Tak Pernah Cukup
Ketika orang kaya berperilaku gila
John Bogle, pendiri Vanguard yang meninggal pada 2019, pernah menyampaikan satu cerita mengenai uang yang menyoroti sesuatu yang kurang banyak kita pikirkan:
Di satu pesta yang diadakan seorang miliarder di Shelte, Island, Kurt Vonnegut memberitahu kawannya, Joseph Heller, bahwa tuan rumah mereka, seorang manajer dana lindung nilai, mendapat lebih banyak uang daripada semua yang didapat Heller dari novel sangat populernya Catch-22. Heller menjawab, “Ya, tapi saya punya sesuatu yang dia tak akan punya … rasa cukup.:
Cukup. Saya kaget dengan kesederhanaan kata itu- karena dua alasan: pertama, karena saya sudah diberi begitu banyak dalam hidup saya sendiri, dan kedua, karena Joseph Heller amat sangat tepat.
Untuk sebagian masyarakat kita, termasuk banyak orang yang paling kaya dan berkuasa, tampaknya tak ada batas “cukup’
Sangat cerdas, dan sangat kuat.
Saya akan menawarkan dua contoh bahayanya tidak memiliki rasa cukup, dan apa yang bisa diajarkan contoh-contoh itu.
Rajat Gupta lahir di Kolkata dan menjadi yatim piatu pada umur belasan. Orang bicara mengenai segelintir anak yang sejak lahir sudah kaya, Gupta bukan anak semacam itu.
Yang dia capai dari awal seperti demikian benar-benar fenomenal.
Pada umur pertengahan 40-an Gupta menjadi CEO McKinsey: perusahaan konsultasi paling bergengsi di dunia. Dia berhenti pada 2007 untuk bekerja di PBB dan World Economic Forum. Dia bermitra dengan Bill Gates untuk kerja filantropi. Dia berada di dewan direksi lima perusahaan publik. Dari kawasan kumuh Kolkata, Gupta berubah menjadi salah satu pebisnis paling sukses yang masih hidup sekarang.
Keberhasilannya mendatangkan kekayaan besar. Pada 2008 Gupta dilaporkan berharta $100 juta. Jumlah yang tak terbayangkan bagi kebanyakan orang. Keuntungan tahunan lima persen dari uang sebanyak itu sama dengan hampir $600 per jam, 24 jam per hari.
Dia bisa melakukan apa pun yang dia inginkan dalam hidup.
Dan yang dia inginkan sepertinya bukan hanya memiliki seratus juta dolar. Rajat Gupta ingin miliaran. Sangat ingin.
Gupta menjadi salah seorang direktur Goldman Sachs, yang dikelilingi beberapa investor terkaya di dunia. Seorang investor, ketika menceritakan masa jaya para taipan ekuitas pribadi, menjabarkan Gupta sebagai berikut: “Saya pikir dia ingin ada di lingkaran itu. Lingkaran miliarder. Goldman sepertinya baru untuk level ratusan juta, kan?”
Benar. Makanya Gupta mencari pekerjaan sampingan yang hasilnya besar.
Pada 2008, selagi Goldman Sachs menghadapi amukan krisis keuangan, Warren Buffett berencana menginvestasikan $5 miliar ke bank itu untuk membantunya bertahan. Sebagai anggota dewan direksi Goldman, Gupta mengetahui transaksi itu sebelum publik tahu. Informasi berharga. Kelangsungan hidup Goldman diragukan dan dukungan Buffett bakal membuat harga sahamnya naik.
Enam belas detik sesudah mengetahui transaksi yang akan terjadi, Gupta yang tadinya terhubung telepon ke rapat direksi Goldman memutus hubungan dan ganti menelepon manajer dana lindung nilai bernama Raj Rajaratnam. Panggilan teleponnya tak direkam, tapi Rajaratnam langsung membeli 175.000 saham Goldman Sachs, jadi bisa ditebak apa yang dibahas. Kesepakatan Buffett-Goldman diumumkan ke publik beberapa jam kemudia. Saham Goldman naik harganya. Rajaratnam untung $1 juta dengan Cepat.
ltu satu contohnya. SEC (US Securities and Exchange Commission, lembaga penegak hukum sekuritas AS) menyatakan tips orang, dalam dari Gupta menghasilkan keuntungan sampai $17 juta,
Uang yang mudah didapat. Dan bagi jaksa, kasusnya lebih mudah lagi.
Gupta dan Rajaratnam sama-sama dihukum penjara karena insider trading, karier dan reputasi keduanya rusak untuk seterusnya
Kini ingatlah Bernie Madoff. Kejahatannya terkenal. Madoff pelaku skema Ponzi paling terkenal sejak Charles Ponzi sendiri. Madoff menipu para investor selama dua dasawarsa sebelum kejahatannya terungkap—ironisnya, hanya beberapa minggy sesudah Gupta.
