Sebagai warga negara Indonesia, Anda pasti sudah pernah merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia, baik berupa upacara, berbagai lomba, dan setiap orang pasti sudah pernah mempunyai beragam pengalaman pribadi untuk acara tahunan ini. Dan pengalaman pribadi kita, bahkan pengalaman pribadi bangsa ini, akan bertambah dengan adanya perayaan yang berbeda di tahun 2024 ini.
Tujuh belas Agustusan atau perayaan Kemerdekaan Indonesia itu adalah hari yang menyenangkan, selalu ditunggu, dan selalu menjadi hari yang sangat penting–mulai dari zaman kanak-kanak saya di Kota Malang di tahun 80-90 an. Perayaan Hari Kemerdekaan ini kami biasa menyebutnya sebagai tujuhbelasan, yang ramai perayaannya bahkan melebihi Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Perayaan tujuhbelasan, dan upacaranya, selalu menjadi acara rakyat, acara anak-anak, acara orang tua, acara buat semua. Dan saya yakin ini juga berlaku buat daerah lain, di sepanjang republik ini berdiri. Di seluruh rangkaian pulau republik ini.
Dan sekarang, salah satu perbedaan utama dari tujuhbelasan tahun ini dan tahun lalu dan sebelumnya adalah karena tahun ini juga akan dirayakan di IKN Nusantara, atau Ibu Kota Negara Nusantara. Untuk pertama kalinya Indonesia akan mengadakan tujuhbelasan di dua tempat yang berjarak ribuan kilo meter secara resmi. Untuk pertama kalinya di dalam sejarah negeri ini ada dua lokasi untuk upacara kenegaraan yang secara paralel mengadakan acara upacara tujuhbelasan.
Apakah hal ini salah? Tentu saja tidak. Tidak ada aturan di Indonesia maupun di dunia ini yang melarang ada perayaan paralel, atau bahkan serentak di berbagai wilayah di jam yang sama, untuk perayaan kemerdekaan suatu negara.
Apakah itu pemborosan? Dilihat dari berbagai sudut pandang, tetap saja pembengkakan biaya tujuhbelasan di IKN itu berkali, bahkan mungkin berpuluh kali, lipat dari upacara tujuhbelasan yang hanya dilakukan di depan Istana Merdeka di Jalan Medan Merdeka Utara.
Biaya sangat mahal, yang sampai sekarang juga tidak ada media yang pernah memberitakan berapa biayanya secara detail, seharusnya juga akan menghasilkan kualitas dan hasil yang menakjubkan. Karena biaya yang dihamburkan itu adalah uang rakyat. Karena sampai sekarang apa pun yang kemudian dilakukan seharusnya adalah untuk kesejahteraan, atau minimal kebahagiaan rakyat.
Tapi kemudian juga kita melihat dan mendengar, bahkan di tingkat persiapan pun, berbagai hal yang aneh-aneh dipertontonkan dan diperdengarkan.
Bagaimana dengan persiapannya?
Adanya kebutuhan penyewaan 1.000 mobil Alphard dengan harga fantastis 25 juta per unit adalah satu hal yang sangat mencengangkan. Meskipun Indonesia dalam sekejap akan berubah menjadi negara maju, sewa mobil sebanyak dan semahal itu tentu saja satu keborosan yang luar biasa dari pajak rakyat.
Kenapa harus sekelas dan semewah Alphard? Kenapa harus 1.000 unit? Siapa yang akan menggunakannya? Kenapa harus 25 juta biaya sewanya per hari? Dan tentu saja apakah tidak bisa menggunakan mobil yang lebih murah dan lebih banyak daya angkutnya? Bis misalnya.
Meski kemudian berita ini dibantah oleh juru bicara Istana, tetap saja kerusakan sudah terjadi.
Yang kemudian juga ramai adalah desain istana yang berlatar belakang patung garuda raksasa. Patung garuda sebesar itu, sepanjang pengetahuan saya, adalah patung terbesar di dunia. Tidak ada bangsa lain yang pernah membangun berhala raksasa berbentuk garuda sebesar itu di dunia ini. Sampai umat dan manusia sebelum kita pun belum pernah ada yang terbukti membangun patung garuda sebesar itu.
Tentu sah-sah saja seorang pematung dan timnya kemudian merancang dan membangun istana dan patung sebesar itu. Tapi tetap saja bangunan dan patung kontroversial itu adalah berasal dari pajak rakyat, sehingga rakyat boleh saja bebas berpendapat tentang apa saja terhadap bangunan dan patung tersebut.
Berita yang juga kemudian timbul adalah masyarakat daerah yang tidak bisa menonton dan menyaksikan secara langsung acara tujuhbelasan di IKN. Sebagai warga masyarakat penyuka acara tujuhbelasan, saya bisa merasakan bagaimana perasaan para penduduk lokal tersebut. Mereka hanya ingin melihat sesuatu yang belum pernah mereka saksikan seumur hidup, ingin menjadi saksi sejarah.
