Di zaman yang serba cepat ini, kita tak lagi punya waktu untuk berlama-lama dalam diskusi yang melelahkan. Semua hal yang dulu dianggap esensial dalam perencanaan bisnis—riset pasar, studi kelayakan, dan perhitungan matang—ternyata hanyalah beban yang menghambat laju pembangunan. Mengapa kita harus repot dengan segala teori yang membosankan jika kita bisa mengambil keputusan hanya dengan mengandalkan intuisi?
Sudah saatnya kita meninggalkan kebiasaan lama yang penuh dengan angka-angka dan laporan tebal yang hanya menyita waktu. Perasaan, itulah yang seharusnya menjadi panglima dalam menentukan arah pembangunan. Seorang pemimpin yang baik tak perlu repot menelusuri data, cukup berdiri di lokasi, menarik napas dalam-dalam, dan merasakan getaran dari tanah yang ia pijak. Jika hatinya berkata, “Di sini tempatnya!” maka itu sudah lebih dari cukup.
Ilmu pengetahuan sering kali hanya menghambat kreativitas. Terlalu banyak perhitungan justru menimbulkan keraguan. Coba bayangkan jika para pendiri bangsa kita dulu sibuk berkutat dengan analisis SWOT sebelum mengambil keputusan. Mungkin kita takkan pernah merdeka. Maka dari itu, keberanian untuk bertindak berdasarkan intuisi jauh lebih penting daripada terjebak dalam dokumen-dokumen teknis yang membosankan.
Ada semacam romantisme dalam membangun sesuatu tanpa rencana tertulis. Seperti seorang seniman yang melukis tanpa sketsa awal, seorang pengusaha sejati juga seharusnya membiarkan instingnya mengalir bebas, membentuk bisnisnya seiring waktu. Jika ada yang mengatakan bahwa ini berisiko, biarkan saja. Risiko adalah bagian dari petualangan. Jika sebuah kawasan industri tiba-tiba ditemukan tak memiliki akses logistik yang memadai, itu bukan kesalahan perencanaan, melainkan tantangan yang harus dihadapi dengan kreativitas.
Pembangunan berbasis intuisi ini juga bisa diterapkan di berbagai bidang lain. Bayangkan dunia di mana dokter tak lagi terjebak dalam protokol medis yang panjang, melainkan cukup menatap pasien dan berkata, “Saya merasa kamu baik-baik saja.” Atau bayangkan sistem hukum di mana seorang hakim tak perlu membaca pasal-pasal yang rumit, melainkan cukup merasakan apakah seorang terdakwa memiliki wajah yang penuh penyesalan atau tidak, lalu memutuskan: “kamu layak dijatuhi hukuman mati!”
Dengan meninggalkan ilmu pengetahuan dan sepenuhnya menyerahkan nasib kepada intuisi, kita akan memasuki era baru di mana segala sesuatu terasa lebih mudah dan lebih cepat. Tak perlu lagi memusingkan angka-angka atau membuat prediksi yang sering kali meleset. Toh, pada akhirnya, semua akan kembali pada takdir. Jika berhasil, kita bisa mengklaim bahwa intuisi kita luar biasa. Jika gagal, ya, mungkin memang belum waktunya, dan kita bisa lanjut dengan intuisi lainnya.
Bacaan terkait
Trump dan “Teman Nyebur Sumur”
Ketika Bahlol Disesatkan Raja Donal
Bahlol dan Persidangan Iklim di Negeri Andainusa