Apa Balasan untuk Kesetiaan?
Anggap semua wanita adalah ibumu. Sekali kau menyakitinya, kau punya tanggung jawab untuk mengembalikan senyumannya.
– Qalif Kun Khasyafani.
“Salman?”
Zoya langsung bangkit dari duduknya, menatap tak percaya apa yang dia lihat sekarang. Kekasihnya berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam, tatapan yang bahkan tak pernah Zoya lihat selama enam tahun hubungan mereka. Ya, Salman lebih dikenal sebagai sosoky yang humoris dan nyablak seperti dirinya.
“Oh jadi gini kelakuan lu di belakang gue?” ujarnya dengan nada yang bahkan terdengar awam di telinga Zoya.
“Nggak gitu, gue bisa jelasin semuanya…” kata Zoya panik. Sumpah, tubuhnya gemetar saking takutnya.
“Mau jelasin apa lagi? Semua udah jelas.”,
“Sumpah, nggak begitu, Sal…” rengek Zoya memelas, bahkan matanya sudah basah.
“Sekarang pembelaannya apa lagi?!” tanyanya menyentak.
“Kita cuma teman. Please percaya sama gue. Lu salah paham!” seru Zoya mendekati Salman, meminta lelaki itu untuk bersabar mendengar penjelasannya.
Salman sudah kepalang emosi, kesabarannya sudah hilang terembus angin. Dia diselimuti amarahnya sendiri sampai menepis tangan gadis yang biasanya dia genggam penuh lembut. Kun hanya mampu terdiam. Dia bukan tidak ingin membantu, tapi dia rasa cukup untuk tidak ikut campur lebih dulu.
Salman menghela napas panjang, mengusak rambutnya frustasi. Lalu mengerang menyuarakan amarahnya. Sudah cukup gila dia melihat Zoya bersandar manja pada lelaki yang sudah dia anggap adik sendiri. .
Jelas, Kun adik tingkatnya. Mereka sering main futsal bareng, nongkrong bareng, dan menghabiskan malam di cafe teman mereka. Sudah cukup untuk saling menganggap teman satu sama lain bukan?
“Kok bisa lu jadi kaya gini?!” Salman menunjuk Kun dengan kilatan amarah yang memuncak, matanya memerah, tak sadar jika dirinya diliputi emosi yang meledak-ledak. “Lu lupa kalau Zoya cewek gue?!” Salman mendorong bahu Kun kuat-kuat, membuat Zoya berteriak menahannya.
Beruntung jarak posko mereka jauh dari tetangga. Lebih beruntung lagi Bu Uni sedang tidak ada di rumah sekarang. Semoga saja masalah ini bisa lebih beruntung lagi untuk tidak sampai ke telinga Pak Kades ataupun pihak LPPM kampus.
“Apaan sih?!” teriak Zoya menghadang Kun dengan tubuhnya, Menjadi tameng untuk lelaki yang hanya bisa diam saat dirinya hampir ditonjok orang.
“Minggir! Urusan gue sama dia,” tunjuk Salman, matanya nyalang menatap Kun yang tetap diam tanpa memberi reaksi apa pun.
“Kenapa diem aja?! Nggak punya sanggahan buat bela diri? Iya?!” bentak Salman menatap Kun.
Lelaki itu menerima semua amarah kakak tingkatnya yang sedang meledak. Kunci menahan emosi adalah diam dan itu yang sedang Kun Jakukan.
“Hah, emang bener ya, kalau anak itu bakal nyontoh kelakuan orang tuanya. Nyokapnya pelakor ya anaknya juga sama bejatnya, Dasar Anak Haram!” seringai Salman.
Plakk
Zoya menampar pipi kekasihnya lebih dulu sebelum Kun hampir maju dan menonjoknya. “Jaga mulut lu!” bentak Zoya “Jangan bawa-bawa orang tua. Ibunya Kun nggak ada urusannya sama persoalan ini!” ujar Zoya berani.
Salman memegang pipinya yang memerah karena tamparan, Lalu menatap nyalang Zoya dan Kun bergantian. Pikirannya semakin menyetujui dengan pembelaan Zoya pada Kun, bahwa mereka benar-benar ada hubungan.
