Hajar Pandu
Dengan napas memburu, Gala menyeret Pandu ke tengah lapangan, Tidak peduli dengan siswa-siswi yang menjadikannya pusat perhatian ataupun guru-guru yang mulai menyaksikan. Gala memukuli Pandu berkali-kali.
Bugh!
“SIAPA YANG LO SEBUT ANAK HARAM?! SINI NGOMONG DEPAN MUKA GUE!!!”
Bugh!
Pandu mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Wajahnya sudah penuh dengan luka lebam. Setelah tahu apa yang Pandu lakukan pada Riri, Gala langsung menghajar pandu habis-habisan. Bagi Gala, tidak ada ampun untuk manusia seperti Pandu. Merendahkan Riri sama saja dengan merendahkan harga diri Gala. Membuat Riri menangis sama saja cari mati.
“Kenapa lo marah? Apa yang gue bilang itu bener kan? Riri itu anak HARAM!” Ucap Pandu menekankan kata baram dalam kalimatnya. Pandu berusaha berdiri, tapi sedetik kemudian Gala menendangnya hingga cowok itu terjatuh lagi. Gala semakin leluasa menghajar Pandu.
“MAU ANAK HARAM ATAU ENGGAK APA URUSANNYA SAMA LO?!”
Bugh!
Gala menendang perut Pandu sampai membentur besi tiang pendera yang ada di lapangan. Gala tersenyum miring, melihat Pandu yang kesakitan merupakan kesenangan tersendiri baginya. Hari ini pandu benar-benar berhasil membuat Gala kesetanan.
“Sakit? Gue rasa ini belum cukup buat lo nginep berhari-hari di rumah sakit.” Tersenyum miring. Kaki Gala terangkat hendak menginjak kepala Pandu. Namun, tiba-tiba terdengar suara lemah yang menginterupsi agar Gala menghentikan tindakannya.
“Gala, udah.” Riri menatap Gala sembari menggeleng lemah. Ia hendak maju menghampiri Gala, tapi tangannya dicekal oleh Choline.
“Jangan, Ri.”
“Riri nggak mau Gala diskors lagi,” balas Riri. Cewek itu tetap melangkahkan kakinya menghampiri Gala.
“Jangan,” Riri memegang lengan Gala lembut. Sorot mata Riri menunjukkan betapa lemahnya dia tanpa Gala.
Gala memposisikan dirinya menghadap Riri dengan sedikit membungkuk. Melupakan Pandu yang sudah terkapar lemah di bawahnya, “Lo nggak papa?”
Kedua tangan Gala terulur menangkup pipi Riri. Matanya memincing, meneliti setiap inci wajah gadis itu. Takut-takut jika terdapat luka di wajah cantik gadisnya. Kalau sampai itu benar terjadi dan penyebabnya adalah Pandu. Gala tidak akan rela. Ia bersumpah, akan menghabisi Pandu sekarang juga.
Riri menggeleng sembari berusaha mengusap peluh di dahi Gala yang menetes begitu banyak. “Riri nggak papa. Cukup ya, kasihan Pandu.”
“Lo diapain aja sama dia? Lo dipukul nggak?” Tanya Gala dengan raut wajah khawatir. Sorot matanya masih sibuk meneliti wajah Riri.
Orang-orang yang melihat interaksi mereka berdua sampai berdecak kagum. Gala yang tadi terlihat menyeramkan seperti iblis yang ingin Menghabisi nyawa musuhnya, kini cowok itu menjelma menjadi malaikat. Menatap Riri dengan sorot mata lembut dan terselip begitu banyak rasa khawatir di sana.
“Engga, Riri nggak papa kok,” Riri tersenyum meyakinkan.
Mata Riri beralih menatap Pandu yang terkapar lemah. Seluruh tubuhnya lebam dan berdarah. Meski sakit hati, Riri tetap meras,a kasihan pada Pandu. Bahkan Riri sampai ikut merasakan ngilu saat melihat wajah Pandu yang babak belur begitu. Bagaimanapun juga Pandu hanya manusia biasa yang wajar jika melakukan kesalahan.
