Jumat, 31 Oktober 2025
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
Jakarta Book Review (JBR)
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
  • Pegiat
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
  • Pegiat
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
Jakarta Book Review (JBR)

Ramadan dan Nalar Islam-Jawa

Di Jawa, istilah “Ramadan” itu juga kumandang dengan istilah “Ramelan” yang dekat dengan istilah “ramalan.”

Oleh Heru Harjo Hutomo
11 Maret 2025
di Kolom
A A

Menggah dunungipun iman wonten eneng

Dununging tauhid wonten ening

Ma’rifat wonten eling

—Sultan Agung, Serat Pengracutan

Konon, orang Jawa telah selesai dengan urusan tentang Tuhan sebelum agama-agama besar singgah dan nyaman mendekam di Nusantara. Tilikan semacam ini tentu saja bukan isapan jempol belaka.

BACA JUGA:

Lampu Petunjuk

Membijakkan Sabar dan Ikhlas di Kota Suci

1 Muharram: Momen Kebangkitan Spiritual Kita

Ugly, Bad and Okay Mining: Pertambangan Indonesia di Persimpangan Jalan

Taruhlah istilah “Ramadan” yang dikenakan pada aktivitas seorang Muslim yang lekat dengan upaya penyucian diri dan pendekatan kepada Tuhan. Di Jawa, istilah “Ramadan” itu juga kumandang dengan istilah “Ramelan” yang dekat dengan istilah “ramalan.”

Secara sekilas, seorang Muslim ortodoks tentu saja akan terasa geli ketika menilik bagaimana orang Jawa mengaitkan bulan Ramadan dengan bulan Ramelan atau bulan ramalan. Biasanya bulan Ramadan identik dengan berbagai sikap hati dan aktivitas yang banyak mendekatkan diri pada Tuhan, yang tentu saja sangat jauh dari berbagai nujuman ataupun “klenik-klenik” lainnya.

Namun, yang barangkali dilupakan oleh seorang Muslim ortodoks adalah bahwa di bulan yang dianggap suci itu terdapat peristiwa yang dikenal sebagai peristiwa Lailatul Qadar atau malam seribu bulan yang, secara sederhana, adalah sebuah peristiwa di mana seorang pelaku ibadah diyakini akan memperoleh pahala atas ibadahnya dalam satu malam yang setara dengan pahala ibadah selama seribu bulan.

Tak hanya kualitas seribu bulan yang terjadi dalam semalam, orang Jawa malah mengaitkan peristiwa yang dianggap istimewa itu dengan rahasia takdir seorang insan. Ternyata, pengidentikkan istilah bulan Ramadan dengan bulan Ramelan atau ramalan ini terkandung dalam istilah “Qadar” pada peristiwa Lailatul Qadar yang konon, menurut seorang Quraish Shihab, dapat berarti pula sebuah “penetapan,” penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Dan pada peristiwa Lailatul Qadar itulah, konon, Allah menyingkapkan kejelasan “semua urusan yang penuh hikmah, yaitu urusan yang besar di sisi Kami” (al-Dukhan: 5).

Maka, dapat dimengerti kenapa, bagi orang Jawa, bulan Ramadan juga disebut sebagai bulan Ramelan atau ramalan. Beberapa hal yang menarik di sini adalah ketergesa-gesaan para Muslim ortodoks ketika menilai atau bahkan menghakimi berbagai ekspresi Islam yang bercorak lokal, entah Islam-Jawa atau kejawen dan Islam-islam autochthonous lainnya.

Di samping ketergesa-gesaan kaum ortodoks itu, hal yang menarik lainnya adalah kecerdasan para leluhur dalam menyaripatikan sebuah doktrin agama yang kemudian dapat tampak setara dengan budaya. Bukankah selama ini, bagi kaum ortodoks, agama senantiasa diletakkan pada posisi yang lebih luhur daripada budaya yang akibatnya kerap menyulut perendahan dan pembasmian terhadap kaum “pribumi,” atas nama kemurnian akidah?

Namun ternyata, ketika seumpamanya bahwa di balik penyebutan istilah bulan ramalan pada bulan Ramadan terdapat sebuah dasar yang bahkan pun berasal dari sumber agama sendiri, masihkah hal itu dapat disebut sebagai sebentuk budaya yang sama sekali berbeda, dan bahkan lebih rendah, dari apa yang selama ini dikenal sebagai agama?