“Oh jadi bener? Sekarang gue makin percaya kalau lu sama Kun emang main belakang selama ini. Dasar murahan!”
Bughh
Bukan, bukan Zoya yang menonjok Salman kali ini. Tapi Kun. Dia maju selangkah di depan Zoya, bergantian menjadi tameng untuk gadis itu. Kun tak pernah tahan mendengar lelaki merendahkan perempuan, walau hanya dengan umpatan kasar.
“Kun!” seru Zoya menanik Kun yang hampir menyerang Salman sekali lagi.
Sebenarnya Zoya cukup prihatin dengan keadaan Salman saat jni. Tamparannya yang cukup keras berbekas di pipinya dan sudut bibirnya berdarah karena tinju Kun. Namun untuk saat ini dia tidak mau berpihak pada Salman karena dia juga sakit hati dengan ucapan Salman yang dicamkan untuknya.
Tanpa mereka sadari bahwa pertengkaran mereka diperhatikan oleh seorang gadis dari dalam rumah. Nata yang awalnya hanya ingin memberikan ponsel Kun yang terus berdering kepada si empu, jadi hanya terpatung di jendela, memperhatikan mereka tanpa berani menghampiri untuk melerai. Dia berinisiatif memanggil Selma yang sedang mencuci piring di belakang. Dirinya sudah tak tahan lagi melihat perseteruan antara cinta kaula muda yang melibatkan kedua temannya, tapi dia sendiri tidak bisa melakukan apa pun.
Berkali-kali Nata menelepon Dean tapi tak diangkat, sampai akhirnya dia menekan nomor Devan yang kebetulan ada di panggilan kedua di recent call.
“BANG…” serunya panik.
“Iya Nat, kenapa?”
“Cepetan pulang…” ujarnya dengan tersengal.
“Nat, baik-baik aja?”
“Bang buruan pulang, Salman ada di depan posko!” serunya panik dengan sebisa mungkin terdengar jelas.
“Gue balik sekarang.”
Balasan terakhir Devan membuat Nata menghela napas. Dirinya bersandar pada tembok ruang tengah setelah berhasil merambat dari dapur untuk memanggil Selma.
“Ada apa?” tanya Selma bingung setelah mendengar suara teriakan dari luar rumah.
“Eh, Nat kenapa?!” serunya panik melihat Nata yang terlihat sesak napas dengan mata yang bergerak tak fokus. Tapi baru saja dia memegang pundak Nata, gadis itu sudah menyodorkan ponsel Kun Yang terus berbunyi. Lalu menunjuk kejadian yang sedang terjadi di depan posko.
Selma terkejut bukan main. Dia berlari sembari menyambar ponsl Kun yang terus berbunyi, meninggalkan Nata yang masih bersandar pada dinding kamar belakang,
“Eh eh berhenti!” teriak Selma melerai, lalu dia membantu Zoya menarik tubuh Kun yang terus mendekati Salman untuk menantang
“Bang, lu kelewatan. Lu boleh ngehina gue karena gue sadar gue anak haram dari hubungan gelap. Tapi apa Abang pernah diajarkan etika dalam berhadapan dengan perempuan?” ujar Kun panjang lebar. “Kayanya gue emang nggak perlu nyesel ngelakuin ini karena Abang emang nggak pantas buat Zoya!”
Ucapan Kun agaknya membuat Salman gelap mata dan langsung melayangkan satu pukulan balasan yang menghantam rahang Kun.
“Cukup!” teriak Zoya kesal dan berdiri di antara mereka berdua. “Kalian tuh gila apa gimana sih?!” serunya kesal.
Selma menyanggah tubuh Kun, menatap prihatin pada rahang pipi Kun yang membiru. Namun perhatiannya langsung teralihkan pada ponsel Kun—yang masih dia genggam lagi-lagi berbunyi. Zoya yang hampir buka suara lagi jadi ikut teralihkan untuk melihat layar ponsel Kun.
Kontak bernama Hana langsung tertera. Zoya tahu siapa dia. Dia adalah sahabat baik Zoya dan juga kekasih Kun yang sudah menjalin hubungan setahun belakangan ini.
