Mas Menteri Nadiem Makarim,
Pertama sekali, perkenankan saya menyampaikan terima kasih banyak. Selama lima tahun terakhir ini kita merasakan percepatan transformasi pendidikan di Indonesia. Situasi sulit pada masa pandemi, berhasil kita lalui. Puncaknya, ketika Kemendikbudristek masa Mas meluncurkan program “Merdeka Belajar” dalam 26 episode.
Kita semua tahu, ada banyak kritik–yang tentu layak dan harus dipertimbangkan, termasuk yang saya singgung sepintas di bawah ini–atas Gerakan Merdeka Belajar, meliputi Kurikulum Merdeka, Program Organisasi Penggerak, Sekolah Penggerak dan Guru Penggerak. Tapi, for the sake of fairness, izinkan saya sekalian menyampaikan apresiasi.
Pertama, pada era Kurikulum Merdeka, Kepala Sekolah dan Guru merasakan satu bentuk “kemerdekaan” dalam mengembangkan kemandirian dan inovasi pembelajaran. Ini hal penting setelah sekian lama para kepala sekolah dan guru terjebak dalam situasi takut salah. Takut tidak sesuai regulasi, dan takut pada pengawas sekolah. Yang mengakibatkan sekolah cenderung hanya berusaha memenuhi aspek administratif dan formalistik.
Kedua, dari sisi filosofis, keberadaan Kurikulum Merdeka yang berbasis kompetensi, penguatan karakter, penekanan pada muatan esensial, dan fleksibilitas–yang berpusat peserta didik–telah membuka ruang bagi para guru untuk menyiapkan peserta didik yang teberdayakan. Pun demikian, penguatan karakter yang diterjemahkan dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) telah memberikan alternatif konkret bagi model pendidikan karakter di sekolah.
Ketiga, Program Sekolah Penggerak dan Guru Penggerak, meskipun terlihat elitis, setidaknya telah menjadi cikal bakal munculnya inisiator transformasi pendidikan. Hal ini juga diikuti munculnya semangat baru bagi para guru dalam mengembangkan diri secara mandiri melalui pembentukan Komunitas Belajar (Kombel).
Keempat, di sisi lain, keberadaan Platform Merdeka Mengajar (PMM) juga telah membentuk ekosistem digital yang memfasilitasi guru dalam meningkatkan kompetensi. PMM tentu menjadi salah satu legacy Mas Menteri. Sebelum ada PMM, agak sulit untuk mencari sumber referensi atau rujukan yang terpercaya tentang kurikulum, materi pelatihan, kumpulan praktik baik, dan perangkat ajar, karena tersebar di berbagai website. Saat ini, PMM telah menjadi semacam one stop shopping untuk memenuhi kebutuhan para pendidik dalam mengembangkan diri dan berkolaborasi. Apalagi dengan tampilan PMM yang menarik dan user friendly.
Kelima, keberpihakan Mas Menteri bersama tim untuk terus mencegah dan menangani “tiga dosa besar” pendidikan (kekerasan seksual, bullying, dan intoleransi) juga patut mendapat apresiasi. Langkah ini akan menyelamatkan peserta didik dari kerugian dan trauma di masa depan, serta menjamin keharmonisan kehidupan bermasyarakat.
Keenam, dengan latar belakang sebagai pebisnis, Mas Menteri juga mencoba menerapkan tata kelola organisasi yang lebih lincah (agile) dan cair. Sehingga proses perencanaan, pengambilan keputusan, dan eksekusi program akan lebih cepat. Hal ini tampak, misalnya, dalam pengelolaan program pada Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (Ditjen PDM), dengan dibentuknya semacam Gugus Tugas yang diberi nama PDM (PDM-01 sd PDM-14). Personel PDM terdiri dari perwakilan setiap direktorat (PAUD, SD, SMP, SMA, Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus). Setiap PDM mengelola program strategis yang dicanangkan. Kolaborasi antar-Direktorat ini sepertinya ditujukan agar tidak terjadi tumpang tindih program yang sekaligus mengatasi pola pikir sektoral antar direktorat.