Gala mengikuti arah pandang Riri. Ia kemudian berjongkok di depan Pandu. Tersenyum miring, Gala meraih kerah seragam Pandu dengan kasar. Gala mengancam tepat di depan wajah Pandu, “Minta maaf! Atau gue buat lo mati hari ini juga!!!”
Jika kalian pikir ucapan Gala hanya main-main saja, kalian salah. Bagi Gala tidak ada kata main-main dengan semua hal yang menyangkut tentang Riri. Riri itu napasnya Gala. Riri itu dunianya Gala. Riri itu hidupnya Gala. Riri itu… segalanya bagi Gala.
“Nggak mau minta maaf, lo?!” Sentak Gala membuat Pandu meringis kesakitan karena cengkeraman tangan Gala di kerah baju Pandu sangat kuat hingga lehernya terasa seperti dicekik.
“MINTA MAAF LO!!!”
“Gala,” panggil Riri lembut. Membuat Gala menoleh. “Udah nggak papa. Kasihan Pandu.”
“GALA ARSENIO ABRAHAM!” Kali ini bukan Riri yang memanggil, “APA YANG KAMU LAKUKAN SAMA PANDU?! INI SEKOLAH, BUKAN RING TINJU!” Bentak Pak Surya Matanya melotot tajam ke arah Gala yang masih terlihat santai.
Gala berdiri. Memposisikan dirinya sejajar dengan Pak Surya. Bukan maksud Gala ingin kurang ajar atau sok jagoan, Gala harus menjelaskan kalau di sini Pandu pantas mendapatkan ini semua. Bahkan menutut Gala, ini masih belum setimpal dengan perbuatan Pandu pada Riri.
“Bapak mau marah sama saya?” Tanya Gala santai.
Pak Surya geleng-geleng heran. Ia tidak habis pikir dengan jalan piker satu siswanya ini. Mana ada guru yang tidak marah kalau melihat siswanya berkelahi sampai lawannya babak belur begini.
IKUT KE RUANG BK SEKARANG!!”
“Nggak Pak!” Bantah Gala. “Saya nggak mau ke ruang BK, sebelum ia minta maaf ke Riri.”
Pak Surya mengernyitkan dahinya, “Di sini yang guru itu saya atau kamu? Kenapa kamu yang merintah saya? Jelas-yelas kamu yang hajar pandu sampai babak belur begitu, kenapa Pandu yang harus minta maaf?” Geram Pak Surya.
“Pandu yang salah, Pak!” Napas Gala kembali memburu. Ia berusaha mati-matian menahan dirinya agar tidak menghajar guru yang satu ini. namun sepertinya Pak Surya tidak bisa diganggu gugat.
Kabar Buruk
Bunda kenapa nggak bisa jawab?”
Mata Riri mulai berkaca-kaca. Sudah berapa kali ia menanyakan hal ini pada bundanya. Tetapi respons Desi masih sama. Tidak memberi jawaban yang bisa menjelaskan di mana, siapa, dan bagaimana sosok ayah Riri. Riri berjalan menghampiri bundanya yang tengah duduk di sofa. Riri memeluknya erat. Sangat erat.
“Maafin Riri, Bun. Riri nggak bermaksud buat Bunda sedih. Riri cuma mau tahu siapa ayah Riri.”
Tangan mungilnya mengusap sudut matanya yang berair. Riri tidak mau menangis dan membuat bundanya semakin sedih. Namun, Riri juga manusia biasa. Terlepas dari julukannya sebagai gadis cengeng, Riri hanya seorang anak yang ingin tahu siapa ayahnya. Bahkan Riri tidak berharap lebih, seperti ingin bertemu misalnya. Bagi Riri hanya tahu siapa ayahnya, itu sudah lebih dari cukup.
“Riri salah ya? Riri cuma mau tahu siapa ayah Riri, Bun. Riri capek. Dari dulu Riri dijauhin temen-temen karena Riri nggak punya ayah,” adunya sambil terisak. “Riri mau kaya temen-temen ngerasain punya ayah.”
