Lagi dan Lagi
“Gimana perasaan kamu sekarang?” tanya Dokter Hana kepada Samuel.
“Lumayan,” balas Samuel tenang. Perasaannya terasa lebih baik daripada tadi. Berkat bantuan dari Dokter Hana, dia mulai bisa mengontrol kembali emosinya yang sempat meluap-luap. Sekarang, perasaannya jauh lebih tenang. Kedua matanya kini menatap seorang dokter wanita yang tengah merapikan barang-barangnya dari atas meja.
“Kamu masih belum bisa kontrol emosi sendiri?” tanya dokter Hana.
“Kadang….”
Dokter Hana tersenyum tipis mendengar itu. “Kalau kamu marah, sedih, ekspresikan aja dengan cara melukis.”
“Udah. Tapi nggak banyak membantu,” balas Samuel dengan helaan napas berat.
“Pelan-pelan, kamu pasti bisa,” kata Dokter Hana meyakinkan. “Udah dua tahun lho, nggak kasian sama orangtua kamu?”
Kasihan?
Samuel terdiam. Jelas saja dia merasa kasihan dengan kedua orangtuanya. Mereka pasti lelah menghadapinya dan segala permasalahan hidupnya. Lagipula, Samuel juga tidak ingin terus-terusan berada dalam posisi ini, meski kondisinya sekarang jauh lebih baik daripada dua tahun yang lalu.
“Capek…,” jawab Samuel. Cowok itu mengembuskan napas lelah dan mengusap wajahnya.
“Jangan sampai kamu ngelakuin hal yang aneh-aneh.” Dokter Hana mengingatkan, “Kalau kamu berpikiran buruk, coba inget-inget perjuangan orangtua kamu yang udah besarin kamu sampai sekarang. Ayo dong, masa nyerah gitu aja?”
Samuel mendengus lelah.
“El cuma kasihan sama orang-orang yang deket sama El. Kadang, mereka kena imbasnya kalau El lagi bener-bener ngerasa nggak enak….”
“El, apa pun yang terjadi, masih ada keluarga yang terus memberikan dukungan untuk kamu. Jangan menyerah, ya. Perjalanan kamu masih panjang ini semua memang sulit. Tapi saya yakin kamu bisa melewati semuanya,” Terang Dokter Hana dengan lembut seperti biasanya.
Samuel mengangguk, “El bakalan tetep coba itu.”
Setelah mengatakan itu, matanya terpejam. Pikirannya berkelana ke mana-mana. Banyak hal yang bersarang di otaknya; mulai dari masa lalunya, hubungannya dengan Azura, juga teror yang dia dapatkan kemarin. Semua itu benar-benar menyita perhatiannya. Samuel ingin semua ini cepat berakhir dan dia bisa menjalani hidup dengan normal.
Semua pikiran itu campur aduk di kepalanya hingga membuat Samuel lupa waktu dan tidak memperhatikan sekitar. Karenanya, dia sedikit terlompat kaget saat melihat Azura yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya.
“Baby El.”
“Negapain lo?” tanya Samuel kesal. Cowok itu refleks menatap sekitarnya. Keningnya mengerut saat menyadari Dokter Hana sudah tidak ada. Sejak kapan dokter itu pergi?
Tidak ingin menyerah, Azura pun berjalan ke hadapan Samuel. Wajahnya tidak bersemangat seperti biasanya. Ada gurat kesedihan di sana. Bahkan, kedua mata cantik beriris hitam milik cewek itu yang biasanya memancarkan sinar kebahagiaan, kini terlihat sayu dan menyiratkan kesedihan yang mendalam.
“Bunda nyuruh aku buat nemenin kamu di rumah,” jelas Azura. Itu memang benar. Kiara khawatir kalau ada apa-apa dengan Samuel, sementara wanita itu tengah pergi bersama David untuk bertemu rekan bisnis mereka.
“Nggak perlu. Pulang aja,” balas Samuel dengan pandangan yang fokus pada ponsel yang berada di tangannya.
“Tapi kata Bun—“
“Pulang sana!” usir Samuel.
Azura menggeleng keras. Bukannya pergi, cewek itu justru duduk di sofa yang berhadapan dengan Samuel. “Nggak mau!” balasnya.
