Oktober, 2019. Hari sudah menuju petang. Saya menghampiri Bang Faisal Basri di sebuah hotel di Jalan Rasuna Said, Jakarta. Bang Faisal baru saja selesai menjadi narasumber dalam sebuah peluncuran laporan transparansi kerja korporasi. Sebelumnya kami memang telah berjanji untuk bertemu dengan niat untuk menggali pandangan Bang Faisal soal sebuah topik yang sedang saya dan kawan-kawan teliti.
Menyadari tempat kami berjumpa tidak begitu nyaman untuk berinteraksi lama, Bang Faisal lalu mengajak saya berpindah tempat, mencari kafe yang tidak jauh dari lokasi hotel tersebut. Jadilah kami berjalan kaki bersama menuju Plaza Festival dan mencari lokasi yang nyaman untuk berdiskusi.
Mulailah kami mengobrol, mulai dari soal pembangunan ekonomi, industrialisasi, kelas menengah, buruh, hingga demokrasi.
EG: Demokrasi ini, kan, sudah 20 tahun sejak Reformasi. Sebenarnya dari gambaran awal, menurut Bang Faisal, adakah perubahan besar dari zaman Orde Baru ke Reformasi?
FB: Kalau kita lihat dulu ya. Korea, kan, ada dua. Apa, sih, bedanya? Culture sama, geografi sama, tapi hasil beda. Dari gambaran Korea Utara dan Selatan, culture tidak relevan. Yang relevan apa? Institusi sebetulnya. Saya mungkin terpengaruh dari Why Nations Fail-nya Daron dan Robinson. Bukunya yang baru, The Narrow Corridor. Bukunya duet sejati.
Orde Baru sama Reformasi bedanya apa, sih? Kan di Orde Baru, dispersion of political power-nya rendah. Jadi, concentrated. Sekarang, dispersion of political powern-ya tinggi sekali. Partai pemenang pemilu tidak mayoritas, cuma dapatnya kalau saya lihat sangat kecil. Padahal dulu Golkar 70%. Industrialisasi di Orde Baru lebih kencang daripada sekarang, mirip dengan Korea. Ini balik ke teori developmental state. Development is very strong dan mengalokasikan sumber daya. Lebih konsisten dan long term.
Korea Selatan waktu pisah basisnya agriculture, yang industrinya berbasis di Utara. Bisa dibilang Korea Selatan mulai dari nol sewaktu pisah. Ada rezim kuat, namanya Park Chung-hee. Terlepas dia otoriter, namun ini yang saya ambil dari bawah Acemoglu ini. Dia bicara beratnya liberty. Minggu lalu saya ke Hamburg, saya pesan bukunya ke anak saya di Inggris, tapi saya bilang siapa tau nanti dijalan Ayah dapat. Ternyata pas transit di Amsterdam saya dapat.
Nah, ini bedanya Indonesia dan Korea. Power of the state and society relatif imbang. Nah, di Indonesia itu lemah. Di masa lalu, Orde Baru bedanya di situ. Tidak ada perlawanan dari society seperti buruh yang menimbulkan pola yang relatif seimbang. Buruh lebih cepat naik, atau pembentukkan kelas menengahnya lebih cepat. Di Indonesia, kelas menengahnya bukan yang timbul dari kalangan buruh, tapi white collar sector, yang kerjanya di bank, kerja di asuransi pake dasi, mereka yang sudah senang di comfort zone. CEO-CEO yang gajinya besar. Sama dulu, orang-orang terbaik di kampus larinya ke perusahaan-perusahaan Cendana, karena mereka yang menghasilkan rente besar. Rezim Park dengan struktur yang lebih seimbang mampu untuk membawa sumber daya Korea yang terbatas itu, melalui industrialisasi. Fase ini menghasilkan jumlah buruh yang besar, dan inilah yang kemudian lahir menjadi kelas menengah.
Nah, di Indonesia karena buruhnya lemah, maka industri yang muncul adalah industri padat karya yang mengeksploitasi buruh. Serikat buruh cuma ada satu. Kalau ada macem-macem, kena di FDI. FDI cuma mau bayar negara dengan harga buruh rendah. Makanya serikat pekerja ditekan. Tapi orde baru agak adil, karena buruh upahnya kecil, tapi harga bahan pokok dijamin murah sama pemerintah.