Kun memang jarang mengumbar-umbar tentang kekasihnya, apalagi dengan anak kelompok. ‘Tapi Zoya sering menceritakan tentang kekasih Kun ini pada anak-anak lain, ternyata Dean dan Devan juga kenal Hana karena gadis itu anak BEM. Tenny dan Johnny juga sempat bertemu sekali saat kumpul sebelum KKN.
“Nih ada telepon, angkat dulu,” kata Selma menyodorkan ponse! pada sang empu. Kun menatap layar ponselnya dengan kilatan kesal lalu melirik ke arah Salman dengan tatapan kesal pula.
“Halo, Kun?” serbu suara dari sebrang sana. “Di sana ada Bang Salman?”
‘Ada, mau ngomong?” tanya Kun dengan mata yang terus menatap ke arah Salman. Yang ditatap justru berpaling ke arah lain.
‘“Noegg.. nggak usah, dia baik-baik aja kan? Kamu nggak celakain dia kan?”
“Aku tonjok sedikit, mau lihat?”
Gurat kebingungan tampak di wajah Zoya. Dia bingung dengan pertanyaan Hana. Kenapa bisa Hana tahu Salman ada di posko? Dan kenapa juga Hana menanyakan keadaan Salman daripada kekasihnya sendiri?
“Kamu gila ya Kun?!”
“Tya, kenapa?”
“Sekarang dia udah pulang?”
“Belum, masih di sini sama Zoya juga. Mau denger?”
“Sial…”
Tut tut tut
Sambungan langsung terputus begitu saja, lantas membuat Zoya mengernyit menatap Kun dan Salman secara bergantian.
“Maksudnya apa?” tanya Zoya.
Kedua lelaki itu hanya diam, tak ada niatan untuk menjawab. Salman yang masih berpaling dan Kun yang tetap diam sembari memasukan ponsel ke dalam sakunya.
“Jelasin, ini maksudnya apa?!” tanya Zoya dengan nada yang semakin tinggi.
Kegelisahannya langsung mencuat, dia berharap apa yang dia pikirkan tidak menjadi kenyataan. Tapi dilihat dari reaksi kedua lelaki ini, semua sudah menjelaskan apa yang tak ingin Zoya dengar.
“Jelasin, ini apa?! Kok Hana tiba-tiba nanyain Salman ke lu? Bukannya lu pacarnya?!” Zoya mengguncang bahu Kun, meminta penjelasan atas semua kebisuan ini.
“Jawab Qalif Kun! sentak Zoya histeris,
Selma segera beralth memeluk Zoya dari belakang, menarik tubuh gadis itu untuk toning, “Sabar Zoya, sabar..” bisiknya.
“Dia bukan pacar gue lagi” Kan akhirnya buka suara.
“Terus kenapa? Terus kenapa Hana nanyain Salman?!” Zoya menarik kerah baja Kun, meremasnya hingga lecek, tak peduli juga air matanya menetes membasahi baju kun.
Lelaki bernama lenekap Qahf Kun Khasyafani itu menelan ludah dengan susah payah, berusaha berpaling dari tatapan Zoya yang terus menatapnya dengan diliputi rasa marah, khawatir, dan gelisah,
“Jawab Kun!” teriak Zova sudah diambang batas frustasi.
“Hana…selingkuh sama Bang Salman”
“Brengsek!” kilatan mata Zoya langsung berpindah pada Salman yang diam di tempat. Zoya menghampiri Salman lalu menampar pipi Salman dengan keras sekali lagi, tidak peduli jika bekas darah di sudut bibir Salman mengering.
“Zoya!” teriak Dean dan Devan yang baru datang. Mereka langsung membantu Selma menahan tubuh gadis itu yang terus saja menganiaya Salman dengan menarik rambut itu berharap botak sekarang juga.
“Sekarang siapa yang selingkuh? Siapa?! Lu emang sengaja fitnah gue selingkuh sama Kun biar kedok lu nggak ketahuan? Iya? Brengsek!” umpat Zoya penuh air mata. Selma, Devan, dan Dean berusaha melepas tangan Zoya yang terus memukul tubuh Salman tanpa henti.
