Manusia Berencana, Allah yang Menentukan
KETAHUILAH, rahasia di balik adanya pengaturan Allah dan pilihan bagi manusia adalah karena Allah ingin menampakkan sifat al-Qahhar (Sang Maha Memaksa) atas makhluk-Nya. Dengan begitu, Allah swt. ingin mengenalkan diri kepada hamba-hamba-Nya dengan sifat al-Qahhar ini. Allah menciptakan pengaturan dan pilihan dalam diri mereka, lalu membentangkan berlapis-lapis tabir penghalang pada makhluk-Nya, sampai mereka bisa terlepas dari tabir demi tabir dan menemukan pengaturan Allah dalam diri mereka sendiri.
Jika semua hamba berada dalam posisi berhadap-hadapan dan sudah disediakan ketentuan tanpa opsi lain, tidak mungkin mereka bisa membuat pengaturan dan rencana. Seperti halnya bara malaikat yang tidak bisa memilih.
Ketika semua hamba membuat pengaturan dan pilihan untuk diri mereka sendiri, Allah swt. mengarahkan dominasi pengaturan-Nya ke arah pengaturan dan pilihan yang mereka buat. Hasilnya, pilar-pilar dari pengaturan mereka runtuh dan bangunan rencana mereka hancur berantakan.
Pada saat Allah swt. telah mengenalkan diri-Nya sebagai Dzat yang mendominasi dan berkehendak mutlak, mereka mengetahui bahwa Dialah al-Qahhar, Sang Maha Mendominasi lagi Memaksa kepada para hamba-Nya.
Tidaklah Allah swt. menciptakan kehendak pada dirimu dengan maksud agar engkau mempunyai kehendak sendiri. Akan tetapi, Dia menciptakan itu supaya kehendak-Nya meruntuhkan kehendakmu sehingga engkau menjadi tahu bahwa dirimu sebenarnya tidak memiliki kehendak sama sekali.
Begitu pun Allah swt. tidak menciptakan pengaturan pada dirimu agar engkau dapat menguasai dan mengendalikan sendiri. Allah swt. menciptakan itu agar Dia yang mengatur dan dirimu yang diatur. Apa yang Dia atur menjadi apa yang tidak engkau atur.
Sama halnya dengan jawaban seorang ulama yang ditanya tentang alasan dia bisa sampai makrifat, jawabannya “Dengan melucuti semua keinginan diri sendiri.”
Pengaturan Rezeki
KAMI sebelumnya telah berjanji akan membahas pengaturan dalam urusan rezeki pada bab tersendiri. Dengan alasan, sebagian besar pengaturan (tadbir) masuk ke dalam hati lewat jalur rezeki.
Ketahuilah bahwa keselamatan hati dari pengaturan urusan rezeki merupakan anugerah yang sangat besar. Tidaklah menerima karunia agung ini kecuali orang-orang yang sudah yakin, yang betul-betul menggantungkan kepercayaannya pada Allah. Hati mereka tenang, mereka benar-benar bersandar dan menyerahkan diri pada-Nya.
Salah seorang guru kami bahkan sampai berkata, “Kuasai urusan rezeki kalian sehingga kalian tidak perlu menyibukkan diri untuk menggapai yang lain!”
Guru kami juga pernah mengatakan, “Kekhawatiran terbesar adalah cemas terhadap urusan memenuhi kebutuhan.”
Perkataan guru-guru kami di atas dapat dipahami bahwa Allah swt. menciptakan manusia sebagai makhluk yang membutuhkan penopang (rezeki) untuk menjaga kondisi tubuhnya mempertahankan kekuatannya. Ketika terjadi regenerasi lel tubuh, makanan yang diolah dalam lambung akan diambil nutrisinya kemudian disalurkan kembali ke anggota tubuh sebagai ganti sel-sel tubuh yang telah mati.
Jika menghendaki, tentu Allah swt. mampu membuat manusia hidup tanpa membutuhkan penopang ragawi dan tanpa mengonsumsi makanan. Akan tetapi, Dia ingin menunjukkan bahwa hewan (termasuk manusia) tetap membutuhkan makanan, sementara Dia tidak membutuhkan hal-hal pokok yang dibutuhkan mereka.