Yang diabaikan adalah bahwa Madoff, seperti Gupta, bukan sekadar penipu. Sebelum skema Ponzi yang membuatnya terkenal, Madoff adalah pengusaha wajar-wajar saja yang amat sukses.
Madoff membuat pasar yang mempertemukan pembeli dan penjual saham. Dia sangat jago melakukan itu. Berikut cara The Wall Street menjabarkan perusahaan pembuat pasar Madoff pada 1992:
Dia telah membangun perusahaan sekuritas yang sangat menguntungkan, Bernard L. Madoff Investment Securities, yang menyedot banyak perdagangan saham dari Big Board (New York Stock Exchange—Penerj.). Volume perdagangan rata-rata $740 setiap hari yang dilakukan secara elektronik oleh perusahaan Madoff setara dengan 9% volume NYSE. Perusahaan Mr. Madoff bisa melakukan jual beli begitu cepat dan murah sehingga bisa membayar perusahaan pialang lain satu penny per saham untuk melaksanakan perintah konsumen, sambil mendapat laba dari selisih harga penawaran dan permintaan sebagian besar saham yang diperjualbelikan.
ltu bukan tulisan jurnalis yang keliru menjabarkan penipuan yang belum ketahuan; bisnis penyediaan pasar Madoff itu sah. Seorang mantan staf berkata bahwa cabang penyediaan pasar di bisnis Madoff beromset antara $25 juta dan $50 juta per tahun.
Bisnis sah Bernie Madoff yang bukan tipu-tipu jelas sangat berhasil. Dia jadi sangat kaya karenanya—secara halal.
Namun tetap saja Madoff kemudian menipu.
Pertanyaan yang kita harus ajukan ke Gupta dan Madoff adalah mengapa orang yang sudah punya ratusan juta dolar masih ingin uang lebih banyak sampai-sampai mengambil risiko untuk mengejar lebih banyak.
Kejahatan yang dilakukan orang kepepet itu satu hal. Seorang penipu Nigeria pernah memberitahu The New York Times bahwa dia merasa bersalah karena menyakiti orang lain, tapi “kemiskinan akan membuat kita tak merasa sakit.”
Gupta dan Madoff melakukan sesuatu yang berbeda. Mereka sudah punya semuanya: kekayaan tak terbayangkan, prestise, kekuasaan, kebebasan. Mereka kemudian membuang itu semua karena ingin lebih.
Mereka tak tahu kapan harus berkata cukup.
Mereka contoh ekstrem. Namun ada versi perilaku itu yang tidak criminal.
Dana lindung nilai Long-Term Capital Management mempekerjakan para trader yang masing-masing berharta puluhan dan ratusan juta dolar, sebagian besar kekayaan mereka diinvestasikan di dana lindung nilai itu sendiri. Kemudian mereka mengambil risiko sangat besar demi mengejar lebih banyak sampai mereka kehilangan segalanaya—pada 1998, di tengah pasar bullish terbesar dan ekonomi terkuat dalam sejarah. Warren Buffett belakangan berkata:
Untuk mencari uang yang mereka tak miliki dan butuhkan, mereka mempertaruhkan apa yang mereka miliki dan butuhkan. Itu bodoh. Benar-benar bodoh. Jika Anda mempertaruhkan sesuatu yang penting bagi Anda untuk yang tak penting bagi Anda, itu tak masuk akal.
Tak ada alasan untuk mempertaruhkan sesuatu yang Anda miliki dan butuhkan demi apa yang tak Anda miliki dan tak Anda butunkan.
Itu salah satu hal yang jelas tapi biasa diabaikan.
Sedikit di antara kita yang akan pernah punya $100 juta seperti Gupta atau Madoff. Namun sebagian pembaca butu ini pada suatu saat dalam hidupnya akan mendapat gaji atau punya sejumlah uang yang cukup untuk mendapatkan semua hal masuk akal yang mereka butuhkan dan banyak yang mereka inginkan.
Jika Anda salah seorang di antara mereka, ingat beberapa hal.
1. Keahlian keuangan tersulit adalah menjaga tiang gawang agar berhenti bergerak.
Namun itu salah satu yang paling penting. Jika harapan naik bersama hasil, tidak ada logikanya untuk mengusahakan lebih karena Anda akan merasakan hal yang sama sesudah berusaha lebih keras. Jadinya berbahaya ketika keinginan merasa lebih-lebih banyak uang, Kekuasaan, gengsi-menaikan ambisi lebih cepat daripada kepuasan. Dalam hal demikian, satu langkah maju mendorong tiang gawang dua langkah ke depan. Anda merasa seolah ketinggalan, dan satu-satunya cara mengeja adalah menanggung risiko yang makin lama makin besar.
Kapitalisme modern sangat hebat dalam dua hal: menciptakan kekayaan dan menciptakan rasa iri. Barangkali keduanya bergandengan; ingin mengalahkan sesama bisa menjadi pendorong kerja keras. Namun kehidupan tak asyik tanpa rasa cukup. Kebahagiaan hanyalah hasil dikurangi harapan, katanya.
