Akulah yang Memutuskan
Salah satu hal paling mengesankan dari pengasuhan ala Prancis—dan mungkin yang paling berat untuk dikuasai adalah otoritas. Banyak orang tua Prancis yang saya temui mempunyai otoritas yang mudah dan tenang terhadap anak-anak mereka, yang hanya membuat saya iri. Anak-anak benar-benar mendengarkan mereka. Anak-anak Prancis tidak terus-menerus berlarian ke sana-kemari, membantah, atau melakukan negosiasi Panjang. Namun, bagaimana tepatnya orang tua Prancis melakukan ini semua? Dan, bagaimana agar saya juga bisa mendapatkan otoritas ajaib ini?
Pada suatu Minggu pagi, tetangga saya, Frederique, menyaksikan Saya berusaha menghadapi Leo ketika kami membawa anak-anak ke taman. Frederique adalah agen perjalanan yang berasal dari Burgundy. Usianya pertengahan empat puluhan, suaranya serak, dan perilakunya tidak dibuat-buat. Setelah mengurus dokumen selama bertahun-tahun, dia mengadopsi Tina, gadis cantik berambut merah berusia tiga tahun, dari panti asuhan di Rusia. Ketika kami berjalan-jalan keluar waktu itu, dia baru menjadi ibu selama tiga bulan.
Akan tetapi, Frederique telah mengajari saya tentang education. Semata menjadi orang Prancis membuatnya mempunyai visi yang sama sekali berbeda mengenai apa yang possible dan pas possible, Hal ini menjadi jelas ketika kami berada di kotak pasir. Saya dan Frederique duduk di tepinya, mencoba untuk berbincang. Namun, Leo terus berlari keluar pagar yang mengelilingi kotak pasir. Setiap kali dia melakukan ini, saya bangkit untuk mengejar, memarahi, kemudian menyeretnya kembali sementara dia berteriak. Ini mengganggu dan melelahkan.
Pada awalnya, Frederique memperhatikan ritual kecil ini tanpa berkomentar. Kemudian, tanpa nada merendahkan sedikit pun, dia mengatakan bahwa jika saya terus berlari mengejar Leo sepanjang waktu, kami tidak akan bisa menikmati kesenangan kecil untuk duduk dan mengobrol selama beberapa menit.
“Itu benar,” kata saya. “Tapi, apa yang bisa kulakukan?”
Frederique mengatakan saya seharusnya lebih tegas kepada Leo sehingga dia tahu bahwa dia tidak boleh meninggalkan kotak pasir. “Kalau tidak, kamu akan berlari mengejarnya sepanjang waktu, ini tidak akan berhasil,” katanya. Dalam benak saya, menghabiskan sepanjang sore untuk mengejar Leo adalah sesuatu yang tidak terhindarkan. Dalam benak Frederique, ini pas possible.
Saya merasa strategi Frederique sepertinya tidak terlalu menjanjikan untuk saya. Saya menegaskan kepadanya bahwa saya sudah memarahi Leo selama dua puluh menit terakhir. Frederique tersenyum. Dia bilang saya perlu mengatakan “tidak” dengan lebih cegas, dan harus benar-benar percaya pada kata itu.
Kali lain Leo berusaha berlari keluar dari gerbang, saya mengatakan “tidak” dengan suara lebih keras daripada biasanya. Dia tetap pergi. Saya mengikuti dan menyeretnya kembali.
“Lihat, kan?” kata saya kepada Frederique. “Ini tidak mungkin.’
Frederique kembali tersenyum dan memberi tahu bahwa saya perlu mengatakan “tidak” dengan lebih meyakinkan. Yang kurang dari usaha saya, katanya, adalah kepercayaan bahwa Leo akan benar-benar mendengarkan. Dia memberi saran kepada saya untuk tidak berteriak, tetapi berbicara dengan lebih meyakinkan.
Saya khawatir akan membuat Leo takut.
‘Jangan khawatir,’ kata Frederique, mendesak saya.
Kali berikutnya, Leo juga tidak mendengarkan. Namun, secara bertahap saya merasakan kata “tidak” yang saya ucapkan berasal dari tempat yang lebih meyakinkan. Saya tidak mengatakannya dengan lebih keras, tetapi lebih percaya diri. Saya merasa seolah-olah saya sedang menirukan orang tua lain.
Pada percobaan keempat, ketika saya akhirnya mempunyai keyakinan penuh, Leo mendekati gerbang, tetapi—ajaibnya—tidak Membukanya. Dia menoleh ke belakang dan menatap saya dengan cemas. Saya memelotot dan berusaha menunjukkan ekspresi tidak Setuju.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Leo sama sekali tidak mencoba untuk pergi lagi. Dia sepertinya sudah melupakan pagar itu dan hanya bermain di kotak pasir dengan Tina, Joey, dan Bean. Saya dan Frederique segera berbincang kembali sambil berselonjor.
