Pada suatu ketika Rasulullah Muhammad saw. bersabda pada sebuah khutbah, “Sungguh mengherankan, ada suatu kaum enggan memberi pemahaman kepada kaum lainnya, tidak mengajari suatu ilmu, tidak menganjurkan berbuat baik dan tidak mencegah perbuatan munkar,”.
“Begitu pula ada satu kaum yang seharusnya belajar kepada kaum lainnya, berupaya mencari pemahaman, dan meminta nasihat, tetapi tidak melakukannya. Jika mereka enggan melaksanakan anjuran itu, sama saja mereka mengharapkanku menyegerakan hukuman baginya”.
Isi khutbah ini tidak hanya menyindir, tetapi mengultimatum dua kelompok. Salah satunya kaum pandai yang pelit berbagi ilmu, dan yang lainnya adalah kaum bodoh yang tidak mau belajar. Para sahabat pun mafhum. Yang dimaksud Rasulullah adalah kaum Asy’ariyyin, kelompok cendekia yang hidup berdampingan dengan kaum terbelakang di sekitarnya.
Sindiran Rasulullah ini pada akhirnya sampai ke telinga kaum Asy’ariyyin. Lalu para tokohnya menghadap Nabi. “Ya Rasulallah, mengapa engkau menyebut kami sebagai kaum yang tidak baik?”. Rasulullah menjawab, “Hendaknya suatu kaum memberikan pemahaman kepada kaum tetangganya, mengajarkan kebaikan dan saling mencegah kemungkaran,”.
“Ya Rasul, apakah kami harus mencerdaskan orang lain?”. Rasulullah menjawab dengan mengulang jawaban sebelumnya. Ketika kaum Asy’ariyyin mengulang kembali pertanyaan, Rasulullah mengulang kembali jawaban itu. Kaum Asy’ariyyin menjadi mafhum, dan meminta waktu satu tahun untuk melakukan hal tersebut. Rasulullah pun menyetujuinya.
Ilmu dan kebaikan itu mudah menyebar seperti wabah, karena lingkup sosial itu saling berkait. Bila antar elemen saling mentransmisikan ilmu, maka kebaikan dengan cepat akan meluas, seperti wabah penyakit yang terbang terbawa angin.
Begitulah cara Rasulullah menyebarkan ajarannya. Bila ada kaum yang tidak bertindak sebagai katalisator, maka sama saja ia menjadi penghambat dakwah. Agama Islam menempatkan kemalasan dan kelesuan sebagai kejahatan sosial. Maka kalau ada kaum pintar dan kaum bodoh hidup berdekatan tetapi tidak terjadi interaksi keilmuan, keduanya layak dihukum.
Muhammad Sang Guru
Rasulullah sendiri, dalam sebuah hadis riwayat Ibnu Majah mendeklarasikan diri sebagai guru. “Innamaa bu’istu mualliman”. Sesungguhnya aku diutus sebagai guru. Maka dalam sejarah hidupnya, Rasulullah memiliki banyak teladan dalam metode pendidikan. Beliau memiliki kepakaran tingkat tinggi dalam hal menyebarkan ilmu dan mentransmisikannya ke seluruh dunia dengan teknik partisipatif antar elemen umat Islam.
Segala macam metode didaktika yang diterapkan Rasulullah dikumpulkan oleh Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam kitab “Arrasul al-Muallim” yang versi bahasa Indonesianya dirilis oleh penerbit Turos Pustaka dengan judul “Muhammad Sang Guru”.
Bila dikaji secara mendalam, ternyata Rasul menyelenggarakan pendidikan kepada para sahabatnya dengan cara sitematik dan terkonsep. Aspek-aspek kognitif dan afektif selalu menjadi bagian dari pendidikan beliau. Dalam penyampaian materi misalnya, Rasulullah sering melakukan repetisi sebanyak tiga kali, agar para sahabat dapat menangkapnya dengan baik.
Pada hal-hal yang sulit Rasulullah menggunakan analogi. Seorang wanita dari bani Juhainah pernah datang kepada Nabi dan bertanya tentang ibunya yang meninggal, padahal belum melaksanakan nazar berhaji. “Apakah aku bisa menggantikan nazarnya?” tanya wanita itu. Rasul menjawab, “Bisa. Berhajilah untuknya. Bukankah jika ibumu punya utang, engkau yang membayarnya?”.
Aspek psikologis sahabat juga tak luput dari perhatian beliau. Pada suatu ketika datang beberapa orang Arab pedalaman ke rumah Nabi, dan mereka terlihat minder dengan wibawa Rasulullah di depan para sahabat. Rasul berkata, “Tenanglah, jangan takut. Aku ini anak seorang perempuan asli Mekah yang memakan daging kering”. Kalimat “anak seorang perempuan” menyiratkan kerendahan hati yang sangat bagi bangsa Arab, dengan tujuan menaikkan motivasi lawan bicaranya. Kata-kata “mamakan qadid” atau daging kering, adalah cara halus Nabi menyamakan keluarganya dengan adat kebiasaan kaum faqir di Arab, karena qadid biasanya adalah makanan sisa.
