Di negeri Andainusa, seorang cantrik bernama Bahlol bertanggung jawab atas distribusi minyak tanah dan arang. Dahulu, ia adalah seorang pedagang minyak keliling, yang dengan gerobaknya menjajakan dagangan di setiap sudut kampung. Kini, setelah menduduki posisi penting, ia masih kerap bernostalgia akan masa lalunya. Namun, kebiasaan dan pandangannya yang konservatif sering bertentangan dengan kebijakan modern yang ingin diterapkan oleh Prabu Subianta, raja baru negeri Andainusa.
Suatu hari, dunia dikejutkan oleh pernyataan Raja Donal dari Kerajaan Amriki. Raja Donal, yang dikenal karena ucapan dan tindakannya yang sering kontroversial, menyatakan bahwa Amriki tidak akan lagi menjadi bagian dari Perjanjian Baris. Perjanjian ini bertujuan melindungi generasi muda dan mendatang dari bahaya krisis iklim, yang semakin nyata dengan meningkatnya bencana alam di seluruh dunia.
Bahlol, yang selalu mengidolakan Raja Donal, segera meniru langkah tersebut. Dengan suara lantang, ia berpidato di alun-alun negeri, menyerukan agar Andainusa juga mengabaikan Perjanjian Baris.
“Mengapa kita harus mengikuti perjanjian yang hanya menghambat pertumbuhan ekonomi kita? Lihatlah minyak dan arang yang masih menjadi tulang punggung negeri ini! Jangan biarkan perjanjian asing mengekang kita!” seru Bahlol di hadapan para pengikutnya.
Namun, banyak rakyat Andainusa tidak setuju. Mereka tahu bahwa negeri mereka sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Banjir telah melanda daerah pesisir, naiknya muka air laut mengancam pulau-pulau kecil, dan kekeringan telah menghambat pertumbuhan ekonomi. Bahkan, para petani di pedalaman mulai kesulitan mendapatkan air untuk ladang mereka.
Berita tentang pidato Bahlol segera sampai ke telinga Prabu Subianta. Sang Raja, yang berasal dari keluarga cerdik pandai, memahami betul pentingnya perlindungan lingkungan bagi keberlangsungan negeri. Ia lalu mengadakan sidang kerajaan untuk membahas tindakan yang harus diambil terhadap Bahlol.
Pada hari yang ditentukan, di dalam balairung megah kerajaan, persidangan dimulai. Para hakim yang terdiri dari ilmuwan, pemuka adat, dan penasihat kerajaan duduk di tempatnya. Bahlol berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh para saksi dan rakyat yang ingin menyaksikan jalannya persidangan.
Hakim Agung memulai persidangan dengan suara tenang namun berwibawa. “Bahlol, engkau dituduh telah menghasut rakyat untuk meninggalkan komitmen Andainusa dalam melindungi lingkungan. Apa pembelaanmu?”
Bahlol mendongakkan kepala dengan angkuh. “Yang Mulia, saya hanya ingin melihat negeri ini maju! Lihatlah Amriki! Mereka keluar dari Perjanjian Baris dan tetap menjadi negeri adidaya! Mengapa kita harus tunduk pada aturan yang hanya akan melemahkan perekonomian kita?”
Seorang ilmuwan kerajaan berdiri dan berbicara, “Bahlol, apa yang kau katakan menunjukkan ketidaktahuanmu tentang sains. Krisis iklim bukanlah ancaman yang bisa diabaikan. Data menunjukkan bahwa suhu bumi semakin meningkat, es di kutub mencair, dan bencana alam semakin sering terjadi. Andainusa, dengan geografisnya yang rawan, tidak bisa mengambil risiko dengan keluar dari Perjanjian Baris.”
Seorang pemuka adat menambahkan, “Engkau melupakan nilai-nilai leluhur kita, Bahlol. Nenek moyang kita selalu mengajarkan keseimbangan dengan alam. Jika kita tidak merawat bumi, maka bumi juga tidak akan merawat kita.”
Hakim Agung kemudian menatap tajam ke arah Bahlol. “Selain itu, engkau menjadikan Amriki sebagai teladan. Namun, sejarah menunjukkan bahwa Amriki bukanlah negeri yang dapat dijadikan panutan. Mereka terus-menerus mendukung kolonialisme, apartheid, dan genosida yang dilakukan oleh negeri tengil bernama Isnotreal. Mereka juga membuat kekacauan di banyak negeri lain. Apakah itu contoh yang pantas untuk Andainusa?”
Bahlol terdiam. Ia tidak dapat membantah fakta yang baru saja diungkapkan.
Prabu Subianta lalu bersuara, “Negeri ini harus bergerak maju dengan ilmu pengetahuan dan kebijakan yang berpihak kepada rakyat dan alam. Tidak boleh ada pemimpin yang membahayakan masa depan negeri ini dengan mengikuti kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir orang.”
Setelah bermusyawarah, para hakim mencapai keputusan.
“Bahlol, engkau tidak lagi layak memimpin. Sebagai hukuman, engkau dilarang berbicara di ruang publik selama sepuluh tahun. Selama masa itu, engkau diwajibkan belajar tentang keberlanjutan dan perlindungan lingkungan, agar kelak engkau dapat memahami kesalahanmu.”
Suasana ruang sidang menjadi riuh. Sebagian rakyat bersorak mendukung keputusan itu, sementara pengikut setia Bahlol tampak kecewa. Namun, keputusan sudah final.
Bahlol meninggalkan balairung dengan wajah tertunduk. Kini, ia harus menempuh jalan baru, belajar dari kesalahannya, dan memahami bahwa masa depan Andainusa tidak bisa dikorbankan demi nostalgia masa lalu atau kepentingan segelintir orang.
Hari-hari setelah persidangan menjadi babak baru bagi Andainusa. Rakyat semakin sadar akan pentingnya menjaga lingkungan. Program penghijauan digalakkan, energi terbarukan mulai dikembangkan, dan negeri itu semakin mandiri dalam menghadapi tantangan global.
Di suatu tempat, Bahlol, yang kini telah menjadi seorang murid di bawah bimbingan para ilmuwan, perlahan mulai mengubah pandangannya. Ia membaca buku, mengikuti diskusi, dan mengunjungi daerah-daerah yang terdampak perubahan iklim. Dalam hati kecilnya, ia mulai mengakui bahwa negeri ini telah memilih jalan yang benar.
Prabu Subianta, dengan kebijakan yang berlandaskan ilmu pengetahuan, terus membawa negeri Andainusa menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan sejahtera. Negeri itu tetap teguh dalam komitmennya untuk melindungi lingkungan dan rakyatnya, tanpa terpengaruh oleh godaan kebijakan dari negeri-negeri lain yang hanya mementingkan kepentingan sendiri.
Bacaan terkait
Bahlol dan Persidangan Iklim di Negeri Andainusa
Jurus Dewa Mabok Trump di Perubahan Iklim
Donald Trump dan Ancaman Krisis Iklim
Ulasan Pembaca 3