Sekali lagi selamat Mas Menteri Nadiem dan terima kasih banyak. Selamat bertugas di bidang dan jalur yang lain, demi terus memberikan kontribusi bagi bangsa kita. Lalu…
Selamat datang Mas Abdul Mu’ti. Selamat bertugas, nggih. Ikut senang dan berdoa. Semoga Mas Mu’ti senantiasa terus dikaruniai sehat walafiat selama mengemban amanah yang berat ini, agar bersama tim Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah bisa membawa angin segar untuk masa depan pendidikan negara di negeri kita tercinta.
Tampak dalam hanya 2-3 minggu pertama jabatannya ini saja Mas Mu’ti sudah sat set dan gercep . Sekaligus senang sekali ketika Mas Mu’ti memberikan statemen bahwa dalam waktu dekat ini Mas Mu’ti akan lebih dulu banyak mendengar, melihat, dan menampung apresiasi segenap pemangku kepentingan, sebagai masukan untuk pengambilan keputusan terkait arah baru kebijakan pendidikan. Apalagi Mas Mu’ti juga menekankan pentingnya semangat gotong royong dan partisipasi publik.
Ada sedikitnya dua isu yang saat ini menjadi perhatian publik dan juga sering ditanyakan wartawan kepada Mas Mu’ti, yakni terkait keberlanjutan Kurikulum Merdeka dan kemungkinan pengembalian Ujian Nasional (UN) sebagai alat assesment. Surat terbuka saya ini dimaksudkan sebagai urun rembuk sederhana, persis untuk merespons ajakan Mas Mu’ti, dari seorang sukarelawan yang puluhan tahun berupaya terlibat dalam pengelolaan berbagai lembaga pendidikan. Kenapa dibuat surat terbuka? Alasannya cuma untuk memantik wacana dan diskusi transparan, yang di dalamnya masyarakat banyak bisa ikut berpartisipasi.
Pertama, tentang Kurikulum Merdeka. Setelah pandemi berakhir, sepengetahuan kami, Kemendikbudristek sebelumnya telah melakukan kegiatan yang sangat masif untuk pemulihan pembelajaran, termasuk di dalamnya menyiapkan Kurikulum Merdeka. Sebuah perjalanan panjang, yang akhirnya sampai pada penetapan Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum nasional pada akhir Maret 2024. Sebuah kurikulum yang sekaligus juga berusaha menghindar dari kutukan “ganti Menteri, ganti Kurikulum”.
Kami sangat senang ketika Mas Mu’ti menyampaikan bahwa tidak akan mengambil kebijakan baru yang mendadak terkait Kurikulum Merdeka ini. Karena, jika demikian, para guru akan gelagapan untuk harus secara tergesa-gesa beradaptasi kembali dengan penggantinya. Tentu saja hal ini sama sekali tidak berarti bahwa evaluasi terhadap Kurikulum Merdeka tidak perlu dilakukan. Sebaliknya, malah suatu evaluasi berkelanjutan harus terus dilakukan jika kita hendak terus melakukan perbaikan. Di bawah ini pengamatan saya tentang hal ini.
Jika dikelompokkan, setidaknya ada tiga level performans sekolah-sekolah kita dalam menerapkan Kurikulum Merdeka, yaitu, (1) sekolah yang berhasil menerapkan, (2) sekolah yang sudah mulai menemukan bentuk penerapan, dan (3) sekolah yang belum berhasil menerapkan. Bahkan pada kenyataannya ada juga sekolah yang baru menerapkan pada tahun ajaran ini.
Meskipun dalam hal filosofi dan konsepnya kita tetap menaruh harapan pada Kurikulum Merdeka, namun ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian. Pertama, berbeda dengan Kurikulum 2013, yang didesain sebagai standar minimal, sehingga sekolah yang memiliki keterbatasan sumber daya dan sumber dana dapat menerapkan dengan mudah–tanpa menutup kemungkinan sekolah yang memiliki kemampuan tinggi, dapat lebih mengembangkannya ke level selanjutnya-Kurikulum Merdeka cenderung menerapkan standar tinggi, sehingga dibutuhkan effort yang luar biasa dalam penerapannya. Apalagi bagi mayoritas sekolah di Indonesia yang masih bergulat dengan masalah-masalah survival, di level dasar.