Industri padat karya menyerap banyak tenaga kerja, tapi low skill, low kesadaran politik, tidak menghasilkan kelas menengah yang kuat. Kalau dulu kami, pegawai negeri, kan wajib masuk Golkar. Nah, Korea punya tetangga namanya Jepang, dan mereka hanya bisa survive kalau bisa setara dengan Jepang. Maka, industri-industri yang dibangun di sana adalah industri high-tech dan high value added. Kalau mereka, kan, tidak rely on FDI. Jadi, membangun dengan kemampuan sendiri yang lebih confident dan tidak mau kalah dengan Jepang karena pernah dijajah di indonesia
EG: Kalau dalam konteks Indonesia, itu tidak ada?
FB: Ya kita, kan, otomotif dari Jepang. Kalau mereka merek sendiri. Umumnya adalah mengeksploitasi buruh murah, menghasilkan garment. Memperbaiki industri ke hulu atau ke dasarnya. Kita tidak pernah punya petrochemical complex. Korea punya petrokimia, bahan baku yang dipakai oleh hampir semua industri. Dia tidak menghasilkan cotton, kalo cotton dia impor, tapi dia menghasilkan polyester. Sehingga, saya ingat, tahun 80-an awal, sudah bisa menghasilkan tekstil namanya jorjet yang setara dengan silk. Jadi, untuk dasi mereka pakai dari silk artificial jorjet. Jorjet dulu adalah kualitas yang paling tinggi sehingga bisa dipakai untuk dasi. Nah, kalau kita jadi tukang jahit.
EG: Jadi, bisa dibilang gerakan buruh bener-bener tidak ada dong selama Orde Baru?
FB: Itu Marsinah dibunuh.
EG: Dalam FGD kami ada yang menarik. Waktu di klaster kita tentang buruh, ada pertanyaan apakah demokratisasi itu menciptakan gerakan buruh, atau sebaliknya, gerakan buruh menciptakan demokratisasi itu sendiri. Dari perspektif ini, artinya gerakan buruh adalah anaknya demokrasi yang diciptakan di Indonesia?
FB: Banyak rezim di dunia negara berkembang ini dihasilkan dari gerakan buruh kan? Polandia, Lithuania, Korea, yang menghasilkan partai yang paling tidak kiri tengah. Jerman, gerakan buruh itu. Buruh, kan, basisnya industri. Kalau anda lihat, nih, saya buka-buka ya, based on data gitu (buka data) hmm… mudah-mudahan ada ya datanya. Industri. Jadi, kan, kuncinya adalah berapa proporsi industri dalam GDP.
EG: Oke.
FB: Anda bisa lihat, misalnya Malaysia (sambil menyodorkan layar laptop). Malaysia tuh total ekspor industrinya 76%, Indonesia hanya 34% aja, industri high-tech-nya. Ini, kan, jadi higher skill. Ada medium dan high-tech. High-tech-nya juga seperti itu. Sebenarnya yang ingin saya tunjukkan ini, zaman Orde Baru, dia growth industrinya dua kali dari GDP. Tapi itu tadi, put loose. Nah, sekarang kita sudah tidak bisa lagi, karena Bangladesh, segala macam. Nah, sekarang Anda bisa lihat lagi, industri sekarang di bawah GDP lagi jadi turun. Yang menghasilkan kelas menengah ngehe kalau gitu.
Nah, kira-kira di sini (kembali ke layar laptop). Share industrinya terhadap GDP itu mencapai titik tertinggi baru turun. Ini berapa, di atas 35 atau 40. Nah, kalau Indonesia baru segini udah turun, baru 29 sudah turun. Artinya, kalau share industri terhadap PDB turun, share kerjanya di industri juga akan turun. Tidak bisa labor intensive karena garment-nya sudah pindah, sepatunya sudah mulai pindah. Sehingga lapisan buruh itu tipis sekali.
EG: Menarik, ya.
FB: Tidak ada pekerja perbankan demo minta UMP. Yang minta UMP kan buruh. Pekerja supermarket, department store, kan gak pernah demo. Cause they don’t have labor union. Yang gaji 1,5 juta juga ada, tapi harus bersolek menor, menjaga stand. Gajinya kecil itu, pulang malam naik angkot, tidak ada jemputan. Jadi, hak-hak normatif buruh itu terbatas. Kayak-kayak gini nih, tidak ada UMR.
EG: Mereka tidak pernah demo karena kesadaran berserikat yang tidak ada atau…?