Itulah alasan Allah berfirman,
“Katakanlah (Muhammad), ‘Apakah aku akan menjadikan pelindung selain Allah yang menjadikan langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan?’” (QS. al-An’am [6]: 14)
Allah swt. memuji Dzat-Nya dengan dua sifat. Pertama, Dia memberi makan dan tidaklah Dia diberi makan karena setiap hamba menerima (sebagian) dari kebaikan-Nya dan memakan dari rezeki dan anugerah-Nya.
Kedua, Allah swt. tidak diberi makan karena Dia terbebas dari keadaan yang membutuhkan makanan (qiyamuhu bi nafsihi). Sebaliknya, Dia adalah tempat bersandar sehingga yang menjadi tempat bersandar tentu tidak diberi makan.
Allah swt. mengistimewakan hewan termasuk manusia sebagai makhluk yang membutuhkan makanan. Adapaun makhluk-Nya yang lain, Allah swt. memberi mereka salah satu dari sifatnya, yaitu terbebas dari kebutuhan jika Allah membiarkan manusia terbebas dari rasa butuh, tentu mereka akan mendakwa dirinya sebagai tempat bergantung dan tidak butuh pada yang lain bahkan jadi tempat bersandar.
HIKMAH Di BALIK ADANYA KEBUTUHAN MANUSIA
Pertama
Tujuan Allah swt. untuk menjadikan manusia memiliki rasa butuh pada makanan, minuman, pakaian, dan lainnya adalah agar manusia merasa terus menerus dalam kondisi membutuhkan. Dengan begitu alasan untuk menganggap diri sebagai tempat bersandar dan tidak butuh pada yang lain akan lenyap. Selain itu, agar manusia dan makhluk bernyawa lainnya mengenal Allah swt. melalui rasa butuh itu. Bukankah Allah swt. firman Allah swt.,
“Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu), Maha Terpuji.” (QS. Fathir [35]: 15)
Rasa butuh (fakir) pada-Nya sebagai jalan yang bisa mengantarkan hamba kepada-Nya dan ada dalam naungan-Nya. Barangkali dari sini kau paham hadis Nabi Muhammad saw.,
“Siapa yang mengenali dirinya, niscaya mengenal Tuhannya.”
Barang siapa mengetahui keadaan dirinya, menyadari rasa butuh kepada Allah, mengakui kelemahannya, niscaya ia akan mengenali Allah swt. melalui keperkasaan, kekuasaan, kedermawanan, kebaikan-Nya, dan sifat-sifat lain yang sempurna. Allah swt. mengulang-ulang faktor yang menyebabkan manusia memiliki rasa butuh dan Allah swt. senantiasa mengingatkan kelemahan manusia dalam mencukupi kebutuhannya. Oleh karena itu, manusia perlu memperbaiki kehidupan duniawinya dan mempersiapkan kehidupan akhiratnya.
Perhatikan dengan seksama firman Allah swt.,
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. al-Balad [90]: 4)
Maksudnya, manusia sudah ditakdirkan kesulitan dalam urusan dunia dan akhiratnya. Dengan kedudukan manusia yang mulia, Allah swt. berulang kali menyebutkan alasan manusia butuh pangan, sandang, dan papan. Berbeda dengan beberapa jenis hewan lain. Apakah engkau melihat jenis hewan yang butub pakaian, mereka cukup dengan bulu, wol dan rambutnya; atau jenis hewan yang butuh tempat tinggal, mereka cukup dengan cangkang dan sarang?
Kedua
Allah swt. ingin menguji manusia dengan cara membuat mereka butuh pada beragam hal. Allah swt. hendak melihat apakah mereka akan mencari penyelesaiannya dengan menggunakan akal dan aturannya sendiri ataukah mengembalikan urusannya pada takdir-Nya?
Ketiga
Allah ingin dicintai oleh hamba-Nya. Ketika hamba-Nya dilanda kefakiran dan kekurangan, kemudian Allah swt. mengangkat keadaannya yang terdesak, maka hamba itu akan merasa bahagia dan hatinya pun tenang. Dengan begitu, rasa cintanya kepada Allah semakin meningkat.