Saya terkejut melihat Leo tiba-tiba memandang saya sebagai sosok yang memegang otoritas.
“Betul, kan?” kata Frederique tanpa bermaksud menyombong, “Itu karena nada suaramu.”
Dia menunjukkan bahwa Leo tidak terlihat trauma. Untuk sesaat dan kemungkinan kali pertama-dia benar benar terlihat seperti anak Prancis. Selagi ketiga anak saya tiba tiba menjadi sage, saya bisa merasa pundak saya melemas sedikit. Sebelumnya, saya belum pernah mendapatkan pengalaman seperti ini saat berada di taman. Mungkinkah seperti ini rasanya menjadi tbu Prancis?
Saya merasa rileks, tetapi juga bodoh. Jika ternyata mengapa saya tidak melakukannya sejak bertahun tahun yang lalu? Mengatakan “tidak” bukanlah teknik pengasuhan yang canggih. Yang baru adalah Frederique melatih saya untuk menanggalkan ambivalensi saya dan meyakini otoritas saya sendiri. Yang dia katakan kepada saya bersumber dari pengasuhannya sendiri dan kepercayaan yang dalam. Ini mulai terdengar seperti sesuatu yang masuk akal.
Frederique juga sama yakinnya bahwa hal yang paling menyenangkan bagi kami sebagai orang tua—bisa mengobrol dengan santai di taman sementara anak-anak bermain—juga merupakam hal terbaik untuk anak-anak. Ini sepertinya benar. Leo menjadi lebih tidak stres daripada setengah jam sebelumnya. Alih-alih terus mengulang adegan melarikan diri kemudian dikurung kembali, dia bermain dengan gembira bersama anak-anak lain.
Saya siap untuk membotolkan teknik baru saya—kata “tidak” yang penuh keyakinan—dan menjualnya di bagian belakang mobil. Namun, Frederique memperingatkan saya bahwa tidak ada ramuan ajaib untuk membuat anak-anak menghormati otoritas orang tua. Usaha ini selalu dalam proses. “Tidak ada aturan baku,” katanya. “Kamu harus terus mengubah yang kamu lakukan.”
Sayang sekali. Jadi, apa lagi yang menjelaskan mengapa orang tua Prancis seperti Frederique mempunyai banyak sekali otoritas terhadap anak-anak mereka? Bagaimana sebenarnya orang tua Prancis mendapatkan otoritas ini, hari demi hari, makan malam demi makan malam? Dan, bagaimana saya bisa mendapatkan lebih banyak otoritas?
Kolega Prancis saya mengatakan bahwa jika saya tertarik pada otoritas, saya harus berbicara kepada sepupunya, Dominique. Dia mengatakan bahwa Dominique, seorang penyanyi Prancis yang membesarkan ketiga anaknya di New York, adalah ahli tidak resmi mengenai perbedaan antara orang tua Prancis dan Amerika.
Dominique yang berusia 43 tahun terlihat seperti tokoh utama dalam film nouvelle vague. Dia berambut gelap, sosok yang lembut, dengan tatapan intens layaknya kijang. Jika saya lebih langsing, lebih rupawan, dan bisa menyanyi, saya akan mengatakan bahwa saya dan dia hidup dalam imaji-cermin kehidupan: Dia orang Paris yang membesarkan anak-anak di New York. Saya dulunya orang New York yang membesarkan anak-anak di Paris. Tinggal di Prancis telah membuat saya lebih tenang dan tidak terlalu neurotik. Terlepas dari kerupawanan Dominique, dia telah mengadopsi analisis-diri berkat tinggal di Manhattan. Dia berbicara bahasa Inggris beraksen Prancis dengan antusias, bertabur kata-kata “like” dan “oh my God.”
Dominique datang ke New York sebagai mahasiswa berusia 22 tahun. Dia berencana untuk belajar bahasa Inggris selama enam bulan, kemudian pulang. Namun, New York segera saja terasa seperti rumah. “Saya merasa sangat myaman dan terstimulasi serta mempunyai energi yang luar biasa besar, sesuatu yang sudah lama sekali tidak saya rasakan di Paris,” katanya. Dia menikah dengan seorang musisi Amerika.
Sejak kali pertama hamil, Dominique juga terpesona pada Pengasuhan ala Amerika. “Ada banyak komunitas yang, sedikit banyak, jarang Anda temui di Prancis …. Jika Anda suka yoga dan Anda hamil, boom! Anda bisa bergabung dengan grup perempuan hamil yang melakukan yoga ”
Dia juga mulai memperhatikan cara anak-anak diperlakukan di Amerika Serikat. Pada jamuan besar Thanksgiving dengan keluarga suaminya, Dominique tercengang ketika seorang gadis berusia tiga tahun tiba dan seketika itu juga dua puluh orang dewasa yang ada di sana berhenti mengobrol, kemudian memusatkan perhatian kepada si anak.