Mendengar itu, Samuel pun menaikkan pandangannya dan menatap Azura tidak suka. Harus dengan cara apalagi dia menyuruh cewek itu untuk bergi?
“Pergi. Gue nggak butuh lo.”
“Kalau emang aku ada salah sama kamu, aku minta maaf” ujar Azura,
Cewek itu berdiri dari duduknya dan berjalan mendekat ke arah Samuel. Tangan kanannya dia ulurkan di depan cowok itu sebagai tanda permintaan Maaf.
“Gue cuma mau lo pergi, apa itu sulit?” Samuel menaikkan sebelah alisnya denpan pandangan bertanya,
“Kalau kamu kenapa-kenapa gimana? Nanti aku dimarahin sama Bunda,” rengek Azura.
“Gue bukan anak kecil!” sentak Samuel tidak suka. “Gue nggak bakal kenapa-kenapal”
Karena Samuel tidak kunjung menyambut ulurannya, Azura pun memilih untuk menarik tangannya. Matanya mulai berkaca-kaca. “Aku cuma punya kamu, Bi Santi, sama Pak Mamat. Kalau kamu kayak gini, aku jadi ngerasa kchilangan satu orang lagi.”
“Terus?”
“Aku cuma pengin ngerasain disayang sama banyak orang.” Azura menunduk lesu.
Samuel terdiam. Dia sangat paham dengan perasan Azura sekarang, Namun, bagaimana lagi? Dia tidak bisa membiarkan cewek itu berada di sisinya. Tidak selama ada ancaman yang mengintainya. Maka dari itu, Samuel tidak memiliki pilihan lain selain membuat cewek itu menjauhinya. “Pulang!” usirnya dengan nada datar.
“Tap––“
“GUE BILANG PULANG!” bentak Samuel yang sudah kehabisan kesabaran. “Harusnya lo bisa mikir kalau punya otak!”.
Azura tertegun. Cewek itu menatap wajah Samuel dengan mata berkaca-kaca. Seumur-umur, dia belum pernah dibentak orang selain Raskal. Sekarang, gantian Samuel yang melakukannya.
“Aku pulang,” Azura tak tahan lagi. Dia berlari keluar dari rumah Samuel dengan berbagai perasaan menyelimutinya; sedih, marah, bercampur dengat rasa kecewa.
Azura bingung. Sangat bingung. Baru beberapa hari yang lalu dia merasa berbunga-bunga karena perasaan Samuel sudah mengalami perkembangan. Namun, kali ini dia kembali dibuat jatuh sejatuh-jatuhnya. Dalam satu hari saja, banyak makian yang dia terima dari Samuel dan itu membuat perasaannya sangat sakit.
Setelah Azura pergi, Samuel meninju tembok yang ada di sampingnya untuk melampiaskan emosi yang menyeruak kuat di dadanya.
“ARGGGH!” pekiknya penuh dengan emosi pada dirinya sendiri.
Kenapa semua harus seperti ini?
Suasana di pemakaman Tanah Kusir masih terasa sama seperti terakhir kali Azura menginjakkan kaki di sana. Dingin, suram, dan tidak menyenangkan—membuat perasaannya sesak. Ya, sepulang dari rumah Samuel, dia meminta tolong kepada Pak Mamat untuk mengantarnya ke tempat peristirahatan abadi kedua orangtuanya.
“Bentar, ya, Pak Mamat,” ujar Azura kepada sopir keluarganya itu. “Santai aja, Neng.”
“Maafin Zura, ya. Padahal Pak Mamat lagi sakit,” ujar Azura dengan wajah tidak enak.
“Udah tugas Bapak. Lagian sekarang juga sakitnya udah mendingan daripada tadi. Neng Zura buruan ke makam Bapak sama Ibu,” balas Pak Mamat tersenyum tulus.
Azura mengangguk semangat mendengar jawaban dari Pak Mamat, lalu melangkah masuk ke area pemakaman kedua orangtuanya dan juga kakak laki-lakinya.
“Neng Zura hebat banget. Masih bisa senyum meskipun ditinggal sendirian sama keluarga,” gumam Pak Mamat seraya memperhatikan kepergian Azura.
Beberapa waktu kemudian, Azura sudah berdiri di antara makam Ayah, Mama, dan kakaknya. Cewek itu mencoba tersenyum meskipun matanya kini mulai basah oleh air mata. Lama berdiri diam, isak tangisnya mulai meluncur turun.