FB: Karena mereka buruh kontrak, bukan permanen. Nah, kalo di sektor formal, di industri, ya ada kontrak. Tapi kan umumnya yang mengerjakan langsung wajib permanen. Tapi ini sudah ada aturan untuk mereka. Mereka wajib untuk menegakkan UMP.
EG: Tapi, kan, orang bisa bilang itu situasinya sudah naik kelas sebenarnya. Tidak ada pilihan juga kalau kita tetap di labor-intensive. Kalau seperti itu bagaimana, Bang, argumennya?
FB: Oke, memang industri kita tidak catch up. Tadi kan saya tunjukkan bahwa most industry di Indonesia itu mostly low tech dan tech-nya rendah. Makanya share export high tech dan medium tech rendah. Itu kan menunjukkan. Karena apa? Karena satu, market kita besar, Korea kecil. Nah oke, kita produksi macem-macem, tapi kan yang lain gak boleh masuk. Karena proteksinya tinggi. Nah, ini dinikmati oleh otomotif, elektronik, gitu-gitu kan. Proteksi tinggi dilihat dari impornya.
EG: Jadi, karena marketnya juga besar, tidak ada insentif untuk mensupport industri dengan high-tech itu?
FB: Karena tidak perlu kompetitif keluar. Kalau dalam strategi industrialisasi, itu inward looking, kalau Korea outward looking. Kan macan Asia semua outward looking. Malaysia, Korea, Hongkong, itu semua outward looking. Nah, kalau outward looking, kan, benchmark-nya pasar dunia, kalau inward benchmark-nya pasar domestik
EG: Menarik ya, karena Korea lebih outward, mau gak mau pasarnya harus di luar negeri sehingga mereka harus catch-up dengan industri-industri yang high-tech seperti itu
FB: Karena mereka benchmark-nya Jepang. Jadi, kalau Indonesia tidak ada musuh. Menariknya, negara-negara yang berhasil keluar dari–atau tidak masuk perangkap middle income atau middle income trap, adalah negara-negara yang punya musuh besar. Contohnya Israel, dikelilingi oleh Arab. Malaysia dikelilingi oleh Indonesia. Singapura dikelilingi oleh Indonesia juga. Sementara Indonesia tidak ada kompetitor. Tidak ada challenge untuk terus meng-upgrade diri. Oleh karena itulah institusinya jadi rendah. Institusi yang dimaksud oleh Acemoglu adalah aturan, rule of the game. Nah, rules of the game-nya membuat perusahaan Indonesia tidak kompetitif. Contohnya Salim, mereka jual mie instan aja di Indonesia sudah 2 miliar bungkus.
EG: Ini tidak kompetitif dalam artian keluar?
FB: Pada akhirnya Salim keluar. Dia bikin pabrik di Nigeria dan Timur Tengah. Tapi secara umum, semuanya jago kandang. Ada sawit, tapi beda, bukan industri. Industri tidak ada yang ekspor
EG: Jago kandang juga berarti istilahnya mereka sudah nyaman dengan status quo industri kita yang seperti itu. Berarti kalau begini, mau tidak mau demokrasi kita istilahnya tidak bisa naik kelas karena struktur ekonomi kita yang membiarkan orang-orang penguasa ekonomi itu tidak outward looking juga dong dalam artian tertentu?
FB: Iya, insentifnya ini dia tidak bisa outward looking. Ini yang Mbak Mari banyak ngomong. Global supply chain, coba lihat. Kita mau majuin industri tapi menerapkan local content. Ini bertentangan dengan tren dunia yang mengacu dengan global supply chain. Nih, World Bank yang terbaru (menunjukkan laporan di laptop). Indonesia cita-cita mau ekspor mobil listrik. Ya, mana mungkin. Mobil listrik struktur di dunianya seperti ini. Komponen-komponennya dari puluhan negara, dari Indonesia satu pun tidak ada. If you would like to develop an electric car industry, you have to be part of global supply chain.