Rasulullah saw. bersabda,
“Cintailah Allah karena nikmat-nikmat yang Dia berikan kepadamu.”
Saat nikmat yang diberikan oleh Allah bertambah, maka semakin bertambah pula cinta kepada-Nya.
Keempat
Allah swt. ingin hamba-Nya bersyukur. Oleh karena itu, Allah swt. mendatangkan kefakiran pada hamba-hamba-Nya kemudian berkuasa menghilangkannya agar mereka bersyukur kepada-Nya dan mengetahui kebaikan-Nya. Allah swt. berfirman,
“Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya.” (QS. Saba* [34]: 15)
Kelima
Allah swt. ingin membukakan pintu munajat bagi para hambaNya. Apabila mereka dihimpit kebutuhan bahan pangan dan kebutuhan lainnya, mereka akan menghadapkan diri kepada Allah agar kegelisahan mereka hilang. Dengan begitu, mereka mendapatkan kemuliaan dengan bermunajat kepada-Nya dan mendapatkan karunia-Nya (berupa dipenuhinya kebutuhan mereka). Jika bukan kebutuhan mendesak yang mendorong hamba untuk bermunajat, pikiran orang yang biasa pasti akan sulit memahaminya. Jika bukan alasan himpitan kebutuhan, niscaya pintu munajat hanya terbuka bagi hamba yang telah mencapai maqam pecinta (ahl al-widad). Oleh karena itu, kefakiran dan kekurangan menjadi sebab bagi hamba untuk bermunajat. Munajat merupakan kehormatan besar dan menempat kedudukan mulia di sisi Allah.
Tidakkah Allah swt. telah menerangkan kisah Nabi Musa as. dalam firman-Nya,
“Maka dia (Musa) memberi minum (ternak) kedua perempuan itu, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan (makanan) yang Engkau turunkan kepadaku.’” (QS. al-Qashash [28]: 24)
Ali bin Abi Thalib ra. berkata, “Demi Allah, Nabi Musa as. tidak meminta apa pun kecuali sedikit roti untuk dimakan. Memang hijaunya tumbuhan bisa terlihat melalui perutnya karena tubuhnya yang kurus.”
Oleh karena itu, lihatlah bagaimana Nabi Musa as. meminta itu dari Tuhannya karena dia sadar bahwa tidak ada yang memiliki apa pun selain-Nya. Begitulah yang seyogyanya dilakukan oleh seorang mukmin, yaitu meminta kepada Allah swt. baik dari perkara kecil maupun besar. Ada salah seorang sufi berujar, “Dalam shalatku, aku akan meminta kepada Allah, bahkan untuk garam dalam adonanku.”
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kebutuhanmu yang sepele, menghalangimu dari meminta apa yang engkau butuhkan kepada Allah. Jika engkau tidak meminta hal-hal kecil kepada Allah, tidak ada yang pantas memberimu selain-Nya. Sekecil apa pun permintaanmu, bisa menjadi pintu masuk yang indah untuk bermunajat kepada Allah.
Syekh Abu Hasan asy-Syadzili menuturkan, “Dalam berdoa, jangan sampai engkau berkeinginan agar kebutuhanmu terpenuhi karena hal itu akan menjadi penghalang menuju Tuhan. Tetapi, fokuskanlah keinginanmu untuk bermunajat kepada Tuhan.”
Ayat tentang Nabi Musa as. di atas mengandung beberapa pelajaran, di antaranya:
Pertama, agar seorang mukmin meminta kepada Allah, baik untuk hal-hal yang menurutnya sederhana maupun hal besar.
Kedua, Nabi Musa as. memohon kepada Allah dengan menggunakan nama “Rabb” yang memiliki arti Tuhan yang memelihara, pengatur, pemberi nikmat. Penisbatan dengan Rububiyyah Allah swt. sesuai dengan konteksnya, sebab “Rabb” adalah Tuhan yang memeliharamu dengan kebaikan-Nya dan memberimu rezeki dengan karunia-Nya. Permohonan seorang hamba dengan menggunakan nama “Rabb” termasuk salah satu cara seorang hamba meminta belas kasih dari Tuhannya karena dia berdoa dengan nama “Rabb” yang tiada putus memberi nikmat dan tiada henti memberi manfaat.