“Kok lu jadi nyalahin gue? Lu selingkuh dan gue selingkuh! Kita impaskan?!™ balas Salman setelah berhasil lepas dari Zoya.
“Sialan!” teriak Zoya yang hampir melepas diri dari pegangan teman-temannya.
“Sal, mending lu pergi sekarang!” kata Devan membentak.
Salman menatap nyalang pada Kun dan berlalu pergi. Zoya langsung jatuh terduduk di tanah, kakinya lemas, dirinya sudah tidak kuat menahan beban tubuhnya sendiri. Dia menangis terisak-isak, meluapkan amarahnya melalui air mata. Sudah tak peduli jika sekarang dia dicap gadis cengeng oleh teman-temannya. Yang dia butuhkan sekarang hanya meluapkan perasaannya yang campur aduk di dalam hati.
Sekarang semuanya bagai angin kencang yang menerpa hatinya. Kepercayaan yang dia berikan pada Salman dan Hana gugur semua. Dean menepuk pundak Zoya menenangkan, membiarkan gadis itu terisak di bahunya. Kun sendiri hanya mampu terdiam. Menyalahkan dirinya atas apa yang baru saja terjadi.
Devan terdiam, ada sesuatu yang dirasa terlupakan. Matanya dengan cepat menangkap objek di dalam rumah, tengah bersandar pada dinding kamar belakang.
“Nata!” dengan cepat Devan berlari menghampiri Nata yang hampir ambruk.
Dean menoleh, melihat Devan yang dengan sigap menangkap tubuh Nata yang oleng. Ingin rasanya dia ikut berlari dan bergantian menangkap tubuh Nata, tapi Dean tidak bisa begitu saja melepaskan pelukan Zoya yang sedang menangis.
“Nat, Nggak apa-apa?” tanya Devan panik saat melihat gadis itu setengah sadar.
Pandangannya kabur, Nata tidak tahu siapa yang saat ini menahan tubuhnya. Dunianya seakan berputar, dan suara sekitarnya terdengar sangat memekikan di telinga, membuatnya berkali-kali berusaha menutup telinga, tapi tangannya terlalu lemas jadi tidak bisa bergerak.
“Tel…nga,” ucapnya lemah.
“Apa, Nat?” kernyit Devan tak mengerti.
“…nga,” bersuara pun tak mampu, gadis itu benar-benar lemas,
Hingga secercah wajah Yuta dan derap kaki yang berlari berhasil mendenging di telinganya. Hal itu menjadi hal terakhir yang Nata harapkan.
Setelah mendapat chat dari Devan di grup tentang kedatangan Salman ke posko, Yuta langsung lari sekencang-kencangnya untuk pulang. Sandal jepit yang dia gunakan copot dan berakhir berlari tanpa alas. Tak peduli dengan kakinya yang lecet. Pikirannya hanya terpaku pada Nata.
Benar saja, saat dia datang keadaan yang tak ingin dia lihat malah terjadi di hadapannya sekarang ini. Dia melihat Nata yang harus disanggah Devan di depan pintu kamar laki-laki.
Hal pertama yang Yuta lakukan adalah menutup kedua telinga Nata kuat-kuat, seperti tahu bahwa Nata sedang berusaha menghilangkan dengingan di telinganya. Perlahan-lahan Yuta menyanggah Nata untuk bangkit, memapahnya masuk ke dalam kamar laki-lak, tak lupa menyambar earphone milik Tenny yang tersampir di paku sebelah pintu.
Lelaki Shadiga itu merebahkan Nata pada kasur lantai, lalu memakaikan earphone yang sudah tersambung ke ponselnya. Seketika suara ar-Rahman yang dikumandangkan dengan indah memenuhi pendengaran Nata. Semakin lama tubuh Nata mulai melemah. Perlahan matanya tertutup dan wajahnya terlihat damai. Tatapan pilu pun terbentuk sebelum akhirnya Yuta menutup pintu dan meninggalkan Nata seorang diri di dalam kamar.