“Sawabiq al-himam la tahriqu aswara al-aqdar”. Sekuat apapun tekat manusia, tak akan mampu menembus benteng takdirnya. Hal ini menegaskan posisi manusia sebagai hamba yang lemah, tak mampu mendefinisikan diri dan tak kuasa menentukan arah hidupnya. Ia hanya kapal layar di tengah samudra yang bergantung pada kebaikan hati ombak dan angin.
Menurut teologi sufi, apapun yang terjadi atas seseorang pada dasarnya hanya realisasi ketentuan yang sudah digariskan. Sebuah hadis dari Imam Muslim dan Abu Dawud menyebutkan: “Allah telah mencatat seluruh takdir makhluk lima puluh ribu tahun sebelum Ia menciptakan langit dan bumi”. Hikmah yang termaktub dalam poin ketiga kitab al-Hikam ini menekankan pentingnya tawakal kepada Allah.
Namun dalam hidup di dunia, manusia tetap harus berusaha maksimal dan bersungguh-sungguh, sebagai bukti bahwa ia secara rendah hati menerima perannya sebagai hamba dan menjalankan peran itu dengan maksimal dan menjiwai. Adapun hasil, itu urusan Allah sendiri. Usaha atau ikhtiar, meskipun gagal, akan mendapat nilai tersendiri di hadapan-Nya.
Kitab al-Hikam karya Ibnu Athaillah As-Sakandari adalah referensi utama ilmu tasawuf yang paling populer di seluruh dunia. Menurut Imam Ahmad bin Muhammad Ajibah al-Husaini, Al-Hikam adalah karya terbesar dalam ilmu tasawuf yang abadi sepanjang masa. Di Indonesia kitab ini masih tak tergantikan sebagai silabus utama ilmu tasawuf bagi santri pesantren tinggi. Kitab ini sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, di antaranya oleh penerbit Turos Pustaka, Jakarta.
Di dalam kitab ini teologi sufi yang boleh dibilang representasi tarekat syadziliyah tercurah dalam 266 hikmah yang dibalut dalam untaian kalimat indah. Narasinya selalu dimulai dengan kata-kata mutiara yang aforistis. Kata-kata yang dirumuskan Ibnu Athaillah As-Sakandari cenderung indah dan mudah dimengerti secara harafiah, namun sangat sulit dipahami maknanya.
Setelah baris-baris aforismis itu, barulah dijelaskan maksud setiap “kebijaksanaan” secara panjang lebar. Sesuai dengan namanya, hikam adalah bentuk jamak hikmah yang berarti kebijaksanaan. Oleh penerbit Turos Pustaka, setiap poin kebijaksanaan ini dicantumkan kalimat aslinya, dalam bahasa Arab, dan disertai terjemahan Inggrisnya. Hikmah-hikmah itu benar-benar mencerminkan kewaskitaan Ibnu Athaillah As-Sakandari sebagai seorang sufi besar aliran syadziliyah yang bermazhab Maliki.
Semua sufi meyakini bahwa dunia dan seisinya adalah tipu daya yang dapat menjauhkan manusia dari Tuhannya. Tetapi Ibnu Athaillah As-Sakandari tidak memerintahkan seorang pembelajar sufi atau salik meninggalkannya. Ia hanya diminta menempatkan materiil di genggaman tangan, bukan di dalam hati.
Posisinya sebagai ilmuwan syariat yang sudah mapan di Alexandria ketika itu memberinya landasan kuat tentang sikap realistis terhadap harta benda dan segala derivasinya. Sebagai ahli fikih ia sangat realistik pada awalnya, sampai kemudian bertemu dengan Abu al-Abbas al-Mursi. Persinggungan dengan gurunya itu memberinya pemahaman yang lebih fundamental pada ilmu syariat yang telah dikuasainya.
Ibnu Athaillah As-Sakandari lahir di Iskandaria (Alexandria), Mesir, tahun 1250 M dan meninggal di Kairo pada 1309 M. Sampai sekarang ia dikenal sebagai salah satu ideologi tarekat syadziliyah, karena ia paling banyak mewariskan karya tulis, tak kurang dari 20 kitab. Tetapi sebenarnya ia generasi ketiga, setelah sang pendiri Syekh Abu Hasan asy-Syadzili dan Abu al-Abbas al-Mursi.