Coba Anda bayangin, cara industri dalam negeri dilindungi kayak gini. Jadi, saya mau bikin pabrik mobil, import steel and casing, kalau mau ngimport, dia harus dapat surat persetujuan dari produsen domestik, bahwa produsen domestik tidak bisa menghasilkan produk serupa. Nah, minta izin ke perusahaan lain. Gila, tidak? Gila. Kalau perusahaan lain bilang “oh jangan impor saya sudah bisa produksi”, buktikan harganya gimana produknya gimana? Coba negara mensubkan keputusan di tangan pelaku lain. “ … stop a production line because ministry of industry and ministry of trade could not be set of whether import of … could not require a recommendation letter,” (membaca laporan di laptop). Jadi, dia kalau tahu aturan kayak kita, tutup. Udah free trade zone tapi tambah sini-sininya, macam-macam lagi. Time consuming, dan sebagainya. Jadi, tidak mungkin saya bikin industri di Indonesia
EG: Itu dilakukan oleh pemerintah dan negara, karena ujung-ujungnya konglomerasi juga, dan dimiliki oleh teman-teman konglomerat yang lain juga atau gimana?
FB: Tidak tahu saya. Harus dirinci ya. Saya tidak berani karena tidak punya data. Tapi kan behavior seperti gitu membuat industri tidak datang ke Indonesia. Cita-cita mau produksi mobil listrik, mimpi lo? Kata Bank Dunia. Ini presentasi Bank Dunia ke Jokowi tanggal 9 September. Awalnya, kan, ini. Sebaliknya, Vietnam to remove 40% foreign partnership. Semua pada berbenah. Filipina, reinvestment rules. Nah, ini semua yang mau dibebaskan dengan Jokowi melalui Omnibus law. Jadi, aturan-aturan yang di bawah menteri akan dilibas dengan UU Omnibus law itu. Tapi baru akan, sekarang sudah telanjur lemah. Bayangin obat kita itu, 90% dari obat kita sudah produksi di sini, tapi 90-95% bahan bakunya impor. Tidak muncul industri hulunya. Lagi-lagi tidak semua ya.
EG: Tapi, kan, lagi-lagi tadi industri hulunya tidak jalan juga karena untuk apa pengusaha-pengusaha itu karena untungnya tidak cepat. Maka, kalau dia mencari cepat untung, untuk apa cari industri yang high-tech?
FB: Industri hulu ada dua. Kalau istilahnya industri itu ada ayah, ayahnya itu baja dan ibunya petrokimia. Kita tidak punya satu pun industri petrokimia yang integrated. Makanya impor petrokimia kita gede banget. Pabriknya ada di Singapura. Singapura tidak punya minyak, tapi dia beli minyak dari luar negeri, bikin kilang. Tapi bukan stand-alone kilang, tapi industri petrokimia terintegrasi dengan kilang. Pertamina punya kilang, tapi tidak punya petrokimia. Jadi, segmented. Ya kalah bersaing.
EG: Tapi ini kan jadi menarik, Bang. Kalau bicara serikat buruh lagi-lagi, serikat buruh kita kan salah satu yang paling besar dan terintegrasi serikat buruh baja, ya?
FB: Serikat buruh baja itu di Polandia sama di Korea. Ada posko di Korea. Posko itu kinerjanya lebih baik daripada nippon steel. Sementara baja kita kan BUMN. Krakatau Steel kan BUMN. Mana boleh demo. Serikat buruh kita yang banyak ya di elektronik, otomotif. Saya diundang bulan depan sama serikat buruh (sebuah perusahaan). Kalau dulu Masinah, pabrik jam, elektronik juga kan bisa dibilang. Sama otomotif, tapi otomotif relatif cool karena hubungan industrialnya relatif lebih baik
EG: Apa yang membuat mereka lebih baik? Struktur serikat buruhnya kah, atau perusahaannya?
FB: Hampir semua Jepang ya. Mungkin standarnya lebih tinggi. Jadi, dalam budaya industri Jepang, ada namanya labor workshop gitu, guru itu beri masukan perbaikan, ada mandornya. Itu hubungan industrialnya bagus. Hampir tidak pernah ada gejolak di industri otomotif.
EG: Kalau balik bandingin Orba dan reformasi, sebenarnya pebisnis lebih suka era Orba yang sudah jelas atau seperti sekarang yang lebih demokratis?
FB: Secara tidak langsung, mereka lebih suka yang di masa lalu, karena lebih pasti. Jadi, misalnya tadi kita ngobrol pertama itu dispersion of political power zaman Orde Baru rendah, artinya centralized atau concentrated. Jadi, industri itu kan minta perlindungan pada negara, negara dikuasai Golkar. Golkar deliver, asal lo bayar uang perlindungan, everybody safe. Sekarang Anda minta perlindungan ke Megawati, sementara Megawati partainya cuma 20% di parlemen. Artinya, dia harus datang juga ke Gerindra, dong. Masih kurang juga, harus datang ke Golkar, dong. Uncertain juga, belum tentu berhasil.
