Menggah dunungipun iman wonten eneng
Dununging tauhid wonten ening
Ma’rifat wonten eling
—Sultan Agung, Serat Pengracutan
Konon, orang Jawa telah selesai dengan urusan tentang Tuhan sebelum agama-agama besar singgah dan nyaman mendekam di Nusantara. Tilikan semacam ini tentu saja bukan isapan jempol belaka.
Taruhlah istilah “Ramadan” yang dikenakan pada aktivitas seorang Muslim yang lekat dengan upaya penyucian diri dan pendekatan kepada Tuhan. Di Jawa, istilah “Ramadan” itu juga kumandang dengan istilah “Ramelan” yang dekat dengan istilah “ramalan.”
Secara sekilas, seorang Muslim ortodoks tentu saja akan terasa geli ketika menilik bagaimana orang Jawa mengaitkan bulan Ramadan dengan bulan Ramelan atau bulan ramalan. Biasanya bulan Ramadan identik dengan berbagai sikap hati dan aktivitas yang banyak mendekatkan diri pada Tuhan, yang tentu saja sangat jauh dari berbagai nujuman ataupun “klenik-klenik” lainnya.
Namun, yang barangkali dilupakan oleh seorang Muslim ortodoks adalah bahwa di bulan yang dianggap suci itu terdapat peristiwa yang dikenal sebagai peristiwa Lailatul Qadar atau malam seribu bulan yang, secara sederhana, adalah sebuah peristiwa di mana seorang pelaku ibadah diyakini akan memperoleh pahala atas ibadahnya dalam satu malam yang setara dengan pahala ibadah selama seribu bulan.
Tak hanya kualitas seribu bulan yang terjadi dalam semalam, orang Jawa malah mengaitkan peristiwa yang dianggap istimewa itu dengan rahasia takdir seorang insan. Ternyata, pengidentikkan istilah bulan Ramadan dengan bulan Ramelan atau ramalan ini terkandung dalam istilah “Qadar” pada peristiwa Lailatul Qadar yang konon, menurut seorang Quraish Shihab, dapat berarti pula sebuah “penetapan,” penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Dan pada peristiwa Lailatul Qadar itulah, konon, Allah menyingkapkan kejelasan “semua urusan yang penuh hikmah, yaitu urusan yang besar di sisi Kami” (al-Dukhan: 5).
Maka, dapat dimengerti kenapa, bagi orang Jawa, bulan Ramadan juga disebut sebagai bulan Ramelan atau ramalan. Beberapa hal yang menarik di sini adalah ketergesa-gesaan para Muslim ortodoks ketika menilai atau bahkan menghakimi berbagai ekspresi Islam yang bercorak lokal, entah Islam-Jawa atau kejawen dan Islam-islam autochthonous lainnya.
Di samping ketergesa-gesaan kaum ortodoks itu, hal yang menarik lainnya adalah kecerdasan para leluhur dalam menyaripatikan sebuah doktrin agama yang kemudian dapat tampak setara dengan budaya. Bukankah selama ini, bagi kaum ortodoks, agama senantiasa diletakkan pada posisi yang lebih luhur daripada budaya yang akibatnya kerap menyulut perendahan dan pembasmian terhadap kaum “pribumi,” atas nama kemurnian akidah?
Namun ternyata, ketika seumpamanya bahwa di balik penyebutan istilah bulan ramalan pada bulan Ramadan terdapat sebuah dasar yang bahkan pun berasal dari sumber agama sendiri, masihkah hal itu dapat disebut sebagai sebentuk budaya yang sama sekali berbeda, dan bahkan lebih rendah, dari apa yang selama ini dikenal sebagai agama?
Pada titik itulah orang banyak terjebak pada pengkutuban antara agama yang, konon, bersifat langit dengan budaya yang, konon, bersifat bumi, di mana yang satu kerap dianggap sebagai lebih luhur, lebih suci, daripada yang lainnya. Namun, tengok dan galilah berbagai ekspresi lokalitas yang terkait dengan semangat agama yang ternyata beranjak dari agama jua, yang bahkan terumuskan pada bentuknya yang paling substansial.
Maka, sampai di sini, tak salah ketika, konon, Sultan Agung dari Mataram meletakkan doktrin iman, tauhid, dan ma’rifat pada sekadar sikap “Eneng, Ening, Eling.” Atau HB I yang pernah menyaripatikan dasar keberadaan seorang Muslim (innalillahi wa inna ilaihi raji’un) dengan sekadar bangunan tugu yang bersambung dengan keraton dan Panggung Krapyak, di mana fakta kosmis ini dikenal sebagai “Sangkan-Paraning Dumadi.”
Bacaan terkait
Saat Kesalehan Tak Bisa Lagi Dipoles
Ramadan, Bulan Pengendalian Diri (Kecuali Saat Berbelanja)
Ulasan Pembaca 1