Sayangnya lagi, tingkat keterbacaan dokumen yang ada–termasuk dokumen tentang Panduan Pembelajaran dan Asesmen, Panduan Penyusunan Kurikulum Satuan Pendidikan, Dokumen Capaian Pembelajaran, Dokumen Dimensi-Elemen-Sub-elemen Profil Pelajar Pancasila, dan Panduan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5)–tampak masih memiliki keterbacaan yang rendah. Dengan kata lain, masih sulit dicerna dan dipahami. Akibatnya, terkesan, Kurikulum Merdeka kurang membumi, khususnya bagi sekolah-sekolah yang masih handicapped itu .
Kedua, terkait keterbatasan pemerintah dalam memberikan pelatihan secara tatap muka kepada para guru. Ditawarkan alternatif pelatihan melalui komunitas belajar dan pelatihan mandiri melalui Platform Merdeka Mengajar (PMM). Meski tentu lebih praktis dan lebih menjangkau audiens yang lebih luas dalam waktu singkat, hal ini juga berpotensi menimbulkan pemahaman yang beragam, untuk tak menyebut ketidakpahaman.
Ketiga, ada kebutuhan untuk penyederhanaan administrasi. Meskipun Kurikulum Merdeka didesain agar mengurangi beban administrasi guru, pada kenyataannya justru masih banyak dibebani oleh kegiatan administratif, sebagai akibat dari keharusan guru untuk menyelesaikan banyak tugas di PMM.
Keempat, Kurikulum Merdeka yang menitikberatkan pada fleksibilitas diarahkan untuk didesain secara bottom up–yang sesungguhnya baik sekali. Sayangnya, mayoritas guru terbiasa menjalankan kebijakan yang sudah siap pakai. Mereka harus mengubah diri untuk menjadi aktor utama dalm penyusunan kurikulum dari hulu ke hilir, yang masih merupakan problem besar yang harus dicarikan pemecahannya.
Sekarang tentang UN. Sejak era Mendikbud Pak Moh Nuh), Pak Muhadjir Effendy, dan Pak Anies Baswedan, saya termasuk pengamat pendidikan yang mendorong dihapuskannya UN. Yakni, UN sebagai penentu kelulusan murid. Saya berkeyakinan bahwa UN kurang sejalan dengan kebutuhan pendidikan yang berpusat pada peserta didik. Mengapa? Sedikitnya ada dua alasan.
Pertama, seharusnya UN diterapkan sebagai pengukur kemampuan sekolah dan peta pencapaian pendidikan nasional dalam menjalankan tugas pendidikannya. Bukan pengukur kemampuan siswa. Kedua, kalaupun UN dan standardisized test semacam ini mau diterapkan, hendaknya dihindarkan kecenderungannya untuk hanya mengukur aspek kognitif-akademis secara sempit, Padahal, di samping ke arah pengembangan kemampuan lain-lain yang terkait dengan pengembangan karakter, zaman menuntut perhatian lebih besar kepada penguasaan keterampilan abad ke-21. Termasuk kemampuan komunikasi, kepemimpinan, kreativitas, kolaborasi, dll. Belum lagi dalam hal pengembangan imajinasi yang, bukan hanya terkait kreativitas dan seni, juga punya peran besar dalam pengembangan sains.
Selain membebankan tekanan psikologis yang besar terhadap murid, UN cenderung memaksa guru untuk mengejar nilai, bukan mengupayakan kegiatan atau proses belajar yang bermakna, menyenangkan, kontekstual, dan menantang. Beberapa hal terakhir ini tampaknya benar-benar disadari Mas Mu’ti, sebagaimana diungkapkannya belakangan ini. Sementara, esensi pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik untuk mencapai bukan hanya kesuksesan profesional dan material, melainkan juga kesejahteraan hidup (well being) secara psikologis dan spiritual, serta memiliki dorongan untuk bisa bermanfaat sebesar-besarnya bagi sesama.
