Belum lama ini saya membaca sebuah berita yang mengutip pernyataan Gubernur DKI Jakarta, Anies R. Baswedan yang menegaskan ia tidak punya problem dengan siapapun.
“Dari awal, saya sering mengatakan saya tidak minta Anda untuk menyukai saya, tapi saya minta Anda untuk bantu membangun Jakarta.” (Suara.com).
Apa yang diucapkan Anies ini menyiratkan efek polarisasi Pilkada DKI tahun 2017 masih terus terasa hingga kini. Apakah polarisasi tersebut hanyalah keributan yang dibuat di media sosial atau memang mewakili realita, waktu jualah yang akan membuktikan.
Terlepas dari hubungan panas dingin antara Anies Baswedan-Basuki Tjahaja Purnama beserta para fans dan hatersnya, konflik dan ambisi politik selalu mewarnai sejarah panjang kota Jakarta. Persaingan, konflik, dan perebutan kekuasaan menjadi semacam kutukan dari zaman dahulu hingga sekarang.
Begitulah yang diamati oleh Susan Blackburn, seorang peneliti politik dan sejarah Indonesia dalam bukunya yang berjudul Jakarta: Sejarah 400 Tahun.
Lewat buku setebal 392 halaman ini, Blackburn menarasikan dengan perlahan bagaimana ambisi para penguasa telah mewarnai dinamika kota yang memiliki tiga nama ini (Jayakarta, Batavia, dan Jakarta).
Buku ini juga mencakup konflik elit Orde Baru dan dampaknya terhadap pengelolaan Jakarta. Pastas saja buku yang pertama kali diterbitkan Oxford University Press dengan judul Jakarta: A History ini dilarang beredar di Indonesia di tahun 1987. Buku ini baru bisa masuk Indonesia setelah diterjemahkan oleh Penerbit Masup, Jakarta, tahun 2011.
Buku ini berkisah tentang rivalitas 400 tahun antar para petinggi Jakarta hingga masa kekuasaan Soeharto. Strukturnya dibagi setidaknya menjadi tiga bagian besar, bagian pertama adalah “Tuan-Tuan Lama”, bagian kedua “Masa-Masa Pengalihan”, dan bagian ketiga “Tuan-Tuan Baru”.
Di bagian pertama tergambar bagaimana bentuk rupa Batavia ketika dikuasai oleh penguasa-penguasa masa silam sebelum Belanda datang, seperti Pangeran Jayakarta, Kerajaan Banten, hingga Kerajaan Pajajaran.
Kemudian kekuasaan berpindah ke tangan kolonial, dimulai dari VOC yang pada awalnya ingin membangun kantor pusat perdagangan di Asia, hingga akhirnya menjadikan Batavia sebagai ibu kota Hindia Timur. Era ini berlangsung sejak kedatangan VOC hingga menjelang pendudukan Jepang di tahun 1943.
Di era ini ada kerumitan konflik menjelang penguasaan VOC, di antara elit Belanda dan juga di antara masyarakat Nusantara sendiri.
Kerajaan Pajajaran sebenarnya tidak punya problem perdagangan dengan kelompok muslim sejak sebelum abad ke-15, namun mereka mulai khawatir dengan berdirinya kesultanan-kesultanan Islam.
Di saat Portugis berhasil menaklukkan Malaka di tahun 1511, Pajajaran segera membuat kesepakatan dengan Portugis dengan meminta dibangunkan benteng di pantai utara Jawa dengan imbalan jatah lada. Sayang, perjanjian itu tidak pernah terwujud karena di tahun 1527 sudah ada penguasa baru di pantai utara Jawa bagian barat, yaitu Kesultanan Banten (h. 8).
Lalu ada konflik antara Kesultanan Banten dan Pangeran Jayakarta, sosok yang digambarkan Blackburn ingin menguasai Jayakarta dengan cara independen dari Banten. Ada pula drama persaingan antara Inggris dan Belanda berebut daerah jajahan, yang akhirnya dimenangkan Belanda (h. 11).
Di sisi lain Sultan Agung mencoba menguasai pelabuhan Jayakarta namun gagal hingga 2 kali. Belanda menjadi halangan utamanya dalam menguasai seluruh pulau Jawa (h. 14-15).
Bagian kedua adalah era pengalihan kekuasaan dari Belanda kepada penguasaan Jepang yang sedikit banyak memberikan ruang bagi para tokoh-tokoh di Indonesia. Tetapi masa itu juga terasa pilu dan membingungkan karena dunia sedang di bawah ombang-ambing Perang Dunia ke-II. Di satu sisi Jepang yang dari awal berjanji menghadiahkan kemerdekaan belum juga mewujudkannya karena mereka masih dalam posisi berperang melawan sekutu.
Blackburn menggambarkan ini adalah masa yang paling tidak pasti, penuh negosiasi dan intrik. Jakarta saat itu menjadi ajang perseteruan tiga kekuatan, pemerintahan pribumi, pemerintah Inggris yang hadir awalnya untuk mengawasi pelucutan senjata Jepang dari negeri jajahannya, dan Belanda yang “menumpang” Inggris tetapi mencoba berkuasa kembali.
Bagian terakhir didedikasikan untuk dua presiden yang berkuasa sejak tahun 1945 hingga masa penelitian buku ini, yaitu Soekarno dan Soeharto. Di bagian ini kita melihat bagaimana Jakarta yang sebenarnya tidak pernah menjadi simpul gerakan-gerakan anti kolonial sepanjang sejarah, oleh Ir. Soekarno diisi dengan simbol-simbol yang menggambarkan perjuangan lewat patung-patung besar yang hari ini kita lihat sebagai landmark Jakarta.
Meski menggelorakan perjuangan, namun Soekarno ingin bangunan-bangunan Belanda di Jakarta dibiarkan dalam bentuk aslinya. Di luar bangunan yang ada saat itu, Soekarno ingin ada bangunan yang punya makna simbolik yang kuat. Maka ia mewujudkan Monumen Nasional, Masjid Istiqlal, Gelora Bung Karno, hingga Gedung DPR di Senayan.
Setelah Soekarno jatuh, proyek-proyek itu diselesaikan oleh Ali Sadikin yang setuju dengan ide-ide besar Soekarno namun punya langkah-langkah yang lebih sistematis.
Ali Sadikin adalah plus minus bagi Jakarta. Tokoh yang yang mudah bergaul dengan banyak orang, termasuk kalangan agama ini berani dan mampu memunculkan skema pemasukan yang tidak dibayangkan sebelumnya, misalnya pajak perjudian hingga pelacuran.
Ia ditentang namun dibutuhkan. Namun pada akhirnya ia harus berselisih dengan etnis Betawi ketika para pengembang-pengembang besar “menganeksasi’ tanah-tanah pertanian orang Betawi. Misalnya pembelian lahan di Pondok Indah yang terlalu murah oleh developer, namun pemerintah tidak bisa berbuat banyak karena pengembang Pondok Indah punya hubungan erat dengan elit penguasa (h. 310-311).
Bagi siapapun yang ingin melihat secara sinkronik bagaimana sebuah kota dikelola sambil diperselisihkan dari masa ke masa, buku ini tepat untuk anda baca.
Judul: Jakarta, Sejarah 400 Tahun
Judul Asli : Jakarta : a history
Penulis: Susan Blackburn
Penerjemah: Gatot Triwira
Penerbit: Masup Jakarta
Genre: Sejarah
Tebal: 391 halaman
Edisi: Cetakan 2012
ISBN: 978-602-96256-3-9