Ketiga, redaksi doa Nabi Musa as. menggunakan kalimat “ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan (makanan) yang Engkau turunkan kepadaku.” Nabi Musa as. tidak menggunakan redaksi kalimat, “aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan (makanan).” Jika hanya menggunakan redaksi tersebut, tidak terkandung arti di dalamnya bahwa Allah swt, telah memberi rezeki dan mengabaikan kebutuhannya.
Nabi Musa as. berdoa dengan menggunakan redaksi, “Sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan (makanan) yang Engkau turunkan kepadaku,” untuk menunjukkan bahwa dia yakin kepada Allah dan tahu bahwa Tuhannya tidak melupakannya. Seolah-olah beliau berdoa, “Ya Tuhanku, aku tahu Engkau tidak abai terhadap permasalahanku atau urusan seluruh makhluk yang telah Engkau ciptakan. Aku pun tahu Engkau telah menurunkan rezeki kepadaku, maka arahkanlah kepadaku apa yang telah Engkau turunkan untukku dengan cara yang Engkau kehendaki, dan atas apa yang Engkau kehendaki, disertai kebaikan dan karunia-Mu.”
Dalam munajat Nabi Musa as. terdapat dua kebaikan. Kebaikan memohon (meminta) dan kebaikan mengakui bahwa Allah swt. menurunkan rezeki tapi merahasiakan waktu, cara dan perantara turunnya. Disebabkan ketidaktahuan itu, seorang hamba merasa terhimpit dan merasa sulit, doanya akan terkabulkan. Perhatikan firman Allah swt.,
“Bukankah Dia (Allah) yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila dia berdoa kepadaNya.” (QS. an-Naml [27]: 62)
Jika disebabkan waktu dan perantara datangnya rezeki telah diketahui, tentu mereka tidak akan menemui kesulitan dan kepayahan. Mahasuci Allah Tuhan Mahabijaksana, Makakuasa, Maha Mengetahui.
Keempat, ayat di atas menunjukkan bahwa meminta kepada Allah swt. tidak berlawanan dengan maqam ubudiyah (pengpambaan). Nabi Musa as. adalah hamba yang telah mencapai maqam sempurna dan tidak segan untuk meminta kepada Allah. Hal tersebut menunjukkan bahwa status hamba tidak menghalanginya untuk meminta kepada Tuhannya.
Jika maqam penghambaan tidak berlawanan dengan meminta kepada Allah, lantas mengapa Nabi Ibrahim as. tidak memohon bantuan ketika dirinya hendak dilempar dari manjanik (pelontar batu) ke arah kobaran api? Saat Jibril menawarkan bantuan, Nabi brahim menjawabnya dengan, “Adapun meminta bantuan kepadamu (Jibril), aku tidak butuh itu. Aku berharap dan meminta pada Allah swt. semata.”
Jibril menimpali, “Maka, mintalah bantuan pada Allah!” Nabi Ibrahim berkata, “Allah sudah mengetahui keadaanku dan itu sudah cukup bagiku, sehingga aku tidak butuh meminta kepada-Nya.”
