Resensi Kitab al-Ibanah an Ushul al-Diyanah Turos Pustaka
Suatu ketika Nabi Musa berdebat seru dengan Nabi Adam. Musa menghujat Adam atas kesalahan fatal yang menyebabkannya terusir dari Surga. Akibatnya umat manusia selanjutnya tak bisa lagi menikmati segala fasilitas surgawi.
“Wahai Adam, Engkau adalah orang yang telah Allah ciptakan dengan tangan-Nya dan dia embuskan dari ruh-Nya kepadamu, tetapi engkau menghinakan umat manusia dan mengeluarkan mereka dari surga”.
Adam tak tinggal diam. “Engkau adalah Musa yang Allah telah memilihmu dengan kalimat-kalimat-Nya. Engkau mengecamku atas perbuatan yang telah Allah tetapkan sebelum Dia menciptakan langit,” tandasnya. Dialog di alam langit ini dikisahkan dalam hadits riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah.
Bila dunia itu sebuah panggung, manusia hanya menjalankan perannya. Allah lah sutradara yang mengatur dan menentukan segala-galanya. Adapun hukum kausalitas dan interdependensi antar komponen di dunia ini sifatnya hanya semu.
Perbuatan manusia (af’al al-ibad), pada dasarnya tidak menghasilkan perubahan alur di luar skenario Allah. Manusia memiliki ruang usaha tak efektif yang disebut Kasb, dan mereka hanya memperoleh implikasi dari perbuatan tak efektif itu.
Konsep teologi imam Abul Hasan al-Asy’ari menentang konsep freewill yang dipercayai kaum mu’tazilah, bahwa manusia secara efektif memiliki daya upaya yang dengan itu ia mampu menentukan takdirnya sendiri.
Kitab al-Ibanah karangan Imam al-Asy’ari merupakan referensi induk teologi Ahlusuunnah Waljamaah. Isinya tentang kaidah prinsipil mengenai sifat-sifat Tuhan, hubungan Tuhan dengan makhluk, dan posisi manusia dalam konteks ubudiyah. Kitab yang diterjemahkan Turos Pustaka setebal 320 halaman ini merupakan pagar akidah sunni yang dipakai para penganutnya di seluruh dunia.
Ahlussunnah waljamaah adalah representasi ajaran Rasulullah yang murni menurut dua mazhab induk, yaitu Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansyur al-Maturidi. Abul Hasan al-Asy’ari, penulis kitab yang sedang Anda baca resensinya ini adalah perumus konsep teologi pokok, misalnya tentang 20 sifat Allah, Qadla’ qadar, melihat Allah di akhirat, al-Qur’an makhluk atau bukan, Arasy dan Wajah Allah.
Banyak kalimat dalam al-Qur’an yang tidak boleh dimaknai secara figuratif agar tidak melabrak tauhid. Misalnya soal Allah bersemayam (istiwa’) di Arasy (singgasana). Yang dimaksud bersemayam bukanlah bertempat atau berposisi secara ruang.
Allah memiliki sifat mukhalafatu li al-hawadits atau tidak sama dengan apapun yang bisa dilihat dan dibayangkan manusia. Maka visualisasi (tajsim) dalam bentuk apapun tak akan tepat menggambarkan kondisi Allah di Arasy-Nya. Pengandaian atau penyerupaan (tasbih) dalam hal ini juga tidak memungkinkan karena di alam ini tak ada yang serupa dengan Allah.
Hal ini bertentangan dengan kepercayaan kaum Mu’tazilah, di antaranya kelompok yang disebut Kullabiyah yang berpendapat bahwa Allah swt menetap, menempati, bersemayam atau duduk di atas arasy secara harfiyah.
Isu-isu semacam ini mengemuka pada abad-abad awal hijriyah. Para ulama saat itu berbeda pendapat tentang konsep tauhid, terutama dalam hal tasbih dan tajsim tadi. Bagi imam al-Asy’ari, pemahaman kebendaan yang dinisbatkan kepada Allah harus diluruskan. Karenanya ia mengarang kitab al-Ibanah yang konstruksinya berupa statement dan klarifikasi atas berbagai pemahaman keliru tentang ketuhanan.
Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari (260-324H) lahir di kota Basrah (Irak). Ayahnya seorang ulama ahli hadits yang meninggal saat Imam Asy’ari masih kecil. Saat imam Asy’ari berusia 10 tahun, ibunya menikah dengan Abu Ali al-Jubbai, tokoh Mu’tazilah yang menginspirasi imam Asy’ari hingga berusai 40 tahun. Namun pada usia itu Abul Hasan al-Asy’ari berbalik pandangan menjadi kontra mu’tazilah.
Karena pernah menjadi tokoh dua aliran yang berlawanan, kitabnya menjadi rujukan dua aliran itu pula. Di era sekarang ini kitab al-Ibanah terbit dalam berbagai versi ‘serupa tapi tak sama’ yang substansinya bertentangan.
Lihat saja terbitan Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah Lebanon edisi ‘Abdullâh Mahmûd Muhammad ‘Umar. Bila dibandingkan dengan edisi Dâr al-Anshâr Mesir versi Doktor Fawqiyyah Husein Mahmûd, kitab ini menghilangkan sebagian kalimat di halaman halaman 46 yaitu “istiwa yuliqu bihi min ghairi al istiqrar”.
Tidak adanya kalimat keterangan ini menimbulkan pemahaman antropomorphisme, yaitu personifikasi atas sifat ketuhanan. Menurut konsep Asy’ariyah, pemahaman ragawi semacam itu tidak benar karena kondisi Allah harus “bi la kayf” atau tidak redefinisi secara fisik.
Buku terjemahan al-Ibanah yang diterbitkan Turos Pustaka ini mengambil versi yang ditahqiq oleh Dr. Arrazy Hasyim, MA, dari versi Fawqiyyah Husein Mahmûd yang dicetak sebelumnya oleh Dar al Anshar, Mesir. Arrazy Hasyim adalah dosen Pascasarjana Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta dan pernah mengajar ilmu Kalam dan Filsafat Islam di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Untuk mendapatkan buku ini dengan harga terbaik, Klik di Sini
Judul: al-Ibanah an Ushul ad-Diyanah
Pengarang: al-Imam Abu Hasan al-Asy’ari
Penerbit: Turos Pustaka
Genre: Spiritual/Religi
Tebal: 320 halaman
Edisi: Cetakan 1, Desember 2021
ISBN: 978-623-7327-63-9