Penjelasan istana yang kemudian menyatakan bahwa hanya para wakil dan tokoh masyarakat saja yang diperbolehkan untuk ikut upacara tujuhbelasan sangat bisa dimengerti. Infrastruktur yang belum memadai tidak bisa menampung para warga masyarakat yang ingin ikut bersaksi, mereka hanya bisa, mungkin, melihat lalu lalang kendaraan dari kejauhan. Para turis yang akan segera menjadi, mungkin, tetangga baru mereka.
Dan ini memang selalu adalah nasib rakyat di negara ini, menjadi penonton di pinggir. Dan kadang sambil menelan debu dari kegiatan yang dilakukan.
Yang kemudian saya tidak bisa memakluminya adalah ketika, sekai lagi, ada berita kontroversi, dan kali ini sangat memalukan, terjadi di dalam persiapan tujuh belasan di IKN. Para pelajar putri yang berjilbab, yang terpilih sebagai petugas pengibar bendera pusaka atau paskibraka, diharuskan melepas jilbabnya oleh ketua pelaksana upacar tujuh belasan, ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila atau BPIP.
Satu lembaga negara yang, entah apa sebenarnya pekerjaannya, selain menghabiskan uang pajak rakyat dan pendapatan negara, telah membuat pernyataan dan aturan yang justru bertentangan dengan prinsip dasar Pancasila itu sendiri, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sila pertama dari Pancasila, yang menjamin kebebasan beragama dan menjalankan syariatnya, jelas-jelas dilanggar oleh seorang pimpinan tertinggi yang seharusnya menghayati dan mengamalkannya. Ini salah satu kesalahan fatal pejabat tinggi yang dipertontonkan terang-terangan oleh kepala BPIP. Tingkatannya adalah pengkhianatan ideologi negara.
IKN seharusnya menjadi ibu kota yang inklusif. Yang ramah terhadap rakyatnya. Yang membebaskan para pemeluk agama di Indonesia menjalankan syariat dan kewajibannya.
IKN juga seharusnya menjadi ibu kota yang bisa menjadi rumah untuk semua. Bukan hanya pejabat, bukan hanya presiden, tapi juga ada tempat untuk anak bangsa yang tidak terlalu kaya atau miskin harta.
Ramah ke semua, rumah untuk semua.
Inklusivitas dari IKN justru harus jauh lebih besar dari berhala raksasa yang menjadi pusat kota. Harus jadi ibu kota yang menerima semua anak bangsa, tanpa ada pemaksaan-pemaksaan dengan alasan untuk kepentingan negara.
Karena kalau memang berniat membangun ibu kota baru, maka rakyatlah yang kemudian harus menjadi subjek utama, bukan investor. Karena uang yang digunakan sepenuhnya adalah uang rakyat.
Sesederhana itu.
Masih ada 2 hari lagi upacara tujuh belasan diadakan secara serentak dan paralel di dua kota, dua provinsi, dan dua pulau. Persiapan mungkin sudah mencapai puncaknya. Sudah mendekati jam dan detik yang ditentukan.
Tapi, apakah tujuh belasan itu akhirnya akan menjadi tujuhbelasan rakyat dan bukan tujuhbelasan penguasa? Waktu yang akan menjawabnya.
Sudah 79 tahun kurang 2 hari Indonesia merdeka. Dan kalau akhirnya rakyat sekali lagi hanya mampu untuk menjadi penonton di pinggir, apa artinya?
Apa artinya juga kalau kemudian ternyata Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan kepada investor di ibu kota baru adalah selama 190 tahun? Selama itu pula kemerdekaan atas tanah yang digunakan menjadi hak investor. Jauh lebih panjang dibanding dengan kemerdekaan Indonesia yang baru 79 tahun.
Tujuhbelasan di kampung saya dulu, di sudut kota Malang, adalah tujuhbelasan untuk semua. Berbagai acara, lomba, pembuatan gapura, barikan atau makan bersama di tengah jalan, dan berbagai kegiatan lain, pada dasarnya mempunyai tujuan untuk membahagiakan dan menjadikan rakyat bangga bernegara Indonesia. Negeri hasil tetesan darah dan keringat para pendahulu kita.
Dan tujuhbelasan selalu menjadikan kami lebih akrab dan bersaudara dengan para tetangga. Dan itu kami lakukan tanpa harus sewa mobil mewah, membangun patung berhala raksasa dulu, atau melanggar sila Pancasila. Setiap kami berkontribusi untuk kebahagiaan dan kebanggaan kami menjadi orang Indoensia.
Dan apabila kemudian, bahkan untuk tujuh belasan pun, IKN harus belajar dari kampung saya dan kampung Anda, apa artinya?
Samarinda,
15 Agustus 2024, pukul 01.25
Rakyat Pinggiran Kampung Besar Indonesia
Bacaan terkait
Jokowi dan Kolonialisme di Ibu Kota Nusantara
Menuju Indonesia 2040 yang Bukan Kaleng-kaleng
HUT Jakarta Ke-497: Walau Ada IKN, Jakarta Akan Tetap sebagai Ibu Kota Negara