Lantas, mengapa Nabi Ibrahim as. menganggap cukup kondisinya diketahui oleh-Nya dan tidak mengajukan permintaan bantuan kepada-Nya? Ketahuliah! Para Nabi menyikapi setiap situasi berdasarkan pemahaman dari Allah swt. bahwa yang dilakukannya sesuai dengan konteksnya. Nabi Ibrahim as. memahami apa yang dikehendaki Allah swt. dalam situasi tersebut. Oleh karena itu, beliau tidak mengajukan permintaan dan merasa cukup dengan pengetahuan Tuhan tentang dirinya. Inilah yang dipahami Nabi Ibrahim as. dari Tuhannya. Allah swt. hendak memperlihatkan rahasia-Nya kepada penduduk langit ketika DIa menyampaikan kepada mereka,
“Aku hendak menjadikan khalifah di bumi. Mereka berkata, ‘Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?’ Dia berfirman, ‘Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’” (QS. al-Baqarah [2]: 30)
Allah swt. ingin mengungkap rahasia firman-Nya, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui [..]” pada hari ketika Ibrahim as. didorong dari pelontar batu. Seolah-olah Allah swt. bertanya kepada malaikat, “Wahai kalian yang berkata, ‘Apakah Engkau menjadikan orang yang merusak di bumi,’ bagaimana kalian memandang Ibrahim as. kekasih-Ku’ Kalian hanya melihat kerusakan di bumi yang dibuat oleh para perusak seperti Namrud dan makhluk lain yang melampaui batas. Tidakkah kalian melihat kebaikan dan kebenaran seperti yang dilakukan Ibrahim as. dan para pecinta yang mengikutinya’”
Lain halnya dengan Nabi Musa as. yang mengetahui bahwa saat itu Allah swt. ingin memperlihatkan rasa butuh dan ke fakiran seorang hamba. Maka, Musa as. menyikapinya sesuai dengan konteks saat itu. Simaklah firman Allah,
“Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya.” (QS. al-Bagarah [2]: 148)
Masing-masing Nabi telah melakukan sesuai dengan arahan, etunjuk dan bimbingan dari Allah swt.
Kelima, coba perhatikan munajat Nabi Musa as. kepada Tuhannya ketika meminta rezeki. Nabi Musa as. tidak mengarahkan doanya pada permintaan secara langsung, tapi dia berdoa disertai dengan pengakuan akan kefakiran dan rasa butuhnya di hadapan Allah swt. Dia juga bersaksi atas kemahakayaan-Nya. Pasalnya, ketika ia menetapkan sifat pada dirinya dengan kefakiran dan rasa butuh, ia mengenali Tuhannya sebagai yang Mahakaya dan tidak membutuhkan pada yang lain. Siapa yang mengenali dirinya, maka ia mengenali Tuhannya.
Kondisi ini merupakan salah satu dari hamparan munajat yang beragam jumlahnya. Terkadang Allah menempatkanmu pada rasa butuh agar engkau berdoa kepada-Nya dengan memanggil, “Ya Ghani, Wahai Dzat yang Mahakaya”. Lain waktu, Allah swt. membuatmu berada dalam hamparan kehinaan supaya kau bermunajat kepada-Nya dengan menyebut “Ya ‘Aziz, Wahai Dzat Yang Maha Mulia.” Pada kesempatan lain, Allah swt. menempatkanmu pada hamparan kelemahan suapaya kau memanggil-Nya dalam doa, “Ya Qawi, Wahai Dzat Yang Maha Kuat”,
Pengakuan Nabi Musa as. bahwa ia membutuhkan Allah swt. merupakan gambaran dari bentuk permintaannya kepada Allah swt., walaupun tidak menyebutkan permintaannya secara eksplisit. Terkadang sebuah permintaan dideskripsikan dengan menyebutkan sifat seorang hamba yang sedang dalam keadaan butuh. Kadang kala sebuah permintaan dideskripsikan dengan menyebutkan sifat Allah yang Maha Esa. Sebagaimana tercantum dalam hadis,
“Sebaik-baik doaku dan doa nabi-nabi sebelumku dj Arafah adalah Tiada Tuhan selain Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya.’”
Rasul menjadikan pujian kepada Allah sebagai doa. Pasalnya memuji Tuhan yang Mahakaya dengan menyebutkan Sifat-sifat-Nya dimaknai sebagai penjabaran atas keutamaan-Nya. Perhatikan syair berikut ini,
Kebaikan Tuhan Mahamulia kepada makhluk-Nya tidak berubah pagi dan petang
Jika seseorang memujimu pada suatu hari, pujian itu cukup memperlihatkan tujuannya
Simak juga firman Allah swt. Yang mengisahkan tentang Nabi Yunus as.,
“Maka dia berdoa dalam keadaan yang sangat gelap, tidak ada tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim.’” (QS. al-Anbiyâ’ [21]: 87)
Lalu Allah memberitahukan tentang diri-Nya dalam ayat lanjutannya,
“Maka Kami kabulkan (doa)nya dan Kami selamatkan dia dari kedukaan. Dan demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. al-Anbiyâ’ [21]: 88)
Nabi Yunus as. tidak meminta kepada Allah swt. secara terang-terangan, melainkan ekspresi pujian dan pengakuannya di hadapan-Nya menunjukkan rasa butuh kepada-Nya. Oleh karena itu, Allah menganggap pujian dan pengakuan itu sebagai bentuk permintaan.
