CINTAI DIRI KITA SENDIRI: UBAH TITIK NADIR MENJADI TITIK BANGKIT
“Penyembuhan adalah masalah waktu. Tetapi terkadang juga, merupakan masalah kesempatan.” (Hippocrates, “Bapak Kedokteran” Yunani Kuno, 460 SM – 370 SM)
Sang-Man pemuda sebatang kara yang nasibnya nyungsep, menyedihkan. Dari pada hidup sengsara dan kesepian, Sang-Man —diperankan aktor Korea Selatan Cha Tae Hyun— mencoba bunuh diri (bundir) empat kali, dan selalu gagal. Mungkinkah ada kehidupan yang sangat tidak diinginkan seseorang seperti Sang-Man —yang mencoba berbagai cara untuk mati: mulai dari terjun ke sungai dari jembatan hingga minum berpuluh-puluh butir obat? Di dunia nyata, ada sangat banyak manusia mengalami depresi.
Ada berjuta alasan berbeda untuk depresi, tapi hanya satu rasa yang seragam bagi pengidapnya: “Depresi bukan hanya sedikit menyedihkan. Melainkan: tidak merasakan apa-apa, dan tidak ingin hidup lagi,” kata penulis buku J.K Rowling. Ia punya sejumlah alasan untuk depresi dan nyaris bundir. Masa kecilnya bersama ayah yang menakutkan, dan ibu pengidap multiple sclerosis yang wafat saat Rowling berusia 15. Perkawinannya yang singkat di Portugal memaksa ia membawa bayi kecilnya ke Inggris dalam keadaan rudin, alias miskin. Tapi di tengah depresinya, ia justru menghasilkan karya hebat dan laku di seluruh dunia: Harry Potter.
Mengapa ada orang-orang yang melakukan bundir? Seperih itukah hidup, atau seringkih itukah mental mereka menghadapi problema? Tapi bukankah hidup tanpa problema, tak bisa disebut hidup?
Artikel ini saya tulis saat nyawa THP —pemuda usia 27 tahun di Bekasi Barat— baru melayang di tali gantungan, lantaran judi online. Beberapa hari kemudian, saya menonton berita tentang perusahaan legendaris di Jawa Tengah yang akhirnya terpaksa harus mem-PHK ribuan karyawannya. Haruskah asa terpuruk dalam buramnya masa depan? Adanya jiwa yang terkoyak, berkolaborasi dengan kusutnya logika, dapat menghasilkan depresi tingkat dewa, bagi orang-orang yang tak kuat ditimpa mala. Para pelaku bundir itu, apakah mereka tengah berada di titik nadir —dari istilah dalam topografi, yang menggambarkan titik terendah dari cekungan kering atau depresi; bisa juga titik terdalam dari badan air atau es—sehingga tak mampu berpikir jernih?
Jika melihat data dan fakta, para penderita depresi kerap memilih bundir sebagai penuntas derita. Apesnya, data 2024 menunjukkan bahwa 2% remaja usia 15-24 tahun di Indonesia, berencana ingin bundir. Apakah lonjakan jumlah penderita depresi sepanjang 2020-2024, disebabkan pandemi Covid-19 semata? Nyatanya, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 —tentunya sebelum pandemi Covid 19— menyatakan bahwa 6,2% penduduk berusia 15-24 tahun mengalami depresi. Penyebab depresi pada anak itu justru terpicu oleh lingkungan keluarga. Bisa berupa struktur keluarga yang njomplang, pola asuh yang kurang asih, hingga konflik keluarga yang berujung keretakan.
Melihat banyaknya anak muda —termasuk gen Z yang sering membicarakan mental health sehingga membutuhkan “healing ke Bali”—, ah…setipis itukah mental anak-anak muda kita? Lalu bagaimana dengan kita, dan Anda? Jangan-jangan, saat ini Anda sedang berada dalam “zona” titik nadir kehidupan? Banyak orang terjerembab pada kondisi mental yang ringkih akibat “luka psikologis”, sehingga mengalami depresi. Salah satunya Kamal Ravikant. Ia seorang pengusaha yang digulung kebangkrutan.