“Saya berpikir, oh, budaya ini luar biasa. Seolah-olah anak ini Dewa, Sungguh menakjubkan. Saya seperti … tidak heran orang Amerika Sangat percaya diri dan bahagia sekali, sementara orang Prancis sangat depresi. Lihat saja—lihat perhatiannya.”
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, Dominique mulai melihat tipe perhatian ini dengan cara berbeda. Dia mendapati bahwa gadis berusia tiga tahun yang menghentikan perbincangan saat acara Thanksgiving itu mengembangkan perasaan bahwa dirinya berhak mendapatkan segalanya.
“Saya merasa … ‘cukup sudah, anak ini benar-benar membuatku jengkel.” Dia datang dan berpikir bahwa karena dia ada di sini, semua orang harus menghentikan kehidupannya dan memberinya perhatian.”
Dominique, yang anak-anaknya sendiri berusia sebelas, delapan, dan dua tahun, mengatakan bahwa keraguannya mulai muncul ketika dia mencuri dengar murid di prasekolah anak-anaknya yang merespons instruksi guru dengan ucapan, “Kamu bukan bosku.” (“Anda tidak akan pernah melihat perilaku seperti itu di Prancis, tidak pernah,” katanya.) Ketika dia dan suaminya diundang untuk makan malam di rumah teman Amerika-nya yang memiliki anak kecil, sering kali justru dialah yang akhirnya menjadi tukang masak karena tuan rumahnya sibuk berusaha menidurkan anak-anak mereka.
“Bukannya dengan tegas mengatakan, ‘Sudah cukup, aku tidak akan memberimu lebih banyak perhatian, ini waktunya tidur. Dan, ini adalah waktu untuk orang tua, sekarang waktuku sebagai orang dewasa untuk berkumpul dengan teman-temanku. Seharian tadi sudah menjadi waktumu, sekarang ini waktu kami. Dan, pergilah tidur. Titik.” —well, mereka tidak melakukannya. Saya tidak tahu mengapa mereka tidak melakukannya, tetapi mereka tidak melakukannya. Mereka tidak bisa melakukannya. Mereka terus saja melayani anak-anak. Dan, saya melihatnya dan hanya bisa terheran-heran.”
Dominique masih mengagumi New York dan tetap lebih menyukai sekolah Amerika daripada sekolah Prancis. Namun, dalam hal pengasuhan, dia semakin condong kembali menerapkan kebiasaan Prancis yang memiliki berbagai aturan dan batasan yang jelas.
“Cara Prancis kadang terlalu keras. Menurut saya, mereka seharusnya bisa bersikap lebih lemah lembut dan ramah kepada anak-anak,” katanya. “Namun, menurut saya cara Amerika membawa pengasuhan ke sisi yang ekstrem dengan membesarkan anak-anak seolah mereka menguasai dunia.”
Saya merasa sulit mendebat orang yang bisa saja menjadi kembaran saya itu. Saya bisa membayangkan pesta makan malam yang dia gambarkan. Orang tua Amerika—termasuk saya—sering kali terlalu ambivalen dalam memegang kendali. Secara teori, kami percaya anak-anak membutuhkan batasan. Ini kebenaran yang tidak bisa disangkal dalam pengasuhan ala Amerika. Namun, dalam praktiknya, kami sering tidak yakin di mana batasan ini seharusnya diterapkan atau kami merasa tidak nyaman mengatur mereka.
“Ketika marah, saya justru lebih merasa bersalah daripada merasa marah,” adalah bagaimana teman kolega Simon menjustifikasi perilaku buruk putrinya yang berusia tiga tahun. Teman perempuan saya mengatakan putranya yang berusia tiga tahun menggigitnya. Namun, dia “merasa tidak enak hati” untuk berteriak kepadanya karena dia tahu itu akan membuat anaknya menangis. Jadi, dia membiarkannya,
Orang tua Anglophone khawatir akan mematahkan semangat kreatif anak-anak mereka jika mereka menjadi orang tua yang terlalu ketat. Ibu Amerika yang sedang berkunjung terkejut ketika meliha pagar bermain anak (playpen) di apartemen kami di Paris. Ternyata di Amerika, pagar bermain anak pun sekarang dianggap terlalu membatasi. (Kami tidak tahu: di Paris, pagar bermain anak dianggap de rigueur—pantas saja.)