Pada titik itulah orang banyak terjebak pada pengkutuban antara agama yang, konon, bersifat langit dengan budaya yang, konon, bersifat bumi, di mana yang satu kerap dianggap sebagai lebih luhur, lebih suci, daripada yang lainnya. Namun, tengok dan galilah berbagai ekspresi lokalitas yang terkait dengan semangat agama yang ternyata beranjak dari agama jua, yang bahkan terumuskan pada bentuknya yang paling substansial.

Maka, sampai di sini, tak salah ketika, konon, Sultan Agung dari Mataram meletakkan doktrin iman, tauhid, dan ma’rifat pada sekadar sikap “Eneng, Ening, Eling.” Atau HB I yang pernah menyaripatikan dasar keberadaan seorang Muslim (innalillahi wa inna ilaihi raji’un) dengan sekadar bangunan tugu yang bersambung dengan keraton dan Panggung Krapyak, di mana fakta kosmis ini dikenal sebagai “Sangkan-Paraning Dumadi.”

Bacaan terkait

Saat Kesalehan Tak Bisa Lagi Dipoles

Ramadan, Bulan Pengendalian Diri (Kecuali Saat Berbelanja)

Kitab Puasa: Melihat Ramadan dari Bumi dan Langit

Jangan Ajari Berenang Seorang yang Tengah Tenggelam

Topik: Islam Jawapuasaramelan
SendShareTweetShare
Sebelumnya

Teknofeodalisme (Berujung) Maut

Selanjutnya

Ekonomi Politik Nikel di Indonesia [Belajar dari Artikel Trissia Wijaya dan Lee Jones (2025)]

Heru Harjo Hutomo

Heru Harjo Hutomo

Seniman, Pengarang, dan Budayawan Jawa, Alumnus Center for Religious and Cross-Cultural Studies UGM Yogyakarta.

TULISAN TERKAIT

Lampu Petunjuk

Lampu Petunjuk

11 Juli 2025
Membijakkan Sabar dan Ikhlas di Kota Suci

Membijakkan Sabar dan Ikhlas di Kota Suci

10 Juli 2025
1 Muharram: Momen Kebangkitan Spiritual Kita

1 Muharram: Momen Kebangkitan Spiritual Kita

27 Juni 2025
Ugly, Bad and Okay Mining: Pertambangan Indonesia di Persimpangan Jalan

Ugly, Bad and Okay Mining: Pertambangan Indonesia di Persimpangan Jalan

27 Juni 2025
Selanjutnya
Selanjutnya
Ekonomi Politik Nikel di Indonesia [Belajar dari Artikel Trissia Wijaya dan Lee Jones (2025)]

Ekonomi Politik Nikel di Indonesia [Belajar dari Artikel Trissia Wijaya dan Lee Jones (2025)]

Ulasan Pembaca 1

  1. Ping-balik: Urgensi Memperkuat Literasi Keagamaan Kita  - Jakarta Book Review (JBR)

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Buku “The Girl with the Dragon Tattoo” Jadi Best Crime & Mystery versi Goodreads

Buku “The Girl with the Dragon Tattoo” Jadi Best Crime & Mystery versi Goodreads

29 Oktober 2025
Mitos, Mitigasi, dan Krisis Iklim: Membaca Narasi Putri Karang Melenu dan Naga Sungai Mahakam

Mitos, Mitigasi, dan Krisis Iklim: Membaca Narasi Putri Karang Melenu dan Naga Sungai Mahakam

20 Oktober 2025
Menulis dalam Berbagai Medium: Sesi Diskusi Bersama Dea Anugrah dan Aya Canina

Menulis dalam Berbagai Medium: Sesi Diskusi Bersama Dea Anugrah dan Aya Canina

16 Oktober 2025
Merayakan Dewasa dan Lukanya: Kilas dari Penulis

Merayakan Dewasa dan Lukanya: Kilas dari Penulis

15 Oktober 2025
Cover buku "The Great Gatsby"

The Great Gatsby: Kemewahan, Cinta, dan Kehampaan

9 Oktober 2025
Hector and The Search for Happiness: Perjalanan Menemukan Arti Kebahagiaan

Hector and The Search for Happiness: Perjalanan Menemukan Arti Kebahagiaan

6 Oktober 2025

© 2025 Jakarta Book Review (JBR) | Kurator Buku Bermutu

  • Tentang
  • Redaksi
  • Iklan
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
  • Masuk
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
  • Pegiat
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In