Pada 2011, Ravikant mendapati dirinya terpuruk tak berdaya, bahkan nyaris remuk berkeping. Perusahaan yang ia bina selama lebih dari sepuluh tahun, tiba-tiba pailit. Ia mengawali depresinya dengan pikiran gelap, hati pilu, muak menghadapi hidup. Seiring waktu, depresi membawanya terlentang tak berdaya di ranjang rumah sakit.
Namun Ravikant tak mau hidupnya berakhir di ranjang kematian. Hingga suatu hari di tepi keputusasaannya, ia merayap turun dari tempat tidur, dan memulai transformasi dirinya. Caranya: ia bersumpah, dan menyanyikan “Hari ini, aku bersumpah pada diriku sendiri untuk mencintai diriku sendiri, memperlakukan diriku sendiri sebagai seseorang yang aku cintai dengan tulus dan sepenuh hati – dalam pikiranku, tindakanku, pilihan yang aku buat, pengalaman yang aku miliki, setiap saat aku sadar, aku membuat keputusan SAYA MENCINTAI DIRIKU SENDIRI.”
“Butuh waktu sebulan untuk beralih dari kesengsaraan ke keajaiban,” kata Kamal Ravikant. Ia bagikan upaya kebangkitannya dengan cara “mencintai dirinya sendiri” kepada pembaca buku best seller kelas dunia, berjudul Love Yourself Like Your Life Depends on It. Kini, buku itu diterbitkan oleh Penerbit Renebook.

Ravikant membagikan praktik mencintai diri sendiri yang ia lakukan, yakni membaginya dalam tiga komponen pelengkap, yaitu: mental loop (lingkaran mental), meditasi, dan satu pertanyaan.
Mengenai kinerja mental loop, Kamal melandasinya pada dua alasan utama. Pertama, Kamal mencoba segalanya sambil tetap terbuka terhadap kemungkinan mencintai dirinya sendiri. Artinya, dia tidak akan kehilangan apa pun, bila kita mencintai diri kita sendiri. Kedua, kita sebagai manusia sering kali keliru mengira bahwa kita sedang berpikir, dan sebagian besar waktu – kita hanya mengingat. Padahal, otak manusia adalah mesin pengenalan pola. Dengan menjalankan pola tertentu dengan putaran yang sudah dikenal otak, maka diri kita tak hanya sekedar hidup, karena otak juga mampu memprogram segala jenis emosi. Maka lingkaran mental yang terfokus, adalah solusinya.
Mengenai meditasi, Kamal punya metode sendiri yang berlangsung selama tujuh menit dan diiringi musik. Sembari diiringi musik, ia membayangkan bintang, galaksi, dan pantai, karena hal itu menumbuhkan perasaan yang baik, disertai tarikan dan hembusan napas, sambil berfokus pada mencintai dirinya sendiri. Lengkapnya, ada tujuh metode dalam meditasi a la Kamal, yang dapat Anda baca di bukunya tersebut.
Sedangkan mengenai metode “satu pertanyaan”, sungguh sederhana: “Jika aku mencintai diriku sendiri dengan tulus dan mendalam, akankah aku membiarkan diriku mengalami hal ini?” Pertanyaan tersebut bekerja dengan baik, karena jawabannya selalu tidak. Jika Anda benar-benar mencintai diri sendiri, Anda tidak akan membiarkan diri Anda mengalami emosi negatif dengan cara yang sangat merusak. Sebab Anda peduli pada diri sendiri, dan mencintai diri Anda sendiri.
Buku ini sangat bagus dan bermanfaat dalam menemani Anda yang sedang terpuruk, patah hati, atau bahkan bagi saudara, anak, dan keponakan Anda yang sedang menuju titik nadir kehidupan. Satu pertanyaan dari saya, “Beranikah Anda mengaku sudah mencintai diri Anda, jika belum membaca buku Kamal Ravikant ini?” (Mardom)