EG: Meskipun pemain-pemainnya jadi ada banyak yang baru, Bang, sekarang? Atau sama aja?
FB: Pemain-pemain baru kan bukan di industri, pemain baru kan di sumber daya alam. Batu bara, sawit. Industri gak ada yang baru, mana yang baru coba, you name it.
Yang Anda sampaikan di awal tadi, tidak terjadi transformasi struktural dari segi pemilik karena konglomerat-konglomerat yang dulu pada bangkrut, diselamatkan oleh negara di-bailout, terus harta-harta busuknya masuk BPPN disehatkan, terus dijual, yang beli sebagian besar mereka juga.
EG: Intinya negara ya mau tidak mau bisa dibilang memang memberikan peluang kembali dong?
FB: Dulu kan, mereka merasa pasti didukung oleh Golkar, dilindungi oleh Golkar. Sekarang terdispersi, uncertain, harus menyambangi beberapa kekuatan. Daripada gitu udah, saya ambil aja partainya, atau saya bikin lagi aja partainya. Jadi, untuk mematri kepentingan itu kekal, dia masuk ranah politik secara langsung. Zaman dulu tidak harus jadi politisi. Karena cuma bayar aja kan, uang perlindungan. Sekarang karena tidak pasti, udah gue ambil alih partainya atau bikin partai baru sehingga negosiasi politiknya langsung. Itu tidak terjadi di Korea, yang struktur politiknya tetap menghasilkan tiga partai besar. Nah, sementara kita punya sembilan sekarang di parlemen.
EG: Karena uncertainty itu, akhirnya mereka juga mau tidak mau masuk ke dalam persaingan demokratis itu kan?
FB: Banyak tapi tidak punya perbedaan ideologi yang signifikan. Oleh karena itulah, kursi di DPR, DPD dan kabinet makin banyak pebisinis. Jadi, heavy ke state, blur antara penguasa dengan pengusaha. Gak jelas. Nah, di Korea jelas sekali. Artinya, political institution-nya sudah inklusif.
EG: Tapi jadi menarik, Bang, kalau misalnya kita punya konglomerat baru yang datangnya dari industri tech misalkan?
FB: Betul
EG: Tech juga bukan yang dalam artian factory based kayak industri konvensional, tapi industri tech. Sebenarnya kita punya kesempatan di situ dong? Misalkan kalau lihat Go-jek, mereka kaget kok driver-driver bisa berserikat, demo segala macem. Jadi, maksudnya selain yang konvensional tadi, sebenarnya industri tech yang sekarang juga bisa jadi solusi dong untuk merubah struktur?
FB: Betul, atau improve the quality dari yang di bawah contohnya petani gak punya akses kredit kan. Dengan fintech, petani jadi punya akses kredit. Jadi, yang muda ini bertani dengan cara milenial. Bukan dengan cara mencangkul, tapi menggunakan teknologi yang dipasang di gadget tani, alat yang bisa mendeteksi kadar kapur dan kadar keasaman tanah. Terus, dengan fintech-nya, mereka bisa langsung menjual ke pembeli. Kopi misalnya. Jadi, tidak lewat middlemen yang banyak itu. Gila, lho. Jadi, pertanian kita juga modern sama si technology. Fintech bisa menggerakkan semua.
Ya kayak saya. Saya baru menerbitkan dua buku, saya tidak menggunakan penerbit yang mapan. Saya terbitkan sendiri, saya setting sendiri, saya cetak sendiri, saya online kan sendiri. Saya pun jadi berdaya. Ibu-ibu rumah tangga, wah keren nih bikin beginian nih, ini kan kerjaan ibu rumah tangga. Bisa enam juta sebulan. Masukin ke dalam Facebook-nya. Jadi, potensi yang di depan mata yang harus dimanfaatkan. Tapi coba, apa tugas negara sekarang? Bagi saya, tugas negara adalah memperkokoh infrastrukturnya. Handphone Anda berapa jaringannya? Kuat, tidak?
EG: Kuat.
FB: Berarti full ya? Tapi coba, di rumah saya, ini rumah saya di sini, apartemen, cuma dua baris. Terus ini, mau transaksi, transfer, mental. Wah ininya lama. Tugas negara itu ini, to strengthen infrastructure sehingga potensinya semakin bagus. Ngirim desain kan berat, baru di tengah jalan udah lemot. Mereka lebih lincah.