2. Perbandingan sosial adalah masalahnya.
Pikirkan pemain baseball profesional yang baru mulai berkarier, digaji $500.000 per tahun. Dia kaya, menurut definisi apa pun. Namun anggap dia bermain di tim yang sama dengan Mike Trout, yang punya kontrak 12 tahun senilai $430 juta. Kalau dibandingkan, si pemain baru seperti orang miskin. Namun pikirkanlah juga Mike Trout. Tiga puluh enam juta dolar per tahun adalah uang berjumlah luar biasa besar. Namun agar masuk daftar sepuluh manajer dana lindung nilai dengan bayaran terbesar pada 2018, kita perlu mendapat setidaknya $340 juta dalam satu tahun. Orang-orang seperti itulah yang dijadikan pembanding pendapatan Trout. Dan manajer dana lindung nilai yang mendapat $340 juta per tahun membandingkan diri dengan lima manajer dana lindung nilai paling top, yang mendapat setidaknya $770 juta pada 2018. Para manajer top itu bisa memandang orang seperti Warren Buffett, yang harta pribadinya bertambah $3,5 miliar pada 2018. Seseorang seperti Buffett dapat membandingkan diri dengan Jeff Bezos, yang hartanya bertambah $24 miliar pada 2018—jumlah pendapatan per menit yang lebih banyak daripada Ppendapatan si pemain baseball “kaya” dalam satu tahun penuh.
Intinya adalah batas atas perbandingan sosial sangat tinggi sehingga nyaris tak ada yang akan pernah mencapainya. Artinya ltu pertempuran yang tak pernah dimenangkan, atau bahwa satu-satunya cara untuk menang adalah tidak bertarung sejak awal-menerima bahwa Anda barangkali sudah punya cukup harta, meski itu lebih sedikit daripada yang dimiliki orang sekeliling Anda.
Kawan saya setiap tahun pergi ke Las Vegas. Pada satu tahun dia bertanya kepada bandar: Anda bermain apa, di kasino mana? Si bandar dengan serius menjawab: “Satu-satunya cara untuk menang di kasino Las Vegas adalah langsung keluar sesudah masuk.”
Persis begitulah cara kerja permainan mengimbangi kekayaan orang lain.
3. “Cukup” tidak terlalu sedikit.
Gagasan memiliki “cukup” boleh jadi tampak konservatif mengabaikan kesempatan dan potensi yang tersedia.
Saya tak menganggap itu benar.
“Cukup” adalah menyadari bahwa yang sebaliknya—nafsu menginginkan lebih yang tak puas-puas—akan mendorong Anda ke titik penyesalan.
Satu-satunya cara mengetahui seberapa banyak makanan yang Anda bisa makan adalah makan terus sampai muntah. Hanya sedikit yang mencobanya karena muntah lebih sakit daripada kenikmatan makan. Karena suatu alasan, logika yang sama tak dipakai di bisnis dan investasi, dan banyak yang hanya akan berhenti mencari lebih banyak ketika mereka dipaksa berhenti. ltu bisa berupa sekadar kelelahan bekerja atau alokasi investasi berisiko yang tak bisa dikelola. Di ujung lain ada Rajat Gupta dan Bernie Madoff, yang mencuri karena menganggap tiap dolar layak dikejar, apa pun konsekuensinya.
Apa pun itu, ketidakmampuan menolak mengejar potensi uang akhirnya akan merepotkan Anda.
4. Ada banyak hal yang tak pernah layak diusahakan dengan menanggung risiko, apa pun potensi keuntungannya.
Sesudah bebas dari penjara, Rajat Gupta memberitahu The New york Times bahwa dia sudah mendapat pelajaran:
Jangan terlalu terikat ke apa pun—reputasi, prestasi, atau apa pun. Saya pikir sekarang, pentingkah? Oke, urusan ini dengan tidak adil menghancurkan reputasi saya. Itu cuma menyusahkan kalau saya sangat terikat ke reputasi saya.
Tampaknya itu pelajaran terburuk yang mungkin didapat dari pengalaman Gupta, dan saya bayangkan itu pembenaran diri seseorang yang benar-benar ingin mendapat reputasinya kembali tapi tahu reputasinya sudah hilang untuk selamanya.
Reputasi sangat berharga.
Kebebasan dan kemerdekaan sangat berharga.
Keluarga dan kawan sangat berharga.
Dicintai oleh orang yang Anda inginkan mencintai Anda sangat berharga.
Kebahagiaan sangat berharga.
Dan cara terbaik Anda menjaga hal-hal itu adalah mengetahui kapan waktunya berhenti mengambil risiko yang bisa mengancam semuanya. Mengetahui kapan cukup.
Kabar baiknya adalah bahwa alat terhebat untuk membangun rasa cukup sangat sederhana, dan tak memerlukan pengambilan risiko yang dapat mengancam hal-hal tadi. Itu bahasan bab berikutnya.
Buku ini telah dinukil oleh Jakarta Book Review