Setiap negara memiliki cara uniknya untuk hidup bahagia. The Atlas of Happiness mengajak kita melihat rahasia hidup bahagia dari beragam kultur banyak negara di dunia. Sebut Jepang dengan Wabi Sabi, Italia dengan konsep Dolce Far Niente, Inggris dengan konsep Jolly, dan Islandia berkonsep Petta reddast.
Dalam buku yang ditulis Helen Russel, seorang jurnalis dan penulis buku laris The Year of Living Danishly, Leap Year, dan Gone Viking ini ada sekitar 30 negara yang filosofi hidupnya bisa dijadikan acuan dalam menjalani hidup.
Helen Russel menulis buku ini terinspirasi dari testimony menarik yang diam-diam ia dapatkan sejak mulai meneliti kebahagiaan (2013) saat menulis buku pertamanya, The Year of Living Danishly. Sejak itu, orang-orang dari berbagai negara menghampirinya untuk berbagi cerita konsep kebahagiaan unik dari negara mereka sendiri, serta membagikan pengetahuan dan pencerahan. Yang menarik, orang-orang itu menemui penulis justru ketika berada di tempat-tempat tak terduga, seperti di toilet umum, hutan dan bukit pasir.
Sebagai informasi, buku ini sebenarnya bukanlah ringkasan dari negara-negara paling bahagia di dunia. Namun membahas beberapa konsep yang membuat orang lebih bahagia di berbagai tempat. Memang diakui penulis, tidak ada negara yang sempurna. Setiap negara pastinya punya kekurangan. Tapi yang pasti dalam buku ini yang ditampilkan adalah bagian terbaik dari budaya suatu negara serta karakteristik terbaiknya.
Bhutan, Kebahagiaan Nasional Bruto
Helen Russell mendeskripsikan Bhutan dengan indah. Udaranya menusuk, langitnya luas dan diterjang pegunungan begitu tinggi hingga menghilang di balik awan. Negara Himalaya kecil itu hanya berpenduduk 750 ribu jiwa, dengan sapi-sapi yang berkeliaran di jalanan, tapi diam-diam telah mengubah dunia.
Hingga 1962, Bhutan tidak memiliki jalan, sekolah, rumah sakit, atau mata uang nasional. Tetapi Raja Ketiga, Jigme Dorji Wangchuk, yang dikenal sebagai Bapak Bhutan Modern, mulai memperbarui infrastruktur sebelum menyerahkan pemerintahan kepada putranya, Raja Jigme Singye Wangchuk yang kemudian mengemban tanggung jawab mendorong negaranya ke babak modern.
Bhutan boleh dibilang punya tradisi panjang dalam meningkatkan kebahagiaan, kesejahteraan dan pentingnya karma, setelah memeluk ajaran Buddha sekitar tahun 700 M. Di tangan Raja Wangchuk, keunggulan gaya hidup lama tidak hilang dengan gangguan teknologi modern. Negara beribukota di Thimpu ini membuka diri terhadap televisi dan internet pada akhir 1990-an dan bahkan menyambut serunya Wrestle Mania, sinetron India, dan Kit Kat yang sangat populer. Meski begitu, Bhutan tetap mempertahankan gagasan tradisional.
Kondisi alam Bhutan juga membuat penduduknya tetap rendah hati. Keberadaan pegunungan besar yang mengerdilkan manusia biasa dan mempertahankan perasaan bahwa kita sebagai manusia adalah makhluk kecil, bagian kecil dari semesta yang tidak dapat diprediksi dan penuh dengan banyak spesies. Ya, tujuan utama orang Bhutan adalah hidup berdampingan dengan alam. Mereka percaya bahwa semua hewan adalah saudara laki-laki, saudara perempuan, anak-anak atau orangtua mereka di kehidupan lain, Ada pepatah Bhutan bahwa mereka tidak mewarisi planet ini dari nenek moyang, melainkan meminjamnya dari anak-anak mereka.
Jepang, Wabi-sabi
Terdiri dari dua frasa, wabi bermakna kesederhanaan dan sabi yang berarti keindahan usia tua dan using. Merujuk pada sebuah pandangan dunia yang berpusat pada penerimaan atas kefanaan dan ketidaksempurnaan. Wabi-sabi merupakan wujud penghargaan atas segala sesuatu apa adanya, menikmati tekstur dari ketidaksempurnaan, seperti wajah asimetris, sayuran cacat, dan pot pecah.
Dalam konsep wabi-sabi, terdapat keindahan dan kedamaian ketika menyaksikan musim dari dedaunan yang berguguran hingga bunga yang berhamburan tertiup angin dan bebatuan yang berselimut lumut. Bagi orang Jepang, menyaksikan musim dapat menenangkan pikiran, mengurangi stress , dan membuat diri siap menghadapi kehidupan normal. Boleh dikatakan, bahwa ketidaksempurnaan wabi-sabi lebih dekat dengan sifat manusiawi sehingga memberikan efek ketenangan, serta pikiran dan jiwa yang rileks.
Bagaimana cara mengalami wabi-sabi?
Hargai segala sesuatu yang tua, yang hidup dan yang dicinta. Dari orang-orang yang sudah pension hingga tembikar dan perut kendur setelah melahirkan. Carilah tempat yang bisa membuat energimu kembali terisi. Bisa di hutan, taman, tepi sungai atau di mana saja yang membuatmu mengalami keajaiban alam. Memiliki tanaman hias dan punya waktu untuk mengamati perubahan warna daun dan bagaimana kelopaknya jatuh satu per satu.
Kosta Rika, Pura Vida
Pura Vida (dilafalkan sesuai tulisannya), sebuah ungkapan bermakna kehidupan murni. Ini mengacu pada sikap tetap optimistis dan bahagia meski ada keadaan negatif di sekeliling kita. Istilah ini juga mendefinisikan Kosta Rika dan penduduknya. Ungkapan ini juga bisa digunakan sebagai sapaan,( ”Hai! Apa kau punya pura vida?”), salam perpisahan (”Senang melihatmu, pura vida!”), mengungkapkan penghargaan (”itu pura vida!”), serta semboyan hidup.
Dalam buku ini disebutkan, bahwa warga Kosta Rika sangat sadar lingkungan sehingga mereka mampu menghasilkan 99 persen listrik dari sumbere terbarukan sejak tahun 2015. Kosta Rika juga rumah bagi spesies dengan kepadatan tertinggi di dunia, dengan lebih dari 500 ribu specimen unik tumbuhan dan satwa liar. Untuk hal ini pemerintah bahkan berjanji meningkatkan jumlah dan mendedikasikan seperempat negara untuk konservasi.
Orang Kosta Rika dikenal suka beraktivitas di luar ruangan, seperti berenang, berselancar dan mendaki. Pola hidup bersih dan berolahraga ini membuat penduduk Kosta Rika memiliki tingkat kesejahteraan lebih tinggi dibanding banyak negara terkaya di dunia.
Masih banyak negara lain yang dibahas dalam The Atlas of Happiness ini. Pastinya, setiap kata-kata kecil dapat berdampak besar, dan gagasan sesederhana apa pun dapat mengubah cara kita memandang dunia. Pada akhirnya, buku ini seperti memberi pilihan pada pembaca, konsep mana yang bisa diambil dan diterapkan pembaca untuk membuat hidup lebih bahagia.
Judul : The Atlas of Happiness
Penulis : Helen Russell
Tebal : xii + 295 Hlm
Penerbit : Mahaka Publishing (Imprint Republika Penerbit)
ISBN : 978-602-9474-35-0