“Mama…, Zura kangen dipeluk sama Mama….”
Tidak kuasa menahan perasaannya, Azura pun terduduk di tanah dengan kedua bahu bergetar hebat. Isak tangisnya semakin jelas terdengar. Perlahan, tangannya terangkat untuk menggapai nisan mamanya.
“Kenapa Tuhan nggak adil sama Zura? Kenapa kalian bertiga diambil duluan dan ninggalin Zura sendirian?” Azura mengusap kedua pipinya yang kian banjir air mata. Cewek itu memukul dadanya yang terasa sangat sesak, Mama sama Papa bilang ke Bi Santi kalau Baby El orangnya baik. Tapi buktinya apa? Dia selalu marahin Zura. Sekarang, Zura harus gimana?”
Azura terus menangis tanpa mempedulikan seandainya ada orang lain Yang melihat. Kini, cewek itu beralih menghadap ke arah makam papanya.
“Papa nggak mau liat bintang sama Zura lagi?” tanyanya pilu. “Pulang sebentar aja, nanti kita main sama-sama.”
Azura menunduk dalam. Cewek itu kembali menangis sesenggukan dengan tangan mencengkeram rerumputan di sekitarnya. Beberapa saat kemudian cewek itu berdiri, lalu berjalan menuju makam_ kakaknya, Dibanding dengan makam kedua orangtuanya, makam kakak laki-lakinya itu terlihat usang karena sudah bertahun-tahun lamanya.
Albyan Gemantara
“Abang udah nyaman di sana, ya? Sampai-sampai udah lupa sama Zura,” gumam Azura disertai senyuman getir. “Bahkan, mampir ke mimpinya Zura aja nggak pernah. Dulu, kita sering diem-diem makan permen biar nggak ketahuan Mama sama Papa. Abang nggak kangen itu? Ayo balik, temenin Zura di sini,” kata Azura seolah-olah mengajak bicara kakaknya
Cewek itu terdiam sejenak. Air matanya kembali meleleh. Terlalu rindu dengan Albyan membuat Azura kerap terbayang-bayang wajah kakaknya itu. Tiba-tiba saja dia sudah menangis lagi.
“Dunia jahat dan nggak adil. Tuhan ambil semua yang Zura punya!” teriaknya frustrasi.
“Siapa bilang?”
Isakan tangis Azura terhenti ketika mendengar suara seseorang yang begitu dekat dengannya. Cewek itu mendongak untuk melihat siapa pemilik suara tadi. Matanya langsung membulat.
“Apan?”
Canva berdiri di belakang Azura, memamerkan senyum lembut yang membuat kedua matanya menyipit. Cowok itu lantas berjongkok di sebelab Azura dan mengusap pundak Azura yang bergetar hebat.
“Gue ngikutin lo dari rumah. Maaf, ya?” ujar Canva menjelaskan sebelum Azura menanyakannya.
Azura mengusap air matanya. Lagi dan lagi, cowok itu kembali datang ketika Azura tengah sedih seperti sekarang ini. Canva seperti obat penawar untuk kesedihan; seperti malaikat yang menghibur orang-orang yang dia sayangi agar mampu tersenyum lagi. Fakta itu membuat mata Azura kembali berkaca-kaca,
“Aku… boleh peluk Apan?” tanya Azura penuh harap. Dari sorot matanya saat ini, terlihat jelas kalau Azura benar-benar merindukan kehangatan dari keluarganya,
“Tapi, Ra—”
“Pelukan sebagai adik sama kakak. Boleh, ya?” pinta Azura lagi. Melihat itu, Canva pun merasa tidak tega. Dia mengangguk. Tanpa membuang waktu, Canva pun mendekap erat tubuh Azura dan membiarkan kepala cewek itu bersandar di dada bidangnya. Canva ingin memberikan sebuah pelukan hangat menenangkan yang sangat Azura rindukan.
Usapan lembut tangan Canva di kepalanya itu membuat Azura seolah kembali merasakan kasih sayang dari seorang kakak. Tiba-tiba saja cewek itu sudah menangis hebat.
Canva menepuk-nepuk punggung Azura, berharap dapat membuat tangis cewek itu reda.