Prinsip-prinsip tasawuf Ibnu Athaillah sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran kedua gurunya itu. Di antara konsepnya adalah tidak menganjurkan muridnya meninggalkan profesi dunia mereka. Menurutnya, meninggalkan dunia secara ekstrim dapat melunturkan rasa syukur. Sebaliknya, berlebih-lebihan dalam hal dunia akan membawa kepada kezaliman.
Dalam ratusan hikmah di kitab ini, sebenarnya terdapat dua bagian besar, yaitu tentang sikap hamba kepada Tuhan dan sikap hamba terhadap ketentuan Tuhan. Dari sini segera dapat dibaca, bahwa tasawuf ala Hikam ini mengajak pengikutnya beragama Islam berlandaskan keikhlasan, rasa syukur, dan positive thinking. Para salik diajarkan beriman secara utuh, dengan sepenuhnya percaya dan cinta kepada Allah, dalam takdir baik maupun buruk.
Bila syariat menuntun manusia beriman dengan rambu-rambu, tasawuf lebih pada pemahaman fundamental dan memunculkan rasa. Tasawuf adalah bersyariat dengan pemahaman inti dan menggali jati diri lebih dalam. Dengan begitu seorang salik dapat melepaskan sifat basyariahnya menuju sifat ilahiah.
Ibnu Athaillah punya pengalaman spiritual yang menarik saat pertama kali mengecap dunia tasawuf. Ketika menjadi guru besar fikih di Madrasah Mansyuriyah Iskandaria, ia seperti ditarik benang ilahiah ke dalam kamar kesufian melalui Abu al-Abbas al-Mursi. Keluarga Ibnu Athaillah pada awalnya anti tasawuf. Dalam kitab Lathaif al-Minan yang ditulisnya sendiri, Ibnu Athaillah mengatakan, “Aku termasuk orang yang menentang Abu al-Abbas al-Mursi. Hal itu karena polemik yang terjadi antara aku dengan beberapa orang murid Abu al-Abbas”.
“Tetapi suatu hari aku berkata pada diri sendiri: Mungkin ada baiknya aku pergi langsung mendengarkan perkataan orang ini. Bila ia orang yang baik tentu akan tampak tanda-tandanya”. Setibanya di majelis Abu al-Abbas al-Mursi, Ibnu Athaillah As-Sakandari mendengar Abu al-Abbas al-Mursi bicara tentang nafs (jiwa) dan dzauq (rasa). Entak mengapa hal-hal itu tak mau hilang dari pikirannya. Abu al-Abbas mengatakan lagi, yang pertama dalam agama adalah syariat, lalu hakikat, lalu tahaqquq.
Akhirnya Ibnu Athaillah tahu bahwa Abu la-Abbas la-Mursi adalah orang saleh yang istimewa. Dan setelah itu hilanglah semua prasangka yang ada sebelumnya. “Malam itu aku pulang ke rumah. Aneh, aku tak merasa ada hasrat untuk berkumpul dengan keluarga seperti kebiasaanku sebelumnya. Hatiku merasa disentuh sesuatu yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Keesokan harinya aku kembali lagi ke majelis orang itu”.
“Ketika aku tiba di majelisnya, ia berdiri menyambutku penuh gembira. Aku pun merasa malu. Aku tidak pantas dihormati seperti itu. Kata pertama yang terucap dari mulutku padanya adalah: Tuan, demi Allah aku mencintaimu. Ia pun membalas: Dan aku pun mencintaimu”. Kemudian di waktu-waktu setelahnya kedua sudah menjadi guru dan murid yang padu.
Judul: Al-Hikam: Kitab Tasawuf Sepanjang Masa
Judul Asli: Al-Hikam
Penulis: Ibnu Athaillah As-Sakandari
Penerbit: Turos Pustaka
Genre: Spiritual Islam
Tebal: 505 halaman
Edisi: Hard Cover Cet 6, Januari 2022
ISBN: 978-602-1583-02-9