Kepala Riri tertunduk lemah. Ia semakin mengeratkan pelukannya. Dari dulu Riri memang sering dijauhi dan diledek teman-temannya karena tidak punya ayah. Sebelum mengenal dan bertemu Gala, sangat sulit bagi Riri untuk mendapatkan teman yang benar-benar tulus. Hanya Nenda temannya dari taman kanak-kanak yang mau berteman dengan Riri. Namun, semenjak Riri punya Gala, tidak ada yang berani meledek Riri separah dulu. Bahkan sekarang, Riri mempunyai banyak seman meski tidak semua setulus Nenda dan Choline.
“Maafin, Bunda,” Seketika rasa bersalah hinggap di hatinya kala merasakan punggung Riri yang bergetar semakin kencang karena isak, tangis. “Bunda belum bisa ngasih tahu Riri sekarang. Suatu saat Riri pasti akan tahu.” Desi menjeda ucapannya. “Maafin Bunda, Sayang.”
“Bun…”
Mata Riri yang basah menatap bundanya penuh harap. Riri hanya ingin tahu siapa ayahnya. Masih hidup atau meninggal. Apa itu salah? Apa salah seorang anak ingin tahu di mana ayahnya?
Desi menghela napas berat. “Maaf, Sayang.”
Untuk sekarang hanya dua kata itu yang bisa Desi ucapkan pada Riri. Ini belum saatnya. Belum saatnya Riri tahu siapa ayahnya. Belum saatnya Riri harus menerima kenyataan pahit.
“Riri cuma pengen tahu siapa ayah Riri, Bun! Riri nggak mau disebut anak haram! Riri cuma mau tunjukin ke mereka kalo Riri punya ayah!” Riri berdiri di depan bundanya.
Desi mencoba meraih tangan gadis itu, tapi langsung ditepis, “Apa salahnya Bunda kasih tahu Riri? Cuma kasih tahu, Bun!”
Riri kembali mengusap pipinya yang basah. “Riri nggak minta apa-apa, Cuma minta bunda ngasih tahu. Apa seenggak berhak itu Riri tahu siapa ayah Riri?” Tanyanya parau karena suaranya tertahan oleh isak tangis.
“Ri,” Desi memegang pundak yang bergetar itu. “Bunda cuma nggak mau nyakitin kamu, Sayang.”
“Riri cuma mau tahu siapa ayah Riri, Bun!” Riri menepis tangan Desi yang bertengger di kedua pundaknya.
Desi memeluk Riri erat. Diusapnya punggung kecil itu perlahan. “Ayah kamu udah punya kehidupan baru. Bunda cuma nggak mau kamu tersakiti dengan kenyataan ini. Itu sebabnya Bunda nggak pernah kasih tahu siapa ayah kamu.”
Seketika gelojak menyakitkan itu menghantam dadanya begitu kuat. Mengetahui bahwa ayahnya masih hidup, tapi tidak pernah menemuinya memang lebih menyakitkan dari apa pun.
“Siapa Bun?” Tanya Riri dengan suara lirih.
Desi menggeleng, “Suatu saat kamu akan tahu, Sayang.”
“Tapi Riri mau tahu sekarang, Bun, hiks… hiks… Riri cuma pengen tahu. Riri janji nggak bakal ganggu keluarga ayah yang sekarang. Riri janji Bun, hiks.. hiks… Riri janji. “
“Mau es krim?” Riri menggeleng.
“Mau jalan-jalan?” Riri menggeleng.
“Mau nonton?” Riri menggeleng.
Gala berdecak kemudian merebahkan tubuhnya di sofa. Tadi ia diminta Desi untuk membawa Riri jalan-jalan. Karena sejak pulang sekolah kemarin Riri hanya mengurung dirinya di dalam kamar. Tidak mau makan dan minum susu seperti biasanya. Bahkan Riri juga menolak saat Desi mengajaknya bicara.
