Faisal Basri seperti sebuah lentera bagi perubahan. Di tangannya, keberpihakan pada demokrasi menemukan suaranya, dan ketidakadilan menemukan musuhnya. Saya ingat sosok ini: kemeja biru muda, celana warna khaki, sepatu sandal, ransel di pundak, dengan rambut yang, sedari muda, tak lagi penuh.
Akhir 1980-awal 1990-an tak banyak ekonom di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang membahas ekonomi-politik. Mungkin hanya Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Sjahrir, dan seorang ekonom muda: Faisal Basri. Saya belum lagi genap menyelesaikan skripsi saya saat itu. Dan saya punya minat besar pada ekonomi-politik. Mungkin karena banyak terpengaruh Almarhum Dr Sjahrir. Saat itu saya menjadi asisten Sjahrir untuk mata kuliah Perekonomian Indonesia. Sjahrir adalah ekonom, tokoh mahasiswa yang pernah ditahan dalam kasus Malari 1974.
Keterlibatan saya pada gerakan mahasiswa–yang dilakukan dengan rasa takut–membuat saya banyak berinteraksi dengan Faisal Basri. Saya ingat, bersama teman-teman di FEUI, kami menyelenggarakan Seminar Nasional untuk mahasiswa. Sengaja kami mengundang ekonom seperti Sjahrir, Rizal Ramli, dan Faisal Basri, dan sebagainya. Saat Faisal berbicara didepan mahasiswa, hati kami–setidaknya saya– menjadi kecut. Dengan lugas ia berbicara tentang bobroknya pemerintahan Soeharto akibat tumbuh suburnya korupsi, kroniisme dan ekonomi rente. Di masa itu, tak banyak orang berani menunding Soeharto secara langsung dalam diskusi terbuka. Faisal adalah kekecualian.
Sejak itu saya menjadi akrab dengan Bang Faisal, begitu saya memanggilnya. Saya berutang intelektual padanya. Bagi saya, Bang Faisal tak hanya seorang kawan, senior dan guru dalam ilmu ekonomi, tapi ia adalah teladan tentang integritas, keteguhan sikap, dan keberanian. Ia tak hanya marah dan berani, tetapi Faisal adalah ekonom yang membaca data dengan baik. Pemikirannya cemerlang. Ia memahami konsep ekonomi dengan sangat baik. Pandangannya segar.
Kami cukup dekat sebagai kawan. Bulan Februari lalu, atas permintaan isterinya, Mbak Titik, saya mengirim voice note, mengingatkan Bang Faisal untuk pergi memeriksakan diri ke dokter, karena ada problem dengan matanya. Saya katakan, jika jatuh sakit, kita jadi kehilangan kesempatan untuk makan Padang. Mungkin karena Faisal seorang ekonom, ia paham arti opportunity cost. Soal kesempatan apa yang akan hilang–bila tak sehat. Ia menjawab melalui whatsapp bahwa ia sudah periksa darah dan insya Allah akan segera check up secara menyeluruh. Di ujung pesannya, ia menulis: ingin segera menyantap nasi kapau.
Tanggal 16 Agustus lalu kami bersama-sama berbicara untuk menyambut 900 mahasiswa baru FEB UI. Kami berbicara mengenai issu kelas menengah. Faisal, seperti biasa, begitu lugas, begitu berapi-api dan begitu berani. Kami memang cukup dekat sebagai kawan. Saya menghormatinya sebagai senior dan guru. Walau cukup dekat, bukan berarti mengurangi sikap kritisnya pada saya. Saat saya menjadi Menteri Keuangan atau Kepala BKPM, dengan lantang ia menyampaikan kritiknya yang pedas pada saya.
Kami kadang berbeda pandangan, namun saya tahu, sikap kritisnya dibutuhkan: untuk perbaikan negeri ini. Seperti Reinold Niebhur pernah menulis: “Kapasitas manusia untuk berbuat adil, membuat demokrasi menjadi mungkin. Dan kecenderungan manusia untuk berbuat sewenang-wenang membuat demokrasi menjadi perlu.” Demokrasi memang gaduh, mungkin menyebalkan. Tapi ia bisa menahan kecenderungan manusia untuk berbuat sewenang-wenang. Faisal menyuarakan pesan tua itu.
Ia mengingatkan kekuasaan untuk tak sewenang-wenang. Ia seperti sebuah lentera bagi perubahan. Di tangannya, keberpihakan pada demokrasi menemukan suaranya, dan ketidakadilan menemukan musuhnya Kematian memang mengakhiri kehidupan seorang manusia, tapi tidak ide dan pemikirannya. Selamat jalan, Bang Faisal.
Bacaan terkait
Menyikapi Kegentingan Konstitusi, Dewan Guru Besar UI Bicara