Makassar adalah kota yang punya banyak kenangan buat saya. Orangtua saya pernah tinggal di sana ketika saya bersekolah SMA di Manado dan kuliah di Bogor. Jadi, setiap liburan pada periode itu, saya menyambangi kota yang dahulu bernama resmi Ujung Pandang.
Sebagai penyuka wisata kuliner, Makassar adalah surga. Orangtua saya dulu tinggal di Jalan Cenderawasih, dan Pantai Losari cuma berjarak sepelemparan batu dari rumah. Di situ, mulai sore hari berjejer gerobak jajanan yang mengular panjangnya. Pusat jajanan terpanjang di dunia, begitu canda saya ketika itu, ketika pertama kali melihatnya kali pertama.
Di situ berjejer pedagang coto, konro, ikan bakar, otak-otak, nyuknyang, martabak, bakso, es pisang ijo, es palu butung, dan sebagainya. Ketika itu, saya benar-benar menyukai nasi goreng berwarna merah menyala yang selalu dimasak secara atraktif, hingga nasinya terlempar-lempar ke udara. Tinggal minta ‘bekal’ kepada ibu, saya lalu menyusuri jalanan untuk memilih gerobak mana yang berhasil membuat air liur terasa mengalir deras di dalam mulut.
Kenangan itu tetap terpelihara karena setelah lulus kuliah saya lumayan kerap menyambangi kota ini. Tapi, ketika akhirnya garis pantai itu digeser jauh lantaran proyek reklamasi, pemandangan gerobak berjejer itu tak lagi ada. Pantai Losari kini sudah jadi lebih tertib, dengan tulisan nama pantai yang ‘segede gaban’.
Kemarin pagi saya kembali lagi ke sana. Tiba pagi hari dari Sorowako, saya menuju Hotel Melia untuk bertemu sahabat-sahabat saya dari A+ CSR Indonesia yang kebetulan sedang juga ada keperluan di sana. Dan, saya akhirnya berkesempatan untuk menjalankan ibadah salat Jumat di Masjid 99 Kubah atau Masjid Asmaul Husna yang menjadi salah satu ikon itu sekarang.
Sebetulnya masjid itu mulai didirikan sudah cukup lama. Mungkin mendekati satu dekade. Tetapi baru selesai di tahun 2023. Dulu, beberapa kali saya berjalan pagi atau sore ke sana, ketika pembangunannya sedang berlangsung, tetapi tak bisa benar-benar mendekatinya, apalagi salat di situ. Saya cuma bisa berswafoto saja ketika menyambanginya.
Jadi, ketika Mas Noviansyah Manap mengajak saya salat Jumat di sana, saya tak bisa lebih antusias lagi. “Akhirnya.” Begitu batin saya bilang. Saya sangat penasaran bagaimana interior masjid yang eksteriornya mengingatkan saya pada masjid-masjid dengan pengaruh India atau bahkan terkadang membuat saya mengingat kuil-kuil di Negeri Gajah Putih.
Saya ingat bahwa pembangunan masjid ini pernah mangkrak, dan dianggap gagal menjadi warisan dari Gubernur Syahrul Yasin Limpo. Gubernur periode setelahnyalah, Andi Sudirman Sulaiman, yang akhirnya menyelesaikan pembangunannya. Dan, sebetulnya masjid ini hingga sekarang belum bisa dibilang sudah selesai dibangun. Ketika saya tiba di sana, beberapa aktivitas konstruksi masih berlangsung.
Mengamati dari jarak dekat dan bisa menyentuh secara langsung membuat saya terperanjat. Kalau sebelumnya saya berpikir bahwa masjid itu dibangun dengan susunan batu bata yang ekstra rapi berjumlah raksasa, ternyata itu hanyalah bahan seperti plastik bercorak bata. Makanya kesan pertama yang saya sampaikan kepada Mas Novi itu “Plasticky!” Sementara, yang tadinya saya kira adalah baja tahan karat yang dicat putih, untuk ‘mengikat’ bahan yang saya kira batu bata itu agaknya juga dari bahan yang mirip. Mungkin ada logamnya, tetapi jelas bukan yang utama. Runtuhlah kesan kokoh yang selama ini ada di benak saya. Apalagi, di beberapa ujung dan sambungan saya temukan kelupasan atau nganga yang nyata.
