Resensi kitab Syajaratul Ma’arif karya Syeikh Izzudin bin Abdussalam, Terjemahan Bahasa Indonesia penerbit Qaf
MEMBACA buku Syajaratul Ma’arif, yang bisa diartikan pohon ma’rifat, jadi teringat firman Allah dalam surat Ibrahim ayat 24-25. “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.”
Pohon itu adalah manusia yang akarnya adalah tauhid. Jika keyakinan terhadap Tuhannya kuat, maka jiwa manusia itu pun akan kokoh, seperti pohon tinggi dengan batang, ranting, daun dan buah yang banyak.
Begitulah manusia, menurut Syeikh Izzudin bin Abdussalam, harus mengenal Tuhannya dengan baik. Di bagian awal kitab ini, ia mengurai tentang tema-tema tauhid. Buah dari ma’rifat atau mengenal Allah adalah kondisi ruhani yang luhur, perkataan yang bernilai, dan perbuatan diridhai yang endingnya derajat tinggi di akhirat.
Ada enam keutamaan manusia, baik yang karena usaha maupun pemberian Allah (tanpa usaha), yaitu akal, sifat mulia, pengetahuan yang diilhamkan, karomah, kenabian dan risalah.
Lalu, bagaimana caranya supaya meraih keutamaan itu? Dalam kitab ini, Syeikh Izzudin membimbing kita menapaki jalan sebagai seorang “salik”, yaitu jalan untuk mengenal Tuhannya.
Salik adalah hamba yang memiliki irfan, pengetahuan mendalam tentang Tuhannya hingga ia berada dalam kondisi “ihsan”. Yang dimaksud ihsan adalah melakukan sesuatu demi menggapai maslahat di dunia dan akhirat, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah. “Dan berbuat baiklah (ihsanlah). Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik” (QS al-Baqarah: 195).
Setiap orang yang taat kepada Allah sebenarnya dia telah melakukan ihsan pada dirinya sendiri. Maka, ketaatan pribadi yang dia lakukan pun bisa memberikan manfaat pada orang lain dan lingkungan. Ihsan berarti pula mencegah dari kerusakan. Lawan dari maslahat adalah mafsadat atau kerusakan.
Buku terjemahan yang dilengkapi dengan teks aslinya ini mempermudah bagi orang yang tengah belajar bahasa Arab, atau orang yang tidak puas dengan terjemahan kitab ini, bisa langsung merujuk pada teks aslinya supaya lebih utuh pemahamannya.
Kitab ini membahas beragam tema, seperti berakhlak dengan asma dan sifat Allah, perintah dan larangan batin, perintah dan larangan lahir, melakukan berbagai tindakan ihsan (kebaikan) mulai ihsan dalam berakhlak dan perbuatan, ihsan dalam perkataan, ihsan dalam harta, ihsan dalam doa, dan ihsan dalam berjihad.
Kemudian buku ini ditutup dengan tema Wara’. Tidak hanya tauhid dan akhlak, buku ini juga membahas tema-tema fikih secara sekilas dengan tetap dibingkai dalam kerangka Ihsan, seperti ihsan dalam shalat, berzakat, memanfaatkan harta hingga bermuamalah.
Kitab ini termasuk salah satu turats (kitab klasik) yang ditulis oleh ulama terkemuka, Syeikh Izzuddin bin Abdussalam (577-660 H). Ulama bermazhab Syafi’i ini memiliki nama lengkap al-‘Allamah al-Syaikh al-Imam al-Faqih al-Mujtahid Hujjatul Islam, Syaikhul Islam Izzuddin Abu Muhammad Abdul Aziz bin Abdus Salam bin Abu al-Qasim bin Hasan as-Sulami al-Dimasyqi.
Ia menulis banyak kitab, seperti Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Al-Kubra wa al-Shughra, Al-Maqashid, dan Maqashid al-Ri’ayah. Diantara karyanya yang monumental adalah kitab Syajaratul Ma’arif ini.
Naskah aslinya sebenarnya tersebar di banyak perpustakaan. Sebuah manuskripnya berada di Perpustakaan Escorial, Spanyol. Naskah lainnya berupa tulisan tangan berada di al-Makhthuthat al-‘Arabiyah, Kairo, Mesir.
Manuskrip itu terdiri atas 109 lembar dengan tulisan pada dua sisi kertas yang sebagiannya dilengkapi tanda baca Arab, ditulis pada 655 Hijriyah atau lima tahun sebelum sang syeikh wafat.