Sebaliknya, bagi mereka yang terkesan kurang sopan, Rasulullah tak pernah marah. Ketika seorang Arab Baduy mencegat Rasulullah untuk bertanya, Baduy itu mengeraskan suaranya dan memegang tali kekang unta Nabi. Beliau dengan santun menjawab, disusul perkataan lembut, “Sekarang lepaskanlah tali kekang unta ini,”.
Banyak hal menarik dijelaskan dalam buku ini tentang bagaimana Rasulullah menempatkan sahabat dalam suasana psikologis yang ideal, lalu mengajarnya dengan teknik tinggi. Selain memiliki kecerdasan level fahmannabiyyin, Rasulullah memiliki daya dukung fisik, tutur kata, dan gesture yang sempurna. Rasul piawai mengatur intonasi secara tepat, ritmik, dan responsif. Dalam interaksi belajar mengajar, Rasul sering mengapresiasi, bergurau, bertanya balik, dan banyak lagi. Berbagai sarana pendukung pun tak jarang digunakan. Misalnya membuat persamaan, contoh, dan terkadang menggambar di tanah.
Rasulullah selalu menjawab tepat sasaran sesuai pertanyaan, tidak melebar, tidak bias, dan tak pernah berlarut-larut dalam kebuntuan. Semuanya simpel dan mudah. Ketika masih di Mekah, para kafir Quraish sering menguji kesabaran. Beliau selalu sabar terhadap mereka, tetapi enggan berkompromi.
Buku ini merekam kejadian-kejadian penting ketika Rasulullah melakukan tranformasi keilmuan kepada para sahabat dengan pengamatan spesifik tentang metode mengajar. Teknik yang ada di dalamnya sangat luar biasa, memberikan preseden nyata yang tidak boleh tidak ditiru. Mungkin hadis-hadis di dalamnya pernah Anda baca, tetapi saya yakin, Anda belum melakukannya dalam perspektif seperti ini.
Hadis-hadis bertema pendidikan ini asalnya berserakan di dalam enam kitab hadis induk. Hadis itu berhasil dikumpulkan dan dielaborasi dengan sangat baik oleh Abdul Fattah. Dalam keranjang besar hadis, seperti di kitab Kutub al-Sittah, hadis-hadis itu pastinya hanya dikaji secara fiqhiyyah, tak mungkin digali hingga aspek psikoedukasi.
Rasul Tidak Hanya Ceramah
Apa yang dikumpulkan oleh Syekh Abdul Fattah ini merupakan bukti otentik bahwa Rasul tidak hanya menyampaikan materi secara monolog dan monoton, tetapi melalui proses internalisasi yang taktis dan terstruktur. Abdul Fattah adalah tokoh pendidikan asal Suriah yang lahir di Aleppo, 9 Mei 1917, meninggal di Arab Saudi 16 Februari 1997. Nama lengkapnya Abdul Fattah bin Muhammad bin Bashir bin Hasan Abu Ghuddah. Nasabnya tersambung dengan sahabat ternama, Khalid bin Walid.
Ia mengambil berbagai disiplin ilmu mulai dari Syariah, psikologi, dan prinsip pendidikan di Unversitas Al Azhar Kairo, pada 1944 hingga 1948. Ia bertemu langsung dengan ilmuwan terkenal, seperti Syaikh Muhammad Al-Khidr Husain, Syaikh Abdul Majid Daraz, Syaikh Abdul Halim Mahmud, Syaikh Mahmud Shaltut.
Setelah menyelesaikan studinya di Mesir, Syaikh Abu Ghuddah kembali ke Suriah pada tahun 1951 dan menjadi guru terkemuka dalam bidang Pendidikan Islam di Aleppo. Beberapa tahun berikutnya ia dipindahkan ke College of Syariah di Universitas Damaskus, mengajar Usul Al-Fiqh, Hanafi Fiqh dan Fikih Perbandingan.
Ia pernah melakukan lawatan mengajar ke berbagai negara Islam, mulai negara-negara Arab, Turki, India, Pakistan, Indonesia, Malaysia hingga Brunei. Di sela kesibukannya mengajar, ia menulis buku teks, termasuk Muhammad Sang Guru, yang resensinya sedang anda baca ini.
Judul: Muhammad Sang Guru
Judul Asli: Muhammad al-Muallim
Penulis: Abdul Fattah Abu Ghuddah
Penerbit: Turos Pustaka
Genre: Pendidikan
Edisi: Cet 1, Juli 2022
Tebal: 370 halaman
ISBN: 9786237327691
Ulasan Pembaca 1