Ketika masuk lebih dalam, kami memilih menggunakan tangga untuk turun dua lantai menuju ruang wudu. Tangga itu tak ada penerangannya, sehingga ada bagian yang gelap gulita, dengan ketinggian langit-langit yang cekak. Aspek keamanan dan keselamatan agaknya tak ditimbang ketika membangun bagian itu. Dan ketika akhirnya tiba di depan tempat wudu, saya mendapati ubin lantai yang terangkat, membahayakan siapa pun yang tak berhati-hati. Lantai itu pun secara umum terasa miring dan tak rata.
Di dalam ruang wudu saya mendapati separuh urinoir sedang (atau belum pernah?) tak bisa dipakai. Saya mendengar seseorang yang buang hajat kecil di situ bilang pada rekannya dalam bahasa setempat yang artinya: “Yang ini jangan dipakai, airnya tidak keluar.” Padahal itu adalah bagian yang tidak ditandai sedang diperbaiki. Di tempat wudu sendiri, ketika saya mengambil tempat di ujung kiri, krannya sudah tak berpemutar. Saya pindah ke sebelahnya dan merasakan pemutarnya sudah longgar, dan mungkin sebentar lagi bakal bernasib sama dengan yang pertama saya jajal.
Di dalam bangunan masjid, kami punya kesan lebih positif. Bangunan sebesar itu tanpa penyangga di bagian tengah benar-benar impresif. Tak ada ornamen kaligrafi yang berlebihan. Yang digunakan adalah pengulangan bentuk-bentuk geometris dan permainan ukurannya. Segitiga berwarna kuning dan oranye di langit-langit membuat saya teringat pada pakaian para darwis yang menari. Tapi kami sempat khawatir apakah atap masjid ini benar-benar kokoh mengingat mutu dinding luar masjid yang memprihatinkan.
Saya ingat urusan reklamasi Pantai Losari ini juga banyak rumor terkait korupsi. Jadi, kalau mutu bangunan masjid ini banyak mengundang kritik dan dikaitkan dengan kemungkinan korupsi memang bisa dipahami. Apalagi, akhirnya bangunannya tak bisa selesai sebelum diteruskan gubernur setelahnya, dan sang gubernur penggagasnya kini mendekam di bui akibat kasus korupsi yang lain.
Kami juga ingat bahwa selain bau anyir korupsi dalam pembangunan masjid–ini perlu dibuktikan, dan hingga terbukti ini hanyalah desas-desus belaka–ada juga analisis ala warung kopi yang menyatakan bahwa ada juga kepentingan meredam penentangan atas reklamasi 150-an hektare itu. Kalau masjid ikonik mau didirikan di situ, siapa pula yang berani menentangnya? Mendengar ini saya terkenang kasus reklamasi lainnya, yang juga mencoba memenangkan persetujuan masyarakat lewat jalur ‘agama’. Para tokohnya diumrahkan perusahaan proponen proyek reklamasi, dan persetujuan pun diperoleh.
Ketika tiba saatnya kami makan siang, bersama Reza dan Alqaf, kami memilih sebuah resto makanan Melayu bernama Negeri Sembilan. Di antara obrolan gayeng kami adalah soal masjid. Mas Novi dan saya punya ‘SOP’ untuk selalu datang ke masjid-masjid tertua, terbesar atau terikonik di manapun tempat yang kami kunjungi. September – Oktober 2024 lalu kami berkunjung ke Turkiye dan menyambangi masjid-masjid terkenal di sekujur negeri itu. Ketika kami berbual itu, benak saya berpikir bahwa sebetulnya jejak-jejak Byzantium maupun Utsmaniyyah bisa kita saksikan. Masjid 99 Kubah ini sesungguhnya mengingatkan saya kepada Blue Mosque di Istanbul, yang jadi tempat favorit kami salat Subuh di sana.
Resto Negeri Sembilan sendiri ada di wilayah reklamasi. Dulu sangat mungkin saya pernah berenang di Minggu pagi hingga titik ini. Atau sekadar memandanginya ketika menikmati terbenamnya Matahari sambil duduk di tanggul Pantai Losari dan mengunyah pisang epe.
Penerbangan GA619 Makassar – Jakarta, 21 Juni 2025 06: 45
Bacaan terkait
Dari Depok Menaklukkan Istanbul