Alih-alih mengajak Riri jalan-jalan gadis itu malah mengajak Gala ke apartemennya. Di apartemen Gala, Riri hanya berdiam diri. Entah apa yang sedang gadis itu pikirkan. Gala jadi bingung sendiri. Sebenarnya Gala sudah tahu titik masalahnya dari cerita Desi semalam. Namun, Gala lebih memilih diam, seolah tidak tahu apa pun.
“Lo diem mulu, mau semedi?” Gala melempar kulit kacang ke wajah Riri
“Galaaaa!” Mata Riri sudah berkaca-kaca, Tidak tahukah Gala ini? Mood Riti itu sedang tidak bagus. Ini bukannya dihibur malah diusilin
“Kan kumat cengengnya,” Gala menghampiri Riri yang tengah duduk di karpet, “Udah, udah jangan nangis.” Gala membawa Riri kedalam dekapannya. Mengusap-usap punggung kecil itu dengan saying. Sebuah Ide cemerlang muncul di benaknya. Gala menyanyikan lagi “Nina Bobo” dengan lirik yang ia ubah seenak jidat.
“Riri sayang, oh Riri sayang. Kalau Riri nangis, manisnya ilang.”
Gala memeluk Riri erat. Mengayunkan tubuh mungil itu ke kanan dan ke kiri sambil terus bersenandung riang. Sementara Riri, gadis itu menahan sudut bibirnya yang berkedut ingin membentuk sebuah lengkungan ke atas.
“Kalo pengen senyum, senyum aja. Jangan sok ditahan gitu,” goda Gala. Mulutnya terbuka untuk melahap pipi gembul Riri.
“Sakit,” adu Riri mengusap pipinya yang basah karena ulah Gala.
“Coba senyum dulu,” ujar Gala mencontohkan senyumnya sembari mengangkat kedua alis.
Riri yang malu karena ditatap Gala sambil tersenyum manis begitu segera menyelusupkan kepalanya ke dada bidang Gala. “Riri malu, ih!” Riri memukul lengan Gala.
Gala terkekeh geli, “Woi! Malu napa, Sri?”
“Malu. Gala ganteng banget kalo senyum kaya tadi,” jujur Riri. “Riri nggak kuat. Damage-nya nggak ada obat.”
Gala kembali terbahak, “Astaga, Sri, Sri. Lo ngomong gitu belajar dari mane?”
“Dari Instagram,” ujarnya polos membuat Gala semakin gemas.
Gala menundukkan kepalanya. Tangannya beralih untuk mengangkat dagu Riri. Sedetik kemudian Gala menggesekkan hidungnya dengan hidung Riri, gemas. “Kok lo gemesin banget dari kemaren,” kata Gala. “Sampe tadi malem, masa gue mimpi ciuman sama lo? Lo mau buat mimpi gue jadi nyata ngga?”
Mata Riri mengerjap polos, “Gimana?”
“Gini.”
Drttt… drtt… drttt…
“Ganggu aja anjir!” Gala mengangkat kepala. Tangannya meraih ponsel yang ada di saku jaketnya.
“Apa nyet?” Gas Gala meletakkan ponsel di telinga.
“Akbar, Gal! Akbar!” Ucap Uham di seberang sana. Suaranya terdengar sangat panik.
“Akbar kenapa?” Gala masih santai. Rasa kesal pada Ilham masih mendominasi karena cowok berwujud jenglot itu mengganggu aksi modusnya barusan.
“Gue ada kabar buruk.” “Paan?”
“Akbar masuk ramah sakit!” “Hah? Yang jelas kalo ngomong!”
Akbar habis dikeroyok anak Volker. Sekarang dia di rumah sakit,”
“Masih hidup nggak?”
“Sialan, Mulut lo! Masih lah, Dia babak belur, tapi nggak sampe koma kayak dulu.”
“Oke, setengah jam lagi gue sampe markas.”
“Ngapain?”
“Akbar di rumah sakit siapa yang jaga?”
“Orang tuanya”
“Yaudah, kan dia ada yang jaga. Kita kumpul di markas buat bahas rencana pembalasan ke Volker. Lo kabarin semuanya. Setengah jam laggi gue kesana,” tambah Gala.