Seorang ibu dari Long Island memberi tahu saya tentang keponakannya yang berperilaku buruk, yang orang tuanya menurut pandangannya—sangat permisif. Namun, dia mengatakan keponakannya itu telah tumbuh menjadi kepala bagian onkologi di pusat kesehatan besar di Amerika, membuktikan bahwa dia dulunya anak yang sangat sulit ditangani. “Saya rasa anak-anak yang sangat cerdas dan tidak terlalu didisiplinkan susah ditangani ketika mereka masih kecil. Namun, saya rasa mereka tidak lagi terlalu terkekang secara kreatif seiring semakin dewasanya mereka,” katanya.
Sangat sulit untuk mengetahui di mana letak batasan yang benar. Dengan memaksa Leo tetap berada di dalam pagar bermain atau di kotak pasir, apakah saya menghalanginya untuk menyembuhkan kanker pada suatu hari nanti? Kapan ekspresi bebasnya berakhir dan perilaku buruk yang tidak ada gunanya dimulai? Kapan saya membiarkan anak saya berhenti dan mengamati setiap tutup got yang kami lewati di trotoar, apakah mereka mengikuti kesenangan mereka atau berubah menjadi anak bandel?
Banyak orang tua Anglophone yang saya kenal mendapati dirinya berada dalam zona canggung, di mana mereka berusaha untuk menjadi diktator sekaligus pemberi inspirasi bagi anak-anak mereka. Hasilnya mereka terjebak dalam negosiasi yang tidak ada habisnya. Saya kali pertama mengalaminya ketika Bean berusia sekitar tiga tahun. Aturan rumah kami yang baru menetapkan bahwa dia diperbolehkan menonton televisi selama 45 menit per hari. Suatu hari, dia memohon agar diperbolehkan menonton lebih lama.
‘Tidak. Kamu sudah menggunakan jatah waktu menonton TV-mu hari ini,” kata saya.
‘Tapi, aku sama sekali tidak menonton TV ketika masih bayi” katanya
Seperti kami, orang tua Anglophone yang saya kenal mempunyai tidaknya beberapa batasan. Namun, dengan adanya berbagai filosofi pengasuhan begitu banyak, ada orang tua lain yang menentang otoritas sama sekali. Saya bertemu salah seorang dari mereka dalam kunjungan ke Amerika Serikat.
Liz adalah desainer grafis yang berusia pertengahan tiga puluh dan memiliki putri berusia lima tahun bernama Ruby. Dia dengan mudah menyebutkan pengaruh pengasuhan utamanya: dokter anak William Sears, penulis Alfie Kohn, dan behavioris B.F. Skinner.
Ketika Ruby bertingkah, Liz dan suaminya berusaha untuk meyakinkan gadis itu bahwa perilakunya salah secara moral. “Kami ingin menghilangkan perilaku yang tidak bisa diterima tanpa merujuk pada permainan kuasa,” Liz memberi tahu saya. “Saya berusaha untuk tidak mengeksploitasi fakta bahwa saya lebih besar dan lebih kuat daripada dia dengan mengungkung dia secara fisik. Dengan cara yang sama, saya berusaha untuk tidak merujuk pada fakta bahwa saya yang mempunyai semua uang dengan mengatakan, ‘Kamu bisa mendapatkan ini atau tidak.”
Saya tersentuh oleh usaha keras yang dilakukan Liz dalam membangun pendekatannya terhadap pengasuhan. Dia tidak semata-mata mengadopsi aturan orang lain; dia mencerna dengan cermat gagasan beberapa pemikir dan menghasilkan kombinasi yang penuh pertimbangan. Cara pengasuhan baru yang dia ciptakan adalah, katanya, sepenuhnya berlawanan dengan cara dia sendiri dibesarkan.
Akan tetapi, ada harga yang harus dibayar. Liz mengatakan bahwa gaya eklektiknya ini, juga keinginannya untuk tidak dihakimi karenanya, telah mengisolasinya dari banyak tetangga dan teman sebaya, bahkan dari orang tuanya sendiri. Dia mengatakan orang tuanya bingung dan terus terang tidak bisa menerima caranya membesarkan Ruby dan bahwa dia tidak bisa lagi mendikusikannya dengan mereka. Kunjungan ke rumah menjadi tegang, terutama ketika Ruby bertingkah.
Meski demikian, Liz dan suaminya tetap bertekad untuk tidak memamerkan otoritas mereka. Baru-baru ini Ruby memukul mereka berdua. Setiap kali Ruby memukul, mereka duduk dan mendiskusikan mengapa memukul itu salah. Alasan yang maksudnya baik ini tidak membantu. “Dia masih memukul kami,” kata Liz.
Buku ini telah dinukil oleh Jakarta Book Review