EG: Berarti grand design Jokowi untuk infrastruktur memang kita butuhkan, kan?
FB: Oh iya. Kan yang kita perlukan bukan infrastrukturnya, tapi cara membangunnya. Bayangkan pembangunan infrastruktur tanpa feasibility study. Terus, perencanaan proyek tanpa perencanaan keuangan.
EG: Jadi, industri tech itu yang baru-barunya, bagus untuk membentuk kelas menengah baru ya, Bang?
FB: Ya memperkuat kelas menengah dan yang baru. Kayak saya tidak punya akses, saya kan bukan pengusaha bukan apa. Tapi betapa nasib pengarang sangat miris. Mengapa? Dari harga buku 100, 60 ke toko buku, 20 ke penerbit, 10 ongkos cetak, 10 ke kami. Kami mau coba revolusi, tapi susahnya setengah mati. Saya kan udah declining, energi kan. Saya beratlah udah 60 tahun ini pada saat declining ini. Jadi, opportunity-nya tidak bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin. Tapi saya pun bisa menikmati, meskipun tidak sebesar generasi milenial. Ya kerjaannya jadi double, sama.
Secara umum, pendapatan Gojek itu lebih besar dari pendapatan mereka sebelumnya. Tapi bicara quality of life, dia bekerja 15 jam sehari. Saya setidaknya dua kali, tapi ini kan setidaknya jangan digeneralisir. Jadi, quality of life turun. Mereka untuk mendapatkan yang lebih besar, pengorbanannya jauh lebih besar. Jadi, marginal cost mereka lebih besar dari marginal revenue. Tambahan ongkos hidup dia, lebih besar dari tambahan pendapatan hidup dia. Memang pendapatannya naik, tapi jam kerja lebih banyak sehingga interaksi dia dengan keluarga akan turun. Sama anak kurang, sampai rumah capek, dia tidur. Jadi, fenomena gojek ini sebenarnya excess dari ekspor yang jelek. Jadi, bukan model bisnis yang ideal. Nah, si Nadiem ini mampu mentransformasi masalah menjadi opportunity bisnis dia. Permasalahannya kan public transport.
EG: Setuju. Dari segi independensi ekonomi mungkin akan terbentuk lapisan baru, tetap ada daya tawar yang lebih. Namun secara demokrasi itu juga sebenarnya hubungannya tidak terlalu dekat ya?
FB: Nah, Anda harus kaitkan dengan level of education dan level of income. Jadi, demokrasi itu akan bermakna kalau mereka bisa memperjuangkan hak-haknya dan concern mereka. Tapi ini untuk survival hidup saja sudah susah. Jadi, terlalu mewah untuk ambil role aktif di politik. Pemilu aja dikasih duit aja udah. Money politician aja udah. Jadi, syaratnya adalah pendidikan dan level of income. Kalau kata Pak Boediono di pidato guru besarnya kan akan ada turning point tatkala sudah $6,000. Karena dia sudah selesai dengan basic dia. Pada umumnya gitu sih di dunia. Korea muncul kesadaran kelas menengahnya juga setelah muncul income $6,000 itu. Studi cross-section antar negara, tapi dari pendekatan ekonomi ya, yang sangat tidak cukup karena ada faktor-faktor lain.
Ya, Anda bayangkan 60% pekerja kita masih SLTP ke bawah. Nah, sekarang ada kemungkinan percepatan karena kelihatannya Jokowi sadar banget untuk memperkokoh vocational school itu. Nah, itu kan bisa short cut. Mereka punya keahlian, daya tawar. Itu membangkitkan kesadaran lebih cepat. Itu yang terjadi di Jerman dan Swiss, mereka bisa bekerja sebelum sarjana. Mereka cepat bangkit kesadarannya. Keluar dari perangkap basic needs karena mereka punya bargaining power di pasar pekerja. Mudah-mudahan itu mempercepat. Nah, ini fungsi Menteri Pendidikan. Tapi, bagi saya, saya tidak melihat kelemahan dari Nadiem ini. Barangkali lebih baik orang yang gak pernah sama sekali di dunia pendidikan untuk sekolah ya, sehingga dia bisa berpikir out of the box, sehingga bisa jadi perubahan besar dari segi pendapatan. Jadi, saya tidak mau comment banyak mengenai menteri-menteri itu, kita lihat aja dulu ya. Kita juga tidak tahu. Menteri ESDM dan perdagangan saya tidak tahu background-nya. Jadi, biar aja kerja dulu, kalau ntar tidak bener baru kita ngomong.
