generasi muda lokal yang terdidik, baliho besar-besar seperti itu tak lebih dari deretan gambar tanpa makna.
Kebanyakan tempat yang dikunjungi Agustinus adalah lokasi anti mainstream. Maka buku ini tak bicara tentang New York, Paris, Berlin, Tokyo, dan Soeul. Ia berfokus di Asia Tengah, seperti Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan Turkmenistan. Mirip rute penaklukan Dinasti Umayah dari Khurasan ke Bukhara, ia menggunakan sungai Oxus sebagai titik mula, lalu terus naik ke utara hingga persimpangan menuju Cina.
Negeri-negeri itu bukanlah tujuan wisata favorit, tetapi kawasan marjinal yang tidak menawarkan keramahan bagi wisatawan yang suka tidur nyenyak. Dalam rihlah-nya yang panjang, Gus Weng juga membukukan banyak pengalaman pahit. Kalau sekedar tidak mandi karena tidak bertemu air, itu belum seberapa. Yang lebih pahit banyak, seperti hampir dipenjara karena visa habis, ditangkap militer karena dicurigai sebagai mata-mata, dan mengalami serangan seksual.
Saat di Afghanistan, sejumlah orang langsung memukulinya hanya karena Agustinus mengenakan gamis Shalwar, pakaian khas Pakistan. Belakangan ia tahu, Pakistan adalah bangsa yang dibenci di Afghanistan. Afganistan adalah negara Islam yang menerapkan syariat Islam, tetapi di sana ada fenomena yang namanya Bacabazi yang secara literer berarti play the boy. Agustinus memahami fenomena ini setelah diundang menginap di rumah seseorang yang sangat ramah. Tetapi di tengah malam, ia malah hampir menjadi korban pemerkosaan gay.
Dalam buku ini ada banyak hal penting dan menarik. Seandainya yang dibuat Agustinus hanya deretan gambar narsis ala instagram dan sepotong kata-kata alay, hal itu tidak akan banyak berguna bagi pembaca. Tetapi karena yang direkamnya adalah tempat, budaya, dan dinamika, maka buku ini bisa menjadi warisan berharga bagi siapa pun tentang sebuah masa, sebuah tempat, dan sebuah cerita anak manusia, yang menurut saya sangat penting.
Judul: Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah
Penulis: Agustinus Wibowo
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Genre: Memoar/Traveling
Edisi: Cet 8, Maret 2021
Tebal: 510 halaman
ISBN: 978992268843
Ulasan Pembaca 1