“Nangis aja, Ra, selagi itu bisa bikin lo lega,” bisik Canva di telinga Azura. Jangan pernah ngerasa sendiri. Lo masih punya gue dan anggota Diamond lainnya. Anggep aja kita semua keluarga.”
“Ngantuk, ya, Ra?” tanya Canva saat melihat Azura yang menguap lebar.
“Humm,” balas Azura sambil melebarkan matanya. “Tapi masih mau main di sini.”
Setelah dari makam tadi, Canva mengajak Azura untuk pergi ke markas. Namun, cewek itu tidak tahu kalau ternyata Samuel juga berada di sana. Perasaan Azura yang sedikit tenang setelah dihibur oleh Canva, kembali menjadi gundah ketika melihat Samuel di sana. Seandainya saja Azura sedang tidak malas diam di rumah, dia pasti sudah memilih untuk pulang. Karenanya, cewek itu pun mencoba mengabaikan kehadiran Samuel meskipun tidak mudah.
“Diem-diem mulu. Lagi marahan, ya?” tanya Marvin yang menyadari kalau sejak tadi Azura dan Samuel tidak saling berbicara satu sama lain. “Neggak usah ikut campur. Urusin aja ratusan pacar lo yang terbengkalai itu,” ujar Farzan menasihati.
“Lo juga nggak usah ikut campur. Mending pikirin gimana caranya dapetin Lamborghini,” balas Marvin, masih fokus pada layar televisi. Saat ini dia dan Farzan tengah bermain PS.
“AMPUN, EKSAYANG!” Ilona berlari sekencang mungkin dari arah dapur dengan Areksa yang mengejarnya dari belakang. Karena tidak fokus melihat ke depan, Iona tersandung kaki Azura yang selonjoran di atas karpet.
Bruk.
Melihat Ilona tersungkur dengan hebohnya ke lantai, Areksa, Samuel, dan Canva pun dengan cepat menghampiri cewek itu.
“Mana yang sakit?” tanya Areksa panik sambil membantu kekasihnya untuk duduk.
“Lutut.” Iona mengusap-usap kedua lututnya. Begitu Areksa melihat, benar saja, kedua lucut cewek itu memerah karena terbentur lantai dengan keras.
“Sori, Na,” ujar Samuel. Wajah cowok itu terlihat lelah. Matanya melirik tajam ke arah Azura.
Azura yang merasa kalau dirinya berada terancam bahaya pun hanya bisa diam seraya menunduk. Beberapa detik setelahnya, dugaannya pun akhirnya tetjadi. Samuel tiba-tiba menarik tangannya dan memaksanya untuk berdiri.
“Pulang,” ujar Samuel dengan nada tajam. Ekspresi wajah cowok itu terlihat dingin. “Maaf, Na. Aku nggak sengaja,” ujar Azura kepada Ilona.
“Lo itu cuma bisa nyusahin. Ini udah kedua kalinya. Kalau sampai kejadian lagi, gue yakin lo cuma sengaja,” balas Samuel.
“Aku beneran nggak sengaja kok. Kenapa pikiran kamu negatif kayak gitu?” tanya Azura tidak menyangka.
“Lo iri sama Ilona, kan?” Samuel tertawa mengejek.
“Dia dapet banyak perhatian dari kita. Makanya lo ngerasa iri. Itu, kan, maksud lo?”
“Kamu kenapa, sih? Aku nggak pernah ngerasa iri sama Ilona. Dia baik ngapain aku iri sama dia?”
“El, udah.” Ilona beralih menatap Azura. “Jangan ditanggepin, Ra, emang suka gitu. Gue nggak apa-apa kok,” lanjutnya menengahi agar kejadian itu tidak semakin panjang.
“Ini alesan kenapa gue males sama lo. Ceroboh, berisik, dan seenaknya sendiri. Coba ubah dikit sikap lo itu biar nggak bikin beban.”
“KETERLALUAN LO”
BUGH
Canva memukul wajah Samuel dengan kencang. Terlihat dari wajahnya kalau cowok itu sangat murka. Seluruh inti Diamond yang melihat itu pun kompak membulatkan matanya. Mereka tidak pernah melihat Canva semarah ini sebelumnya. Ekspresi wajah Canva saat ini sama sekali tidal mencerminkan kepribadiannya yang receh.
Cowok itu… benar-benar marah kepada Samuel.