Syeikh Izzudin dibesarkan dari keluarga miskin, bukan keturunan ulama besar. Tak banyak catatan sejarah yang menceritakan masa kecilnya. Namun syekh Tajuddin As-Subki pernah merekam masa kecilnya dalam kitab Thobaqat as-Syafi’iyah Kubro.
Dalam kitab tersebut As-Subki menggambarkan bagaimana perjuangan Izzudin bin Abdissalam ketika mencari ilmu. Dalam kondisi ekonominya yang sangat terbatas, setiap hari ia menginap di emperan Masjid Agung Umayah di Damaskus. Walau tak punya bekal yang cukup, ia tetap menjalani pembelajaran dengan tekun dan sabar.
Suatu ketika, di malam yang sangat dingin, seperti biasa, ia menginap di emperan masjid. Rasa lelah yang begitu mendera, membuat ia cepat tertidur. Memasuki tengah malam ia mengalami mimpi basah. Ia pun bergegas segera mandi di kolam di masjid tersebut.
Ia sempat ragu, karena saat itu cuaca di Damaskus sangat dingin. Tetapi ia memaksakan diri untuk mandi wajib hingga ia tak sadarkan diri karena kedinginan. Kejadian serupa terulang hingga tiga kali. Setiap kali itu pula ia selalu pingsan usai mandi.
Pada kali terakhir, ia pun mendengar sebuah suara lirih: “Wahai Ibn Abdussalam apa yang engkau kehendaki ilmu atau amal?” Ia pun langsung menjawab, “Tentu saja ilmu, karena dengannya aku akan bisa beramal.” Esoknya ia seakan-aakan mendapat keterbukaan hati dan lebih mudah memahami pelajaran serta menghafalnya.
Kemudian ia buktikan dengan menghafal Kitab Tanbih karya Imam asy-Syairazi dalam waktu yang relatif singkat. Ia pun terus menekuni ilmu dengan mendatangi ulama-ulama besar di masanya seperti Syeikh Syaifuddin al-Amid, Imam Fakhruddin Ibnu Asakir.
Hingga akhirnya ia menjadi ulama besar di Damaskus dan dijuluki Sulthanul Ulama, atau rajanya para ulama, karena keluasan ilmunya dan kezuhudannya.
Pada masa itu, tak banyak ulama yang setegas Syekh Izzudin. Ketika Sultan Ashraf Musa bin Adil mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan syariat, ia tak takut untuk melantorkan kritikan hingga ia dicopot dari jabatannya sebagai Mufti (pejabat negara yang memberi fatwa-fatwa hukum) bahkan diisolasi di rumahnya.
Namun, ia bersyukur dan menghadiahi sultan dengan sajadah. Ia berkata, “inilah sesunguhnya nikmat besar yang harus kusyukuri,” Ia melanjutkan, “Dan sekarang Allah telah membebaskanku dari tugas dan kewajiban itu. Alhamdulillah. Adapun kebijakan khalifah agar aku mengisolasi diri hal itu merupakan suatu keberuntungan bagiku. Aku bisa fokus beribadah. Ini semua adalah hadiah dari Allah yang diberikan lewat tangan Sultan”.
Menjelang akhir hayatnya, Syeikh Izzuddin bin Abdussalam memilih hijrah ke Mesir. Di sana ia menulis banyak kitab. Salah satunya, kitab Syajaratul Ma’arif yang di kemudian hari menjadi rujukan bagi para pencari cinta dari Allah swt.
Sebuah buku yang ditulis oleh seorang ulama yang zuhud, bahkan ketika sudah wafat. Makamnya yang berada di lembang Gunung Muqathom sangat sederhana, tanpa dinding, tanpa hiasan dan segala bentuk kemegahan lainnya.
“Sungguh tubuh ini berguncang, dan hati ini bergetar hebat mengingat kemuliaan, keluasan ilmu dan kesederhanaan sang zahid ini,” ungkap Abu al-Hassan Farid Al Mazidi ketika menziarahi makam sang guru. Abu al-Hassan kemudian mengumpulkan dan menyunting kitab ini.
Untuk mendapatkan buku Syajaratul Ma’arif dengan harga terbaik Klik di Sini
Judul: Syajaratul Ma’arif, Tuntunan Qur’an Mengihsankan Pikiran, Perkataan dan Perbuatan
Judul Asli: Syajaratul Ma”arif wa al-Ahwa wa shalih al-Aqwal wa al-Amal
Penulis: Syeikh Izzuddin bin Abdussalam
Penerbit: Qaf
Edisi: Cetakan ke-3, Juli 2021
ISBN: 978-602-5547-80-5