EG: Biar gak terburu-buru juga ya, Bang, menilai.
FB: Waktu proses pemilihan saya memang hiperaktif. Enam menteri jangan dipilih lagi sama Jokowi (disebutkan namanya satu-persatu). Kan tidak mungkin kita 100% berhasil. Pasti ada cara lain. Nah ini saya ingin cerita dunia perbankan kesulitan cari debitur baru (dijelaskan kasus satu per satu). Karena tidak ada financial planning. Makanya dalam istilah ekonomi itu, dalam ilmu ekonomi, jadi kan kata Pak Jokowi investasi relatif tinggi tapi outputnya rendah. Ini disebut ICOR, Incremental Capital Output Ratio-nya tinggi. Jadi, untuk menghasilkan tambahan satu unit ini, butuh 50% lebih banyak daripada negara lain, ya tidak kompetitif. Karena lebih mahal. Dan itu ICOR nya yang ngitung Bappenas, ada.
EG: Yang membuat ini mahal juga karena perizinan-perizinan itu ya, Bang?
FB: Itu dari dulu perizinan. Tapi yang membedakan sekarang dengan dulu, tunjuk langsung, sehingga tidak ada benchmark. Sehingga kita tidak tahu ada yang menawar lebih murah atau tidak karena tunjuk langsung (dilanjutkan kembali dengan penjelasan detail kasus satu per satu). Karena tidak ada bidding. Nah inilah era Jokowi itu
EG: Apa sih alasan utama menghindari bidding itu?
FB: Ya, dulu ada preseden, jalan-jalan tol itu tidak dibangun sama swasta. Konsensusnya diambil alih, dibayar loh itu. Jadi, swasta banyak yang bandel-bandel juga gitu. Tapi kan itu tidak bisa jadi alasan.
Tidak tau ini relevan atau tidak. Di Korea Selatan, desanya diperhatikan banget. Ada gerakan membangun desa, apa itu namanya lupa saya. Khas-lah, gerakan membangun desa. Ada klaster. Apabila anda ke Jeju Island. Dulu itu tempat stadion Piala Dunia 2002. Itu sejauh mata memandang, petaninya tanam jeruk. Terus saya mau coba beli dari petaninya, tidak dikasih. Jadi, petaninya lagi beres-beresin dus. Terus ada mobil jemput dia. Jadi, yang fresh itu dijual setara 100 ribu, sekilo. Gimana tidak kaya-kaya tuh petani. Yang busuk-busuk dikit jadi juice. Kemudian coklatnya rasa orange.
Itu jadi gerakan desa. Ada istilah Koreanya, terkenal sekali. Nah, di Indonesia, desanya cuma dikasih dana desa, dari Sabang sampai Merauke sama. Padahal kondisinya berbeda jauh. Akibatnya desa terbengkalai, terjadilah urbanisasi. Kotanya tidak bisa nampung. Kalau anda lihat, sekarang, trotoar-trotoar itu dilebarkan bukan buat jalan kaki tapi untuk PKL jualan. Dekat rumah saya, jadi kita ini, dibelakang sini ke arah KPK itu, kalau jalan harus di bahu jalan karena trotoar digunakan oleh PKL. Resmi. Dibikinin tendanya.
Tapi saya yakin generasi baru untuk mencari solusi baru terhadap negara ini. Mereka otonom, independen, tidak bergantung pada state. Kalau saya dulu kan masih ingin jadi PNS supaya bisa sekolah keluar negeri, sementara mereka tidak bergantung. Mereka insan-insan yang punya privilege tinggi. Mencoba optimis.
EG: Kalau mahasiswa gimana? Tercermin tidak?
FB: Banyak jadi orang-orang yang bagi saya berhasil gitu. Artinya mereka sekolah lagi, jadi penulis, menulis kritis. Tapi persentasenya masih kecil. Uniknya, mereka banyak di NGO. di Green Peace ada 2 mahasiswa saya. Tadi itu, dia di lembaga riset yang kayak gitu. Itu fenomena baru. Kalau dulu kan manusia ekonomi kerja di bank. sekarang mereka masuk NGO. Ada (nama seseorang), sekarang ekonom di bank, tapi kalau diajak kritis yang kayak ginian masih mau (lalu dilanjutkan bercerita tentang nama-nama lain, tokoh publik yang merupakan mantan mahasiswa beliau).