Banyak hal, dalam berbagai sasaran di atas, yang nyaris mustahil diuji dengan pencil and paper test sesaat, seperti UN. Belum lagi jika kita masukkan juga masalah kebocoran soal dan moral hazard berupa jual beli soal dan pembocoran secara sengaja soal-soal ujian oleh pihak sekolah sendiri. (Ada lebih dari satu judul dalam buku saya, Memulihkan Sekolah, Memulihkan Manusia, yang di dalamnya saya membahas tentang UN ini. Di dalamnya juga saya tuliskan peran daya imajinasi dalam pengembangan sains).
Dalam pandangan saya, memperkuat asesmen yang lebih komprehensif, seperti Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang telah berjalan saat ini, bisa menjadi pilihan. Tantangannya adalah, memastikan bahwa instrumen yang digunakan benar-benar relevan. Mencakup kriteria-kriteria yang lebih luas, tanpa mengabaikan tuntutan akademis, khususnya penguatan literasi dan numerasi. Lebih rumit memang, tapi sejak dulu saya berpendapat, tak pernah ada jalan pintas untuk mendidik manusia yang multidimensional ini–khususnya di zaman “kacau”, baik kacau moral, karakter, kesehatan mental, dan spiritual–seperti sekarang ini.
Karenanya, saya amat senang mendengar Mas Mu’ti juga menekankan pentingnya mindfulness, 7 kebiasaan hebat, dan hal-hal sejenis yang amat penting ini. (O, iya, Mas, di sekolah kami, kami mulai menguji-coba penerapan integral education, yang mengupayakan penggarapan semua aspek pendidikan secara holistik ini. Prinsip-prinsipnya pernah saya tuliskan di Majalah Tempo juga).
Setelah semua itu, saya ingin menyatakan bahwa, pada akhirnya, untuk negeri seluas dan seberagam Indonesia ini, penerapan suatu sistem tunggal untuk semua peserta didik barangkali juga tidak mungkin. Meski pasti akan menjadi lebih rumit, perlu ada multipronged strategies (strategi banyak front) yang bisa diterapkan secara luwes dan lebih customized atas berbagai kelompok sekolah, dilihat dari berbagai aspek kualitasnya.
Untuk suatu kelompok sekolah, mungkin keluwesan gerakan semacam Merdeka Belajar lebih punya kemungkinan diterapkan dan membawa hasil yang bagus. Tapi mungkin sistem yang lebih rigid, apa boleh buat, masih lebih masuk akal untuk diterapkan di kelompok sekolah yang lain. Di Cina saja, sebuah negeri yang lebih dikenal dengan pendekatan mendidik ala Tiger Moms yang ketat dan kaku beserta Gokau-nya, misalnya, kehadiran sekolah-sekolah model Waldorf/Steiner System yang lebih longgar dan luwes juga disambut baik.
Mungkin segini dulu urun rembuk saya, ya, Mas Mu’ti. Maafkan kelancangan saya. Tapi, tak ada maksud lain dari penulisan surat ini kecuali concern saya bagi perbaikan berkelanjutan sistem pendidikan nasional kita. Jika ada waktu, kapan-kapan saya lanjutkan urun rembuk saya ini, untuk membincangkan aspek-aspek penting lain dalam sistem pendidikan nasional kita, yang belum sempat saya bahas di sini. Termasuk soal zonasi, soal penerapan persyaratan kepemilikan lahan dan bangunan bagi masyarakat yang memiliki aspirasi berpartisipasi dalam pendidikan nasional dengan membuat sekolah, soal gratifikasi dalam pengawasan dan akreditasi sekolah, dan sebagainya.
Please bear with me, ya, Mas.
Ulasan Pembaca 2