Keenam, dalam tafsir ayat tersebut Nabi Musa as. berbuat baik kepada dua putri Nabi Syu’aib as., tapi ia tidak menginginkan upah atau meminta balasan dari mereka berdua. Lantas, ketika Musa as. memberi minum ternak keduanya, ia menghadapkan diri dan meminta sesuatu kepada Tuhannya, bukan pada mereka berdua. Sesungguhnya Musa as. meminta kebaikan kepada Tuhan yang kapan pun diminta, Dia pasti akan memberi. Seorang sufi ialah orang yang dirinya merasa cukup dan tidak menuntut haknya dipenuhi. Sebagaimana tergambar dalam syair berikut,
Jangn sibukkan dirimu dengan mencela makhluk, waktumu akan sia-sia di masa yang singkat ini
Atas dasar apa engkau mencela, meski engkau benar, sungguh segala sesuatu berjalan sesuai dengan ketentuann-Nya
Mereka tidak memenuhi kewajiban kepada Tuhan, lantas apa engkau yang hina ingin memenuhinya?
Lihat hak mereka padamu, dan lakukanlah kewajibanmu! Mereka menuntut darimu, dan engkau sabar
Jika engkau telah lakukan, maka dirimu dalam penglihatan Tuhan Yang Mengawasi lagi mengetahui segala yang samar dan tersembunyi
Nabi M usa as. telah memenuhi kewajibannya, tapi tidak menuntut haknya. Oleh karena itu, ia mendapatkan balasan paling sempurna di sisi Allah swt. dengan mempercepat pemberian haknya di dunia sebagai bonus dari hak yang disimpan di akhirat, yaitu menikah dengan salah satu putri Nabi Syuaib as, dan menjadi menantunya. Allah swt. memberinya ketentraman hidup sampai tiba waktu pengangkatannya sebagai utusan Allah untuk Bani Israil. Jadikanlah hubungan muamalahmu hanya dengan-Nya, maka kau akan beruntung. Allah swt. akan memuliakan dirimu sebagaimana Dia memuliakan hamba-hamba-Nya yang bertakwa.
Ketujuh, perhatikan firman Allah swt. “Maka dia (Musa) memberi minum (ternak) kedua perempuan itu, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh.” Ayat tersebut menunjukkan bahwa seorang mukmin boleh berlindung di tempat yang teduh di daerah pinggiran kota, mendinginkan air yang panas, dan memilih yang lebih mudah di antara dua hal yang sulit dan berat. Hal itu tidaklah mengeluarkannya dari magam zuhud. Bukankah Allah telah mengabarkan bahwa Nabi Musa as. kembali ke tempat yang teduh?
Jika engkau mengatakan ada cerita tentang seseorang yang kedatangan tamu dan menemukan bejana tempat air minumnya terkena sinar matahari. Lalu ketika ditanya, dia menjawab, “Saat aku menaruhnya, bejana itu belum terkena sinar matahari, aku Malu jika aku mengikuti keinginanku.”
Ketahuilah, kisah di atas merupakan gambaran dari keadaan (sementara) seorang hamba yang mencari kebenaran dirinya dan mencegahnya dari menuruti keinginannya agar tidak menyibukkan diri dari Tuhannya. Jika level tingkatannya sempurna, tentu akan memindahkan air tersebut dari sinar matahari dengan tujuan memenuhi hak dirinya yang diperintahkan Allah swt., bukan karrena ingin mendapatkan bagiannya, tetapi sebagai bentuk pemenuhan hak-hak-Nya terhadap dirinya.