Tapi itu kuncinya, civil liberty jangan sampai dirampas sama mereka. Biasanya penguasa tidak tahu batas, dia terjang batas itu, dan di situ dia hancur. Percaya, deh. Kecuali kita negara otoriter. Dia tidak bisa ngelawan dunia yang sudah berubah dan membawa kita ke era baru. Kalau sekarang konfigurasi partai berdasarkan pendukung capres. Sekarang kalau kita lihat, partai pendukung pemerintah, 74%, sudah seperti Orde Baru. Tidak bisa dengan 74% bikin UU sesuka hati mereka. Turun orang-orang. Mahasiswa ini kan tangkapan solidasi panjang apa sih kesadarannya untuk mereka demo. Kan sebagian itu anak-anak baru.
Banyak anak-anak teman saya. Kalau dalam bacaan saya, mereka tidak mau masa depan mereka suram karena dirampok hak-hak mereka. Maka saya terharu banget, ada suatu pagi saya ngurus paspor. Mereka jalan kaki ke DPR. Pake jaket abu-abu itu. Duh, ini pasti tidak ada duitnya. Terus yang demo-demo di KPK itu, kalau sama polisi, mahasiswa, yang bayaran-bayaran itu yang depan KPK tuh kelihatan. Tapi kalo yang butek-butek itu kelihatan, tidak bisa direkayasa. Ini dunia yang sudah berubah. Misalnya Donald Trump juga kena juga akhirnya, karena sudah melampaui nilai-nilai inti American values. Partai Republik juga mulai ngomong, emangnya hati kita kelam semua, tidak kan.
Tapi ini harus dirawat, ya peran kita. Mau bohong gimana pemerintah, tidak bisa karena masyarakat juga punya kemampuan. Nah tapi kalau kita pun sudah dikunci, tidak bisa juga rasanya ya ke era kegelapan lagi. Akan muncul perlawanan. Jadi, kita lakoni saja. Dulu saya mengajar di HI juga.
EG: Oke deh, Bang. Thank you banget ya. Sudah dapet banyak nih.
FB: Oke. Di masa tua saya, kayaknya saya lebih mau perjalanan aja lihat anak. Satu anak saya di Edinburgh ambil IR. Dulu anak saya juga keterima Toronto, tapi dia lihat sekolahnya mahallah ya, jadi dia pilih Edinburgh aja. Anak paling kecil.
Tidak terasa kami telah menghabiskan waktu berjam-jam untuk membicarakan banyak hal. Masih banyak hal yang saya ingin tanyakan dan gali lebih dalam dari Bang Faisal. Momen langka berbicara secara bebas dengan Bang Faisal mengenai ekonomi dan politik bisa jadi tidak datang dua kali. Pertemuan-pertemuan dalam acara seminar, misalnya, tak bisa dibandingkan dengan kemewahan waktu yang saya punya sore itu. Namun karena tidak sampai hati menahan bang Faisal di hari yang semakin malam, akhirnya saya menyudahi obrolan itu.
Benar saja. Momen perbincangan seperti itu tidak akan datang kembali. Pada Kamis (5/9), dalam bus perjalanan dari New York menuju Toronto, saya membaca pesan di salah satu grup bahwa Bang Faisal telah berpulang.
Terima kasih, Bang Faisal, karena telah menginspirasi kami dalam pemikiran dan perjuangan selama ini. Selamat jalan. Indonesia telah kehilangan seorang intelektual publik yang merdeka.
Naskah asli: www://edbertgani.com/?p=551
Catatan:
Dalam tulisan ini tidak semua bagian dalam obrolan kami saya masukkan, karena terdapat informasi-informasi yang sensitif. Namun, saya merasa tetap banyak sekali ide dan cara pandang Bang Faisal yang bisa menjadi inspirasi kita. Publik mengenal beliau sebagai ekonom yang tajam, kritis, dan apa adanya. Dari obrolan itu, saya menemukan cara pandang soal politik dan demokrasi yang tak kalah dalamnya. Saya membagikan transkrip ini karena merasa sangat sayang apabila hanya menjadi dokumen usang yang hanya tersimpan rapi dalam laptop.